Pada Oktober 2010, tepatnya pada tanggal 25, Jakarta mengalami kemacetan sangat parah. Kemacetan lalu-lintas di hampir seluruh ruas jalan, termasuk jalan tol, ini berlangsung sepanjang sore hingga menjelang subuh esok harinya. Kemacetan parah ini terjadi akibat banjir di beberapa ruas jalan akibat hujan deras yang merata di seluruh kawasan Ibu Kota. Tak seperti di Wasior, banjir di Jakarta memang tak sampai menelan korban jiwa. Tapi banjir di Jakarta mengakibatkan kemacetan sepanjang malam, yang berarti juga memicu kerugian dari bahan bakar kendaraan yang terbuang percuma serta kerugian non material yang nilainya tentu tak sedikit.
Banjir di Jakarta secara spesifik lebih dikarenakan oleh timbunan sampah. Sampah-sampah yang berasal dari rumah tangga, bisnis, dan perkantoran ini beterbaran di sembarang tempat. Onggokan sampah di Jakarta juga terjadi di saluran-saluran air. Sampah-sampah, terutama sampah plastik, di saluran air inilah yang kemudian menghambat aliran air sehingga terjadi genangan. Ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi, genangan air pun meluap ke jalanan. Luapan air yang berlebihan di jalan membuat jalanan tak bisa dilalui kendaraan. Ini semua berujung pada kemacetan panjang dan memerlukan waktu lama untuk mengurainya.
Volume rata-rata sampah di Ibu Kota yang berpenduduk sekitar 9,5 juta jiwa ini mencapai 6.000 ton tiap hari. Dan dari 6,000 ton sampah tersebut, sekitar 3,700 ton berupa sampah plastik. Ada pihak yang memperkirakan, timbunan sampah Jakarta dalam dua hari saja sudah menyamai Candi Borobudur!
Dari seluruh sampah di Jakarta, yang berasal dari perumahan adalah yang paling banyak, yakni 58 %. Yang lain berasal dari pasar 10%, komersial 15%, industri 15%, jalan, taman dan sungai 2%.
Secara garis besar, ada dua hal yang membuat parah persoalan sampah di Jakarta. Yang pertama adalah sistem pengelolaan sampah. Persoalan kedua adalah perilaku masyarakat.
Pengelolaan sampah di Jakarta baru berupa penanganan sampai pada tempat pembuangan akhir, salah satunya yang terbesar ada di Bantar Gebang, bekasi. Di tempat pembuangan akhir, sampah memang diolah, dengan cara dihancurkan dengan mesin penghancur sampah. Persoalannya, pengelolaan sampah di tempat pembuangan akhir ini kurang memadai jika dibanding dengan volume. Akibatnya, banyak sampah yang harus menunggu lama untuk sampai masuk mesin penghancur.
Persoalan lain pengolahan sampah di tempat akhir ada pada proses pengolahan. Di tempat pembuangan akhir, semua sampah dicampur baik sampah organik maupun yang non organik. Sampah organik adalah yang mudah membusuk atau mengurai di alam bebas, umpamanya daun, sisa makanan, dan kertas. Sampah non organik adalah yang tak mudah atau sama sekali tak bisa hancur, misalnya plastik dan kaca. Di tingkat rumah tangga atau perkantoran, mungkin sudah ada yang berupaya memilah sampah organik dengan sampah non organik di tempat terpisah. Tapi ketika dinaikkan truk, sampah-sampah organik dan non organik ini mulai bercampur, sampai di tempat pembuangan akhir.
Persoalan sampah juga muncul akibat perilaku masyarakat, terutama pemahaman mereka tentang pentingnya mengelola sampah sejak dari tingkat individu. Pemahaman paling dasar tentang pengelolaan sampah adalah berupa kesadaran membuang sampah di tempat sampah, bukan dibuang sembarangan. Dari 9,5 juta warga Jakarta, hanya sedikit saja yang sudah menyadari pentingnya membuang sampah di tempat sampah. Dan sikap mental ini tak ada hubungannya dengan kelas ekonomi. Sebab dalam beberapa kasus, masih saja ada orang naik mobil mewah seenaknya membuang sampah berupa tisu, puntung rokok, bungkus permen, gelas plastik, atau kantong plastik ke jalan.
Persoalan sampah di Jakarta seperti bola salju. Makin jauh, ia kian membesar. Kini saatnya sebagai warga Jakarta yang baik, kita mulai mengubah perilaku sejak sekarang dengan mengurangi sampah rumah tangga kita sendiri, dan membiasakan membuang sampah pada tempatnya.