Anak Kidal: Masalah atau Berkah?

Oleh Retno Aini pada Senin, 09 Oktober 2017
Seputar Our Stories
Anak Kidal: Masalah atau Berkah?

Apa yang terlintas di pikiran saat mendengar kata 'kidal'?

Semua-semua dikerjakan pakai tangan kiri?

Tidak kenal sopan-santun?

Tidak mau pakai 'tangan manis'?

Harus diajar agar selalu pakai tangan kanan?

Biasanya pintar tapi nakal?

Anak saya, Alma (7 tahun), kidal. Berarti dia masuk dalam golongan 10% populasi manusia di dunia yang dominan menggunakan tangan kirinya untuk mengerjakan tugas sehari-hari. Dulu, Alma ketahuan kidalnya di usia sekitar 2 tahun. Mengambil mainan, tangan kiri. Menendang bola, lebih sering pakai kaki kiri. Awalnya saya tidak langsung berpikiran 'oh dia kidal' karena adalah biasa bagi anak usia di bawah dua tahun untuk menggunakan tangan-kaki kiri dan kanan saat bermain dan bereksplorasi. Tetapi makin hari, tanda-tanda kekidalannya makin jelas. Apalagi setelah dia lebih sering menggunakan tangan kirinya untuk corat-coret menggambar. Refleks tangan dan kaki kirinya pun lebih cepat.

Apakah saya kaget? Hmm, tidak juga sih. Saya justru tidak terlalu kaget waktu mengetahui kalau Alma ternyata kidal, karena beberapa sepupu dari garis keluarga ibu saya ada yang kidal, bahkan adik kandung saya kidal. Ditambah lagi dari cerita ayah, ternyata waktu kecil beliau kidal tetapi karena diajar untuk selalu pakai tangan kanan akhirnya jadi dominan pakai tangan kanan. Tak heran kalau Alma kidal, karena fenomena kidal memang muncul diwariskan dalam keluarga.

Lucunya begitu kami menemukan bahwa Alma kidal, kami sekeluarga malah senang. Adik saya yang kidal yang paling bangga, dapat keponakan kidal juga. Meski begitu, tak sedikit datang reaksi yang berbeda dari anggota keluarga lainnya -bahkan dari orang yang bukan keluarga- yang begitu melihat Alma kidal langsung sibuk wanti-wanti, "Gak bagus ah! Diajarin pakai tangan kanan dong."

Apakah ada upaya dari saya dan suami untuk mengoreksi Alma?

Sedari awal, kami melihat kidalnya Alma sebagai 'kelebihan'. Maksudnya seperti ini: anaknya tidak minta jadi kidal kok. Dia kidal karena dikasih sama Tuhan, pasti ada sisi positifnya, entah itu terlihat sekarang atau nanti. Yang saya dan suami sepakati adalah kami tidak mau menimbulkan rasa bersalah dalam diri anak hanya karena dia kidal. Fenomena kidal ini memang sesuatu yang alami terjadi, tetapi dalam budaya ketimuran seperti di Indonesia, tak jarang anak kidal menemui masalah. Jujur saja, di masyarakat masih banyak pandangan yang salah terhadap orang kidal, bukan? Dari mulai dicap tidak sopan, tidak diajar di rumah, sampai tak tahu aturan. Kalau pakai akal sehat, apa sampai hati memberi cap serupa untuk anak sendiri? Belum lagi dari pengalaman saat dulu mengajar anak-anak sekolah dasar, saya melihat banyak anak yang aslinya kidal tetapi karena dipaksa menggunakan tangan kanan jadinya minder, kurang percaya diri, atau malah memberontak, malas mengerjakan sesuatu karena terlalu sering dikoreksi, bahkan ada yang sampai gagap.

