Masih banyak orang yang memberikan stigma negatif ketika mendengar istilah 'tinggal kelas'. Bayangan akan anak yang kurang cerdas, malas, ataupun stempel lain yang akan melekat, seolah menjadi momok tersendiri. Bahkan tidak sedikit orangtua yang memilih anaknya pindah sekolah asalkan bisa naik kelas, daripada harus bersekolah di tempat yang sama tetapi tinggal kelas.
Kekhawatiran yang sama sempat menghantui sebelum saya memutuskan bahwa tahun ini Kira dan Kara akan tinggal kelas di TK A. Saya khawatir Kira dan Kara akan mengalami bullying, diolok-olok, atau ditertawakan teman-temannya. Ketika bertemu beberapa orangtua murid yang tahu bahwa Kira dan Kara masih tetap di TK A, masih ada yang mengernyitkan dahi, menatap saya penuh rasa heran meskipun mereka tidak mengungkapkan secara langsung tetapi keputusan saya seperti terdengar aneh dan tidak wajar.
Lantas mengapa saya memilih memutuskan Kira dan Kara tahun ini tinggal kelas di TK A? Sebelum liburan akhir tahun ajaran, saya menyempatkan diri bertemu kepala sekolah Kira dan Kara, yang sekaligus psikolog di sekolah. Saya mengungkapkan beberapa perkembangan Kira dan Kara di rumah juga tentang beberapa hal yang menurut saya masih belum berkembang sempurna. Ternyata apa yang saya ungkapkan tidak bertepuk sebelah tangan dan hal yang sama juga menjadi perhatian ibu kepala sekolah.
Berikut beberapa hal yang menjadi pertimbangan kami untuk memutuskan Kira dan Kara tinggal kelas:
- Kira dan Kara masih sering menangis ketika menemui masalah yang belum bisa diselesaikan. Kira dan Kara yang terlahir kembar, terbiasa berbagi dan bekerja sama berdua. Ketika di sekolah, terkadang mereka masih harus berhadapan dengan temannya yang merebut mainan, atau mengambil mainan di tangan Kira dan Kara tanpa izin. Hal yang mereka jumpai di sekolah tidak sama dengan yang ada di rumah sering membuatnya frustasi, lalu marah dan menangis. Bahkan tak jarang berteriak. Faktor kematangan emosi inilah yang membuat mereka susah berteman dan makin tergantung dengan saudara kembarnya jika di sekolah. Padahal kematangan emosi sangat dibutuhkan untuk melanjutkan ke tahapan lebih tinggi dalam kompetisi dan sosialisasi.
- Rentang daya konsentrasi Kara masih terbilang pendek. Karena Kara adalah anak yang memiliki kemampuan verbal dan imajinasi tinggi, maka lebih mudah baginya melakukan kegiatan sambil bercerita. Jika dibandingkan harus duduk manis menulis, menggunting atau mencocok. Itu akan menjadi hal yang terkadang lebih cepat membosankan baginya. Mewarnai menjadi hal yang membutuhkan perjuangan ekstra untuk berkonsentrasi. Ditambah lagi kecerdasan motoriknya berkembang lebih lambat dibandingkan kecerdasan bahasanya, sehingga untuk kegiatan pra menulisnya pun masih dibutuhkan stimulasi lanjutan lagi.
- Kira dan Kara yang terbiasa bekerja sama berdua, membawa 'efek samping' di tingkat kemandirian mereka. Kira dan Kara saling bergantung satu dengan yang lain. Karena berada di kelas yang sama, maka jika di dalam kelas, kerja sama itu berlanjut. Seperti, selesai melakukan kegiatan belajar di kelas, yang akan membereskan alat tulis milik Kira, adalah Kara. Jika ada pekerjaan mewarnai yang belum tuntas milik Kara, Kira datang membantu menuntaskannya. Meskipun kerja sama ini mutualisme, tetapi bisa membuat tahap kemandirian mereka terhambat.
- Selain itu, karena terbiasa bermain berdua dan bekerja sama berdua, sehingga ketika bertemu dengan orang baru, terkadang timbul rasa "tidak ada teman yang seasyik saudaraku". Hal itu yang sering membuat mereka sulit untuk bersosialisasi dan menemukan teman yang cocok.
