Bukan Hanya Menjadi Murid, Tetapi Juga Guru

Oleh Nisa Faridz pada Selasa, 26 November 2019
Seputar Our Stories
Bukan Hanya Menjadi Murid, Tetapi Juga Guru

“Strategi apa yang Ibu pakai untuk meningkatkan hasil belajar anak-anak?” Dan ibu guru matematika itu menjawab: “Saya selalu bilang, mereka di sini bukan hanya jadi murid, tetapi juga guru”. Ia menceritakan bagaimana setiap hari murid-muridnya yang berusia sembilan dan sepuluh tahun saling membantu di kelas.

Ibu guru ini adalah salah satu guru SD di New York State (NYS) yang diwawancara untuk sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana sekolah negeri yang mayoritas muridnya dari keluarga miskin  bisa meluluskan murid-murid dengan hasil yang baik.

“Anak-anak tidak seragam kemampuannya. Ada yang lebih cepat mengerti daripada temannya yang lain. Mungkin karena saya mengajar dengan gaya saya, beberapa murid sulit mengerti. Ada juga yang malu bertanya walaupun sebenarnya belum mengerti. Jadi kalau teman mereka yang mengajarkan, biasanya lebih efektif, karena lebih bebas menggunakan bahasa yang sesuai usia mereka.” Dan tentu saja anak-anak ini tidak dilepas begitu saja, ibu guru pun ikut membantu dan intervensi jika dibutuhkan. Hasilnya, bukan saja perbedaan nilai matematika antara satu murid dengan yang lain tidak menyolok, tetapi mereka menjadi saling peduli, dan terbiasa saling membantu.

Apa kata orang tua murid tentang hal ini? Apakah mereka keberatan jika anak mereka yang bisa memahami satu materi lebih cepat diminta untuk mengajarkan temannya, bukannya terus belajar materi lainnya?

“Orang tua mereka tahu tentang strategi ini, karena memang konsisten dipakai semua guru. Dan mereka melihat bagaimana anak-anak mereka belajar banyak dengan ‘menjadi guru’,” jawab sang ibu guru. Ya, memang tidak aneh bahwa kita jadi belajar lebih banyak dan lebih mendalam ketika mengajarkan orang lain. Anak-anak ‘dipaksa’ “think out loud” ketika mereka harus mengajarkan temannya. Mereka belajar bagaimana menyusun kalimat yang efektif dan runtut, sehingga teman mereka bisa mengerti. “Kadang mereka pun jadi sadar bahwa ternyata ada bagian yang mereka belum mengerti, dan merekapun belajar lagi dengan saya.” Orang tua mereka pun memberi semangat pada anak-anak untuk menjadi guru yang baik di sekolah.

Yang tidak kalah mengharukan, orang tua yang tahu anak mereka lemah dalam matematika pun memberikan semangat yang sama: “mereka membekali semangat, supaya anak-anaknya bisa menjadi ‘guru’ seperti yang lain. Dan memang, dalam mata pelajaran yang lain, anak-anak berbeda yang akan berperan lebih banyak menjadi guru. Seorang anak bangga bisa mengajarkan men-dribble bola basket pada ‘guru’ matematikanya.” Dan saya pun sependapat dengan ibu guru ini: “ketika anak-anak semangat untuk membantu satu sama lain, rasanya jerih payah jadi guru terbayar sudah.”

Saya perlu sampaikan juga bahwa masalah yang dihadapi guru-guru di NYS ada kesamaannya dengan apa yang dihadapi guru-guru di tanah air. Mereka harus menyiapkan anak-anak mereka pada ujian yang terstandarisasi (standardized tests), seperti Ujian Nasional lah kira-kira. Dan ujian ini juga penting karena nilai anak dapat mempengaruhi penilaian kinerja guru (teacher appraisal). Sehingga kalau mau dibilang stress, guru dan murid (dan orang tua!) bisa sama-sama stress menghadapi standardized tests ini.  Walau demikian, di tengah-tengah semakin mainstream-nya pendidikan yang berorientasi pada tes, persaingan, dan angka-angka (nilai ujian, ranking, dsb), tentu melegakan ketika masih banyak guru dan orang tua yang mementingkan kemampuan anak untuk membantu satu sama lain, dengan penuh semangat pula – dan ternyata tidak mengorbankan kemampuan matematika mereka kok!

Kalau dibaca lagi pertanyaan di awal, sebenarnya yang ditanya bukan tentang pendidikan karakter. Pertanyaannya murni tentang strategi mengajar matematika. Tetapi respon sang ibu guru lagi-lagi menunjukkan bahwa pendidikan matematika bukan tidak ada hubungannya dengan pendidikan karakter. Salah besar menganggap bahwa pendidikan karakter cuma terjadi di pelajaran tertentu, dan tidak bisa dilakukan di pelajaran yang lebih banyak berurusan dengan angka. Dan salah juga beranggapan bahwa mengajarkan matematika tidak bisa dibarengi dengan karakter. Kasus sekolah di NYS ini menunjukkan bahwa strategi untuk pintar matematikapun bisa sekaligus mencerdaskan emosi anak. Tidak perlu mengorbankan karakter hanya untuk angka hasil ujian, kan.

Di wawancara yang lain, kepala sekolah pun mengatakan: “guru-guru di sekolah ini selalu saya ingatkan untuk biasa-biasa saja menghadapi tes. Kalau kita bisa membuat anak senang belajar, dan terus penasaran ingin belajar, maka tes bukan masalah lagi.” Tambahnya: “saya sering bilang pada orang tua, selain snack, jangan lupa bekali anak dengan ilmu yang bisa membuat ia menjadi guru yang baik untuk teman-temannya di sekolah. Kalau kita terus percaya bahwa anak kita bisa, maka ia akan berusaha keras menunjukkan bahwa kita tidak salah.”

*image source.

15 Komentar
Fara Hasna
Fara Hasna October 3, 2018 3:46 pm

Setuju bgttt... emang bener setiap anak punya pemikiran dan pemahaman yang berbeda-beda dan luas sekali. Gak jarang juga saya sebagai orang tua justru malah banyak belajar dari anak. Anak saya menjadi guru untuk saya agar menadi lebih baik terus dan terus. Anyway artikel yang bagus mba thanks yhaa

widi antoro
widi antoro October 3, 2018 3:39 pm

baguss sekali ini...membuat anak lebih peduli dengan teman temannya... tidak saling berkelahi

dieta hadi
dieta hadi October 3, 2018 11:33 am

Setuju banget,s etiap anak memiliki pemahaman yang berbeda. Artikel yang bagus, makasih ya mbak

Rina Kunarti
Rina Kunarti June 23, 2014 8:06 am

Mencoba masuk ke dalam ruang kehidupan penulis -- saya bisa ikut merasakan -- saya sendiri menjadi guru dan sangat bisa memahami -- terimakasih ya sudah sharing tentang ini

elamor
elamor June 21, 2014 12:27 pm

Konsep yang bagus sekali. Tak hanya menjadi murid, tetapi juga menjadi guru. Baik anak yang diajari dan yang mengajari sama-sama jadi lebih pintar.