astridreza wrote:
Aku dulu pernah ngedit buat LSM perempuan, halah ngeri banget itu cerita-cerita samplenya yang dari desa-desa terpencil. Sebenarnya mereka punya pengetahuan lokal dan tradisional yang menarik, tapi akhir-akhir ini bombardir televisi dan budaya urban mengacaukan tatanan banget. Sekarang segalanya jadi serba salah kaprah.
Bapak mertuaku, dosen UNPAD sering juga cerita seperti itu. Skrg malah UNPAD sedang menyusun tim untuk meninventaris kekayaan2 pengetahuan lokal dan tradisional indonesia untuk nantinya dipublish shg bisa berguna bagi masyarakat indonesia.
Salah satu contoh kekayaan lokal adalah melahirkan dengan water birth. Aku dl tahunya ini adalah pengetahuan dari luar negeri, ternyata menurut mertuaku, itu adalah kekayaaan pengetahuan mayarakat Papua loh. Orang asing yang kesanalah yang kemudian lebih mengembangkannya.
Trus bombardir televisi dan budaya urban mengacaukan tatanan lokal, setuju banget tuh. Aku anak desa, lahir dan dibesarkan di desa, baru setelah kuliah saja pindah ke kota. Jaman aku dan adikku kecil (which is hampir 30 thn yang lalu), ibu2 masih jaraaaaang banget pake sufor. Selain uang dari mana, mmg budaya menyusui anak sd 2 thn masih tinggi. Jaman skrg krn pengaruh media, kalau ga pake sufor ga PD. Kalau ga ngasih bubur instant buat babynya ga PD.
Sebenarnya di desaku posyandu ada juga. Posyandu ada lagi sejak jamannya pak SBY, terakhir ada jamannya Pak Harto. Habis itu yang katanya mau reformasi di segala bidang malah mematikan posyandu. DI posyandu di desaku, imunisasi wajib gratis. Posyandu ada tiap sebulan sekali dan ada 1 orang bidan dari puskesmas di kecamatanku yang dibantu oleh ibu2 perangkat desa. Dan aku lihat waktu aku pulkam bulan April kmrn antusias ibu2 & balita untuk datang sangat besar. Cuma yang masih perlu ditingkatkan lagi ya memang kesadaran untuk memberikan ASI lagi pada bayi2nya, dan juga MPASI hasil olahan sendiri untuk bayi2 ini.