“Bayiku yang masih disusui eksklusif sepertinya terlihat baik baik saja. Pertumbuhannya juga sesuai dengan kurva perkembangan. Apakah perlu diberikan suplemen zat besi?”
Hal serupa nampaknya makin sering ditanyakan oleh para orangtua balita seiring munculnya rekomendasi terbaru dari American Academy of Pediatrics (AAP) di tahun 2010 dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) berkaitan dengan anjuran pemberian suplemen zat besi pada bayi usia 4 bulan, termasuk bayi yang masih diberikan ASI eksklusif.
Tak dapat disangkal lagi, zat besi adalah mikronutrisi esensial yang memiliki fungsi penting dalam tubuh. 70% zat besi di tubuh ditemukan dalam sel darah merah (hemoglobin) dan sel otot (myoglobin). Hemoglobin (Hb) berfungsi sebagai alat transportasi oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh sedangkan myoglobin memiliki fungsi kritis dalam proses penerimaan, penyimpanan, transportasi, serta pelepasan oksigen. Tak hanya itu, mikronutrisi ini juga berperan vital dalam proses perpindahan energi antar sel tubuh, metabolisme, sistem enzim, dan sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit.
Kekurangan zat besi dapat mengakibatkan beberapa spektrum efek negatif tergantung dari tingkat keparahan defisiensi yang ada. Kekurangan mikronutrisi besi yang berlanjut ke anemia dapat menyebabkan turunnya performa intelektual, daya kekebalan tubuh, daya konsentrasi, performa belajar, serta nafsu makan. Walaupun kekurangan zat besi bukan satu satunya penyebab anemia, WHO menyebutkan bahwa 50% kasus anemia disebabkan oleh kekurangan mikronutrisi besi.
Data WHO 2005 menunjukkan bahwa 47% anak anak usia pra sekolah di seluruh dunia menderita anemia. Bagaimana dengan Indonesia? data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 mengindikasikan bahwa 48% anak usia balita di tanah air masih menderita anemia. Prevalensi anemia yang tinggi ini mengindikasikan adanya masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di Indonesia dan harus ditindak lanjuti segera.
Menurut WHO, pemberian suplemen zat besi disarankan bila prevalensi anemia di suatu negara lebih dari 40%. AAP sendiri merekomendasikan di tahun 1999 agar suplementasi zat besi hanya diberikan pada bayi yang tidak disusui ataupun yang hanya mengalami partial breastfeeding. Bayi prematur, bayi dengan berat lahir rendah, bayi yang lahir dengan masalah hematologi, serta bayi yang punya kandungan besi inadekuat saat lahir juga dinilai memerlukan tambahan zat besi berdasarkan anjuran AAP di tahun 2005. Sebaliknya, bayi yang masih disusui eksklusif dinilai tidak perlu memperoleh suplemen mikronutrisi ini.
Kebingungan para orangtua terkait dengan pemberian zat besi pada bayi yang masih disusui secara eksklusif muncul seiring dengan adanya revisi rekomendasi AAP 1999/2005 yang dipublikasikan di tahun 2010, dan kemudian diadaptasi oleh IDAI. Berbeda dengan rekomendasi AAP terdahulu, rekomendasi terbaru AAP 2010 menganjurkan pemberian suplemen zat besi pada bayi usia 4 bulan, termasuk pada bayi yang masih diberikan ASI eksklusif. Akibatnya, pertanyaan tentang perlu tidaknya pemberian mikronutrisi ini menghiasi diskusi para orangtua, baik di ruang klinik maupun di dunia maya. Bagaimana para ahli menyikapi persoalan ini? Apa yang harus kita lakukan sebagai orangtua? Pro dan kontra yang terjadi bukan tanpa dasar. Beberapa penelitian ilmiah tentang suplementasi zat besi pada bayi yang masih disusui eksklusif hasilnya masih campur-campur. Hal ini diperparah dengan dengan metode penelitian yang beragam dengan hasil yang bervariasi. Kubu pro suplementasi zat besi untuk bayi yang mendapatkan ASI menyajikan data penelitian yang mendukung manfaat pemberian tambahan mikronutrisi ini. Sementara kubu kontra suplementasi zat besi pun memberikan data penelitian yang memaparkan bahayanya pemberian zat besi serta lemahnya metode penelitian yang digunakan. Membingungkan bukan?