Akhirnya saya dan suami lebih banyak membebaskan Alma untuk melakukan tugas sehari-hari pakai tangan kiri. Namun kami membuat kesepakatan: untuk salaman, makan dan minum (termasuk mengambil dan memberikan makanan/minuman), harus pakai tangan kanan. Selain itu, terserah dia kalau mau pakai tangan kiri. Sekali diingatkan, terus langsung bisa? Tentu saja tidak, harus diulang-ulang. Yang penting orangtua harus kalem saat mengingatkan anak untuk makan pakai tangan kanan. Maksudnya tidak perlu pakai embel-embel ceramah atau memarahi, agar tujuan makan-pakai-tangan-kanan tersampaikan tanpa membuat anak merasa bersalah. Pernah Alma protes? Tentu saja pernah. Kalau dia sedang moody diajari makan-minum pakai tangan kanan, jalan tengah yang kami ambil adalah memintanya menggunakan kedua tangan untuk memegang gelas atau menuang minuman. Untuk mengajarinya bersalaman, dulu kami sering mengajaknya 'main salaman'. Saat latihan salaman inilah berulang-ulang kali Alma dibiasakan untuk pakai tangan kanan. Ketika acara keluarga atau saat harus bersalaman dengan gurunya, sebelum bersalaman saya bisiki, "Yuk salaman, pakai tangan kanan ya". Kami tidak bilang pakai 'tangan manis', 'tangan baik', 'tangan sopan' dan sejenisnya agar ekspektasinya jelas: kalau salaman pakai tangan kanan, that's it. Dan sekali lagi, kasihan kalau dia sampai merasa bersalah karena hal-hal yang sebenarnya terjadi alami pada dirinya sendiri.

Pernahkah Alma kesal di dunia yang serba kanan ini? Pernah. Hal-hal kecil seperti menggunakan gunting saja pernah membuatnya kesal. Sadar tak sadar, dunia sehari-hari kita ini lebih mudah untuk orang yang dominan pakai tangan kanan, dan banyak pula barang dan benda yang lebih mudah dipakai oleh orang yang dominan tangan kanan. Kalau Urban mama-papa sedang jalan-jalan, coba perhatikan posisi tombol bel di pintu, letak gagang pintu, penempatan kursi, meja, alat-alat di kantor, serta alur toko atau rak belanja, bisa dipastikan semuanya disusun dari kanan. Ini wajar, sewajar orang kidal menyusun apa-apa dari sebelah kiri. Dari yang saya amati, Alma lebih suka memilih lift sebelah kiri dan menekan tombol yang ada di sebelah kiri. Saat naik bus, Alma memilih duduk di sisi sebelah kiri, atau saat makan malam bersama, Alma memilih duduk di kursi sebelah kiri. Bagi mereka yang kidal, ini dilakukan secara refleks saja.

Agar Alma 'agak' terbantu, kami di rumah melakukan beberapa penyesuaian kecil. Di meja belajar Alma, alat-alat tulisnya saya tempatkan di sebelah kiri meja, sementara buku-bukunya disusun di tengah rak. Di dapur, kotak sereal sarapan Alma diletakkan di pantry sebelah kiri. Saat memberikan minuman untuk Alma, gelas saya letakkan di tengah-tengah agar tidak tersenggol oleh tangannya. Saat duduk bersama Alma, kami memilih duduk di sebelah kanan agar tangan kirinya tidak 'terganggu' saat dia sedang menulis dan menggambar. Waktu di TK dan SD, kami selalu bilang ke gurunya kalau Alma itu kidal. Untungnya di sini banyak orang yang memiliki pandangan netral terhadap kekidalan, termasuk guru-guru di sekolah. Sekali waktu saya pernah tanya ke gurunya, apakah Alma perlu ditempatkan di meja yang berada di sisi sebelah kiri ruang kelas agar tangannya tidak menyenggol temannya yang menulis pakai tangan kanan? Kata gurunya belum perlu karena anak-anak duduknya di kursi dan meja masing, bukan semeja sebangku berdua, jadi ada cukup ruang untuk tidak bersenggolan.