Selain itu, masih banyak faktor-faktor lain yang menyertai. Akhirnya tahun ini Kira dan Kara tetap berada di TK A. Itu sedikit faktor yang menjadi pertimbangan hingga akhirnya kami memilih memutuskan Kira dan Kara tinggal kelas dulu. Namun karena sudah lebih terbiasa dengan lingkungan sekolah, maka tahun ini mereka tidak keberatan untuk berada di kelas yang berbeda: Kira di kelas TK A1, dan Kara di kelas TK A2. Ini kami lakukan bertahap karena kami ingin mereka berlatih lebih mandiri tanpa merusak kerja sama yang sudah terpupuk dengan baik. Dengan berada di ruang kelas yang berbeda kami berharap mereka bisa lebih cerdas bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Tentu saja keputusan ini tidak kami ambil sendiri. Kami tetap meminta pertimbangan Kira dan Kara. Kami tidak mungkin mengabaikan pendapat mereka, karena mereka yang menjalani. Kami ingin mereka juga belajar mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri. Selain itu, jika memang ada teman yang mengolok, kami ingin Kira dan Kara lebih siap menghadapi. Karena ini bukan hanya keputusan kami, tapi juga keputusan mereka. Ternyata mereka pun juga memilih untuk tetap berada di kelas TK A, meskipun nantinya akan berada di kelas yang berbeda. Tentu saja alasannya lebih lucu dan menggemaskan khas anak-anak. Alhamdulillah, setelah hampir dua bulan berjalan di kelas TK A, ternyata perkembangan mereka jauh lebih menggembirakan dari tahun kemarin. Dan teman-temannya di TK A dulu, yang sekarang naik ke TK B, tetap berteman dengan wajar, tidak seperti yang saya khawatirkan. Ternyata keputusan sulit jika diambil bersama-sama dan melibatkan anak akan berbuah manis.
Wah Mbak Wiwit...
Nasib emak2 ber anak kembar yaaa..
Tapi memang harus dipisah mbak sejak awal. ZamZel sudah dipisah sejak masuk TK A th ini, Alhamdulillah hanya awal2 aja sempat masalah, sekarang mereka sudah enjoy dengan teman-teman mereka sendiri2.. Hanya Zamir yang memang lebih pendiam ketika di sekolah dan jenis teman-temannya juga kurang agresif dibanding teman-teman Zello...
MBak Arika,, bener banget, memang harus memperlakukan mereka benar-benar menjadi dua individu.
Semangat Mbak Wiwit, nggak masalah mengulang sebentar untuk lebih baik nantinya. Daripada harus mengulang dilevel yang lebih tinggi...
Keren, wit! Jarang memang yaa yg orangtua dan anak2nya nemilih untuk tinggal kelas. Semoga berguna untuk masa depannya.
Kiss kiss kira kara!
Wow.. ini salah satu pencerahan buat sy yg punya anak kembar jg. Ternyata setelah melewati fase bayi, fase berikutnya nggak kalah menantang yaaaa... ternyata tinggal kelas merupakan satu pilihan jg jika dirasa memang anak2nya blm punya kematangan dan kemandirian yg sesuai. Sy jg mengalami dilema yg sama, bedanya skr Athar dan Audry masih playgroup dan mereka tingkat kematangannya berbeda.. yg Athar masih lebih ketergantungan dgn org lain (eyangnya harus nemenin di sekolah) sedangkan Audry sangat mandiri (sejak hari pertama sdh aktif dan tidak ditemani).. bekal buat ortu yg punya anak kembar adalah harus bs memperlakukan anak kembar sbg dua individu yg berbeda.. meskipun mereka lahir bareng.. salut buat mama kira kara!
Aduh aku sukaaa, mba wiwit & kepseknya kooperatif bgt. Memang harus gini sih ya hubungan sekolah & ortu. Salut deh Wit sama keputusannya, utk kebaikan jangka panjang. Semoga stlh ini banyak dampak positifnya buat kesiapan Kira-Kara ya.
bunda Wiwit : amin, semoga doa yang terbaik untuk semua. Hebat yah Ki-Ka sudah ikut diskusi untuk sekolahnya, kalau Nara sih ngikut mamaknya saja. Alhamdullilah anak-anak jaman sekarang sepertinya cukup bisa beradaptasi. Tadinya saya sangat khawatir untuk sosialisasinya, terutama masalah bullying. Tapi ternyata Nara cukup cuek dengan masalah bully ini & senang dengan sekolahnya, walau di bulan-bulan pertama setiap pulang (sampai sekarang kadang-kadang masih) suka bertanya arti kata-kata yang yang tidak pernah didengarnya seperti kata goblok, miskin, bego, dsb, dll. Hehehehe anak saya kuper sekali yah.