Pro Suplementasi Zat Besi
Rekomendasi AAP 2010 yang menganjurkan pemberian universal suplemen zat besi pada bayi usia 4 bulan, termasuk pada bayi yang disusui eksklusif, beranjak dari kekhawatiran efek jangka panjang yang merugikan dari defisiensi zat besi dengan atau tanpa anemia pada perkembangan syaraf anak. Revisi kebijakan AAP 1999/2005 didasarkan dari hasil studi Friel et al. pada tahun 2003 yang menemukan bahwa bayi yang disusui secara eksklusif dan diberikan suplementasi zat besi pada usia 1 hingga 6 bulan memiliki konsentrasi Hb yang lebih tinggi di usia 6 bulan dibandingkan grup kontrol yang tidak diberikan tambahan mikronutrisi ini. Penambahan mikronutrisi ini juga berdampak positif pada aktivitas visual serta tingginya indeks Bayley Psychomotor Developmental. Karenanya, AAP merekomendasikan agar bayi yang disusui secara eksklusif sebaiknya tetap diberikan suplemen zat besi sebanyak 1 mg/kg/hari sejak usia 4 bulan hingga saat diperkenalkan bahan makanan tambahan yang kaya kandungan mikronutrisi esensial ini.
IDAI juga menilai pemberian zat besi pada bayi usia 4 bulan yang masih diberikan ASI amat penting dilakukan mengingat status anemia dan kekurangan zat besi pada anak Indonesia cenderung stagnan. Pemberlakuan tambahan zat esensial ini juga dinilai tepat sebagai tindakan pencegahan karena seiring dengan rekomendasi WHO untuk melakukan program suplementasi zat besi bila suatu negara punya angka anemia lebih dari 40%. Menurut salah satu ahli di satgas anemia defisiensi besi IDAI, suplementasi mikronutrisi besi juga tidak perlu dikhawatirkan karena telah terbukti aman mengingat tubuh memiliki mekanisme pengaturan sendiri: bila kadar besi dalam darah dianggap cukup, kelebihannya otomatis akan dibuang. Sedikit berbeda dengan AAP, IDAI menganjurkan pemberian suplemen zat besi sebanyak 2 mg/kg/hari pada anak usia 4 bulan hingga 2 tahun.
Kontra Suplementasi Zat Besi
Rekomendasi AAP 2010 tentang pemberian zat besi sejak usia 4 bulan ini ternyata banyak mengundang kontra dari para ahli, terutama ahli-ahli laktasi. Chairperson AAP di komisi breastfeeding berpendapat bahwa pencarian evidens dan diskusi lanjut harus terus dilakukan untuk mengetahui kedudukan suplementasi zat besi pada bayi yang masih disusui. Studi yang dijadikan rujukan untuk suplementasi universal mikronutrisi besi juga dianggap tidak cukup kuat untuk mengevaluasi efek potensial yang berbahaya dari pemberian tambahan zat tersebut pada bayi dengan level kandungan besi cukup, yang telah ditemukan di penelitian lain seperti kenaikan risiko infeksi dan perlambatan pertumbuhan (panjang dan lingkar kepala). Studi klinis yang dijadikan patokan kebijakan suplementasi universal inipun hanya didasarkan dari satu penelitian tunggal di tahun 2003 dengan sampel yang terlalu kecil (n=77), nilai drop out yang cukup tinggi (34%), low compliance terhadap konsumsi suplemen besi (56%), serta tingginya konsumsi susu formula pada responden. Usia anjuran pemberian mikronutrisi besi dari AAP inipun tidak sesuai dengan subjek studi yang terlibat di penelitian tersebut. Karenanya, banyak para ahli yang menilai kelemahan desain studi yang dijadikan dasar bagi anjuran suplementasi besi universal pada anak usia 4 bulan yang masih diberikan ASI.
Menurut temuan penelitian terdahulu, kemungkinan seorang bayi yang disusui secara eksklusif menderita kekurangan zat besi dan/ataupun anemia amatlah kecil mengingat bioavailibilitas zat besi dalam ASI lebih baik dibandingkan zat besi yang terdapat dalam cairan ataupun makanan yang difortifikasi serta cadangan besi pada full term babies dapat bertahan paling tidak hingga 6 bulan. Studi terbaru Ziegler di tahun 2009 yang dimuat di American Journal of Clinical Nutrition juga mendukung fakta bahwa prevalensi anemia zat besi amat rendah (3%) pada bayi yang disusui dan tidak mendapatkan tambahan zat besi di enam bulan pertama kehidupannya.
Pemberian suplemen zat besi ataupun makanan yang diperkaya mikronutrisi ini, khususnya pada 6 bulan pertama kehidupan bayi, amat kontra produktif karena dapat mengurangi tingkat efisiensi penyerapan zat besi, termasuk menurunkan kemampuan pengikatan zat besi dari protein dalam ASI. Akibatnya, bayi malah cenderung memperoleh zat esensial ini dengan kuantitas yang lebih rendah.
Mana yang harus dipilih?