Yang seru adalah saat kami memilih kegiatan ekstrakurikuler untuk Alma. Jadi, Alma sendiri yang minta untuk ikut les musik dan alat musik pilihannya adalah violin. Saat akan mendaftar les, saya nyeletuk ke suami, "Nanti Alma butuh violin khusus, gak ya?" Suami menjawab, "Lihat saja nanti apa kata gurunya." Ketika kami sampaikan ke gurunya, menurut guru violinnya ternyata kekidalan tak jadi masalah, malah bagus karena bermain violin butuh keterampilan baik tangan kiri untuk menekan senar dan tangan kanan untuk menggesekkan violin bow. Tangan kirinya akan cepat belajar menekan senar, sementara keterampilan tangan kanan untuk mengontrol gesekan violin bow dapat dilatih. Lanjutnya lagi, kalau misalnya Alma ternyata masih kagok maka dapat dipertimbangkan untuk memakai violin khusus untuk pemusik bertangan kidal. Selama les berlangsung pun saya ikut mendampingi Alma dan melihat gurunya sabar sekali melatih Alma.



Saat mengetahui bahwa anak ternyata kidal, ini adalah pertanda bahwa orangtua harus lebih kreatif dalam mendidik dan mendukungnya. Sekali lagi, anaknya tidak minta menjadi kidal kok. Setiap orang dilahirkan unik. Bagi kami, kidal bukanlah suatu kekurangan atau kerugian besar bagi anak. Kekidalan hanya menunjukkan bahwa otaknya bekerja dengan cara yang berbeda. Ada yang bilang kalau anak kidal itu lebih kritis, pintar mengolah informasi, kreatif, berbakat seni, bahkan ada bakat unik di bidang olahraga, tapi (ada tapinya) nakal. Soal kepintaran, ya diamini saja. Soal nakal dan kritis, tergantung bagaimana orangtua menyikapinya. Bagi kami, menjawab pertanyaan Alma yang kritis dan nyeleneh memang butuh kesabaran ekstra, namun ini bukan masalah besar. Kami jadi terdorong untuk memberikan penjelasan yang dapat membuka wawasan Alma dan mengasah empatinya. Orang lain yang mendengar pertanyaan kritis dari Alma belum tentu punya persepsi yang sama. Soal bakat seni atau olahraga, ah bakat tinggal bakat kalau tidak diasah. Menelusuri minat anak dan melatih bakatnya jauh lebih penting. Mau kidal dilihat sebagai masalah atau berkah, semua tergantung dari pola pikir orangtua dan keluarga, serta ajaran yang ditanamkan kepada anak.

5 Komentar
musdalifa anas
musdalifa anas October 13, 2017 6:26 am

Ai, terima kasih tulisannya. Senang bacanya.
Alma udah besaaar, cantik, aku suka liat alma main violin. Sehat terus ya neng.

Imelda Sutarno
Imelda Sutarno October 10, 2017 2:59 pm

anakku yang besar juga kidal mbak Aini. Toss dulu lah kita. Alhamdulilah untuk salaman dengan orang lain masih teta bisa pakai tangan kanan. Pe-er ku tinggal soal makan pakai sendok, dia susah sekali pakai kanan. Padahal ya itu tadi...nilai-nilai di masyarakat kita makan itu harus pakai tangan kanan. Hiks hiks... :(

Woro Indriyani
Woro Indriyani October 10, 2017 1:54 pm

Bagus sekali artikelya Mama Aini :) . Memang setiap anak terlahir istimewa yah, cuma kadang kita lebih fokus ke kekurangannya dibanding kelebihannya. Semoga dengan membaca artikel ini banyak mama di luar sana yang juga terinspirasi untuk lebih menggali dan mengenali potensi buah hatinya :) .

dieta hadi
dieta hadi October 10, 2017 1:25 pm

mika juga dulu kidal, tapi lama-lama akhirnya bisa pake kanan. kelihatan kidal banget di mika itu ketika menendang atau melakukan sesuatu dengan kaki, pasti akan lebih kuat kaki kiri dan kaki kiri dahulu yang mulai. Kebetulan papa dan om gw juga kidal jadi sudah ada garis keturunannya

ninit yunita
ninit yunita October 9, 2017 1:01 pm

Menarik banget baca ini, Ai. Biasanya ngga pernah menggali lebih dalam tentang anak kidal. Ternyata menarik banget yaaa...

Arza dulu juga sempat lebih dominan tangan kiri. Kata suami, biarkan aja belum perlu dikoreksi. Tapi lama-lama jadi lebih aktif yang kanan.