Kalau ditanya bagaimana cara mengajarkan anak untuk menjaga lingkungan, ada banyak jawaban yang bisa ditemukan. Ada banyak buku tentang cara menjaga lingkungan yang bisa dibacakan kepada anak, aktivitas yang orangtua dapat lakukan bersama anak seperti gotong-royong membersihkan taman atau menanam bibit pohon bakau di pantai, dan contoh kegiatan sehari-hari lainnya yang dapat dikenalkan kepada anak.
Tetapi untuk mencintai lingkungan, menurut saya, itu lain soal.
Mencintai lingkungan tidak berhenti sampai di gotong-royong membersihkan lingkungan rumah, menanam pohon bakau, atau membuang sampah pada tempatnya. Orang dapat saja membuang sampah pada tempatnya lebih karena rasa malu, dan ada peraturan yang mengikat. Karena orang-orang lain di sekitarnya melakukan hal yang sama, sehingga kalau melakukan yang sebaliknya (buang sampah sembarangan), akan dicap sebagai orang yang tidak punya rasa malu dan tidak tahu aturan. Setidaknya, itu yang teramati dari kebanyakan orang.
Beberapa hari lalu, saya dan Alma mendatangi akuarium lokal di kota tempat kami baru pindah. Kami baru saja pindah ke Bergen, salah satu kota pelabuhan terbesar di pesisir barat Norwegia. Akuarium ini punya program kegiatan singkat untuk anak-anak, salah satunya mengenalkan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan pesisir pantai. Staf akuarium yang mengisi program tersebut menceritakan bahwa kota pelabuhan ini berdiri sejak ratusan tahun yang lalu, namun pantai tempat di mana kota ini dibangun, sudah ada jauh lebih awal daripada itu. Pesisir pantai ini sudah tua sekali usianya, hasil bentukan alam selama ribuan tahun (dalam program tersebut ditunjukkan juga animasi simulasi terbentuknya area fjord ini) dan sudah jauh lebih awal dihuni berbagai jenis spesies vegetasi dan hewan-hewan, jauh sebelum manusia datang menghuni pesisir pantai ini dan membangunnya menjadi sebuah kota. Kemudian anak-anak diajak untuk berimajinasi, membayangkan kalau misalnya mereka adalah hewan-hewan kecil yang sudah lebih lama menghuni pantai ini. Lalu bayangkan kalau kemudian manusia yang datang malah merusak pantai -habitat hewan-hewan tersebut- dengan membuang sampah sembarangan dan menangkap ikan-ikan sampai habis untuk menjualnya agar mendapat lebih banyak uang. Bagaimana rasanya saat rumah kalian, hewan-hewan kecil ini, dirusak oleh manusia?
Anak-anak ada yang menjawab, hewan-hewan tersebut tidak akan punya rumah lagi. Ada yang menjawab akan marah karena ‘rumah’nya dirusak. Ada yang bilang, hewan-hewan ini tentu saja akan mati karena ada sampah yang termakan atau air lautnya tercemar dan jadi bau. Saya sendiri tertegun mendengarnya. Bukan tertegun mendengar jawaban anak-anak tersebut, tetapi lebih karena empati anak-anak ‘dipancing’ untuk membayangkan apa yang akan terjadi saat alam dirusak dan keseimbangannya terganggu.
Mungkin sebenarnya untuk belajar mencintai lingkungan, empatilah yang harus ditumbuhkan dalam diri anak-anak. Empati, bahwa manusia hanya meminjam tempat di bumi ini untuk tinggal. Empati bahwa kita berbagi tempat di alam ini, bersama makhluk hidup lain yang sudah lebih dulu tumbuh di dalamnya. Bukan pada tempatnya bagi manusia untuk menjadi tidak peduli, serakah mengeruk isi bumi sebanyak-banyaknya demi perut kenyang, apalagi sampai merusak dan mengotori lingkungan. Karena alam adalah ibu, yang memberi sebanyak-banyaknya untuk makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Namun saat kemudian manusia menjadi ‘hama’ yang mengotori dan merusak alam, dan alam bereaksi dengan timbulnya berbagai bencana, apakah alamnya yang salah?
Dengan empati, rasa cinta dan peduli akan tumbuh. Orangtuanya pastilah harus 'sadar' dulu, punya rasa empati dan peduli terlebih dahulu agar dapat menjadi contoh nyata dan menularkan kepedulian tersebut kepada anak-anak. Dari situ, rasanya tak sulit untuk mengajak anak-anak untuk sadar peduli dengan lingkungan sekitarnya.