Terlepas dari pro dan kontra para ahli terhadap suplementasi zat besi pada bayi usia 4 bulan yang masih disusui secara eksklusif, tidak dapat dipungkiri mereka tetap sepakat bahwa mikronutrisi besi memiliki fungsi penting dalam tubuh. Mereka juga tetap merekomendasikan pemberian secara perlahan bahan makanan tambahan yang kaya akan kandungan zat besi sejak usia 6 bulan.
Untuk menjembatani pro-kontra tersebut, komisi breastfeeding AAP mengeluarkan anjuran di tahun 2011 untuk melakukan skrining pada bayi yang dianggap berisiko memiliki kadar zat besi yang rendah. Hal ini hendaknya digunakan sebagai panduan dalam menentukan pemberian suplemen besi bagi bayi yang berusia di bawah 6 bulan. Mereka juga menyarankan ditundanya penjepitan tali pusar saat proses kelahiran agar bayi dapat memiliki cadangan zat besi yang cukup.
Berdasarkan data dan informasi terkini, pemberian zat besi di usia < 6 bulan pada bayi yang masih disusui eksklusif memang masih dalam perdebatan. Akan tetapi, pilihan memberikan tambahan zat besi pada bayi yang masih diberikan ASI ataupun tidak menyediakan mikronutrisi ini, kembali pada masing masing orangtua. Yang jelas, untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan si kecil, ia butuh zat besi yang cukup. Kapan saat yang tepat dan di kondisi mana perlu diberikan tambahan mikronutrisi ini, hanya anda sebagai orangtua yang mampu memutuskan.
Selamat mengambil keputusan dengan bijak!
Bu Inayati. Minggu lalu bayiku masuk usia 4 bulan. Saat kontrol DSAnya meresepkan suplemen sangobion bayi. Katanya sebagai preventif adb dan untuk tingkatkan IQ. Namun beliau tidak menyampaikan apa ada indikasi audb pada bayi sy. Bayi saya ASIX, lahir normal dg delayed cord clamping, dan saya tidak anemia selama kehamilan. BAyi saya pertumbuhan BB dan TB nya sangat pesat. BB 7.7 kg. TB 68cm. Hanya LK40cm tidak sepesat BB dan TB nya. Apakah LK yg di garis persentil ketiga dari bawah bs menandakan adb? Sebenarnya sy tidak menentang pemberian suplemen tsb jika dibutuhkan. Tapi saya kuatir efek sampingnya. Cuma untuk skrinning sy juga ragu takut bayiku disuntik ambil darah. Mohon infonya apakah skrinning yg ibu sebutkan itu besar biayanya dan perlu pengambilan darah si baby ya? Terimakasih atas responnya
Assalamualaikum dok. Saya melahirkan bayi prematur di usia 32 minggu dengan berat lahir 1,4 kg. Sekarang usianya sudah 7 bulan 7 hari dan sudah 1 bulan lebih mendapat MPASI. Saya tidak memberinya ASI ekslusif karena ASI saya kurang (bobotnya pernah turun ketika keluar dari NICU sehingga saya beri tambahan susu formula). Saat ini bayi saya tidak mau menyusu (bingung puting, atau entah ASInya kurang) sehingga porsi susu formula lebih banyak, ASI hanya sedikit. Dalam MPASInya saya usahakan memberinya sayuran hijau agar kebutuhan zat besinya tercukupi. Perlukah saya memberinya suplemen zat besi? Berapa takaran yang dianjurkan?
@ bunda aisyah: bunda, saya lebih menganjurkan untuk tetap screening dahulu shg mengetahui status kadar besi di tubuh ananda. konsentrasi berlebihan iron di dalam tubuh si kecil dpt menimbulkan bahaya pula bunda. karenanya untuk kebaikan si kecil, discreening saja ya bunda, insya ALloh ndak kenapa kok walau si kecil nangis sebentar :)
@ rensia: dari yg saya ketahui, stand penelitian ttg kombinasi pemberian iron+asam folat hingga saat ini masih beraneka ragam hasilnya. namun yg pasti, pemberian supplementasi besi baik dg tambahan apapun di daerah endemis malaria harus dilakukan dengan hati hati. bila si kecil memang harus mendapatkan supplemen tambahan besi, dan manakah supplemen mana yang terbaik, saya menganjurkan lebih baik dikonsultasikan dulu dengan dokter anak rensia :).
@ decky HD: saya setuju dg usulan dr. sara, screening kadar serum iron, ferritin ataupun tibc dapat mulai dilakukan saat si kecil berusia 4 bulan. bila ada indikasi nilainya rendah, maka melalui konsultasi dokter, baiknya diberikan supplemen besi. Namun bila masih baik lebih baik ditunda. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, hingga saat ini tes serum ferritin tetap dianggap sbg tes yang lebih sensitif dan reliable utk mendeteksi defisiensi zat besi. semoga sedikit membantu ya.