Itu slogan Chef terkenal dalam film Rattaouille. Dan itu saya amin-kan, karena memasak is so not me at all. Siapa pun yang mengenal saya dari zaman dulu, tahu persis tentang hal ini. Kemampuan memasak saya sangat terbatas, kalau tidak mau dibilang terbelakang (masak mie instan saja bisa kematangan!). Satu tempat yang enggan saya kunjungi saat bertamu ke mana saja adalah dapur. Di dapur orang tua saja saya merasa terintimidasi. Melihat segala jenis wajan dan memikirkan perbedaan penggunaannya. Itu baru awalnya. Bayangkan bagaimana merica-ketumbar yang seperti kembar siam, dan jahe-kunyit-lengkuas-kencur (saya urutkan berdasarkan urutan perkenalan kami) dan segala daun-daunan (salam, jeruk, kucai) itu membuat saya tertekan.
Saat diperkenalkan dengan mertua yang lihai memasak pun, beliau tidak menjadikan memasak sebagai syarat untuk masuk keluarga besarnya. Lega. Tapi ternyata malah suami saya yang berniat menutup masa lajangnya yang diwarnai makan di luar dan memulai hidup baru makan makanan rumahan. Setiap saat. Maksud suami saya, saat ke kantor pun dia maunya bawa bekal dari rumah. Makan di luar hanya untuk celebration atau recreation. Syukurlah dia memberi keleluasaan dalam pemilihan bahan mentahnya dan... keleluasaan di rasa. Selama dia yakin itu dimasak dengan minyak goreng baru, dan tanpa penyedap rasa, menurut dia itu sudah masuk kategori enak. Very encouraging (?) indeed.
Akhirnya dimulailah petualangan saya memasak. Awalnya hanya sekadar kewajiban. Mulai dari membeli bahan baku sekali seminggu, menyusun menu mingguan (agar tidak tersiksa setiap hari), dan mengolahnya (puncak penderitaan). Setelah punya dua anak, saya masih memberi usaha sangat standard untuk memasak. Tapi lama-lama, hati kecil saya berteriak juga. Kok kayaknya saya malah take my family acceptance for granted? Kok malah karena anggota keluarga saya tidak protes, saya malah tidak berusaha meningkatkan diri sama sekali?
Akhirnya, saya mulai meningkatkan kemampuan saya di bidang satu ini. Langkah awal adalah mengumpulkan resep. Cara jitu untuk tidak membuat frustrasi adalah dengan menyingkirkan semua resep yang menggunakan kata-kata secukupnya karena saya pemuja timbangan. Tadinya saya juga mau menyisihkan semua resep yang ada frasa: sampai wangi, sampai mengembang, sampai kalis, dan segala sampai lainnya. (Saya bertanya-tanya mengapa para penulis resep tidak memberikan waktu pastinya saja, berapa menit, berapa detik.) Tapi kalau itu saya lakukan, jangan-jangan yang tersisa hanya resep nasi uduk. Saya juga tidak mau mengoleksi resep yang bahan-bahannya saja susah didapatkan di supermarket terdekat. Sebagai pemula, saya juga pantang menyimpan resep yang untuk memasaknya tidak bisa diakomodasi dengan peralatan dapur yang sudah ada di rumah. Itu akan jadi alasan menunda memasak sampai nanti barangnya terbeli yang entah kapan.
Setelah saya lihat-lihat, ternyata banyak juga resep yang mudah mulai dari bahan, alat, dan cara membuatnya. Setelah semua usaha memilah resep, sayang rasanya kalau tidak diuji coba. Tips penting untuk melakukan uji coba resep baru, jangan lakukan di pagi hari karena kalau gagal bisa merusak mood seharian, dan siapkan menu plan B. Kalau-kalau uji coba gagal, kita masih punya harga diri dan anak-suami tetap punya sesuatu untuk dimakan.
Sekarang, camilan untuk keluarga sudah bisa saya ganti dengan bagelen buatan sendiri yang kalau kelamaan dimakan jadi kenyal, chocolate chip cookies yang bentuknya melebar tapi bisa dijadikan alat peraga pendidikan dengan menyusunnya menjadi orbit planet, kue berlumur cokelat yang bentuknya astaga tapi rasanya luar biasa (cokelat itu sangat lihai untuk menyembunyikan segala kekurangan rasa), dan yang anti gagal adalah bakpau, bluder tapai dan kue kacang yang jadi favorit.
Soal rasa, saat ini saya masih tidak menerima standar masakan orang lain sebagai pembanding. Tapi coba tanya keluarga tercinta, masakan saya tentu saja mengalami peningkatan cita rasa dibandingkan setahun (apalagi enam tahun) yang lalu.
Everyone can cook (or bake, terminologi ini juga baru-baru ini loh saya tahu bedanya), I am the living proof!
saya memang hobi masak sedari remaja karena suka bantu2 mama yang memang hobi masak. namun demikian, saya sangat setuju dengan statement siapa saja bisa masak. menurut saya skill masak memang sangat bermanfaat. kita bisa mengolah makanan dengan cara yang sehat. tentu saja budget juga bisa lebih dihemat. bonus lainnya, jadi idola keluarga dan teman2 yang suka makanan kita:D
*toss*
saya juga paling males memasak tapi karena ada Darren yg selalu meminta dimasakin mama, jadi semangat deh! :)
@lina : semua yang bisa masak pake ilmu kira kira itu biasanya emang bakat massak, lho. Kalo aku pemuja resep dan timbangan. Aku percaya pada kepastian hahaha
@Luchia : hihihi betuuuul aku juga baru tau dari temen kalo di pasar kosambi ternyata ada penjual bumbu gitu. Bener bener hebat ya, tinggal bilang 'bumbu buat gulai ikan sekilo'. Cring jadi hahaha keren ya
@hestia : 3 kali dalam 3 taun itu proporsional sekali setahun jgn jgn pas anniversary ya :p. Pasti seneng kan kalo liat safina makan masakanmu. Puaaaaaaas
Bwahahah! Sama banget nih sama saya :D Hampir tiga tahun menikah, baru tiga kali masak serius buat suami. Itupun bukan menu lengkap, jadi cuma satu macem per sekali masak, karena masih amatir. Tapi so far suami sangat mendukung, dari memuji, beliin oven biar semangat, sampe berkomentar, "Ini yang masakin Teteh ya?" Karena keahlian masak si mbak di atas keahlian saya :D
Mulai getol masak dan baking karena pengen masakin MPASI buat Safina, terutama bikin kukis bebas gulgar :) Jadilah sekarang suka iseng-iseng "latihan" masak/baking :D
he55x...saya juga gak bisa masak...makanannya pasti digoreng dan sayur ditumis (sembunyi di pojokan)
Trus klo suami pengen makanan yg agak susah (versi saya)
ke pasar,beli bahan,ada tukang bumbu yg bisa meracik segala macam bumbu dan enak (g pake penyedap),dibilang mau masak apa sama yg jual,diracik...trus dimasak di rumah...jadi deh :)