“God never promised that life would be easy, but he promised that He will never leave us nor forsake us.” - Prince Willis
Perjalanan hidup membawa saya beserta keluarga untuk tinggal di Australia sejak 2014. Bermula dari Brisbane (ibukota negara bagian Queensland), kemudian memutuskan pindah ke Melbourne (ibukota negara bagian Victoria), dan sekarang terpelanting ke Dubbo (regional negara bagian New South Wales). Kami tinggal rata-rata di satu tempat sekitar satu tahun. Banyak yang bertanya, mengapa pindah-pindah terus? Jawaban paling diplomatis adalah “Demi menjalankan visi yang Tuhan beri”. Jangan tanya kenapa ya.
[caption id="attachment_119463" align="aligncenter" width="266" caption="Kredit foto: www.freedigitalphotos.net"][/caption]
Kami datang ke Australia dengan memegang visa Permanent Residence subclass 190 (Migration Skill) yaitu skill eksternal auditor. Kebetulan sewaktu di Jakarta, saya dan suami pernah bekerja sebagai eksternal auditor. Kami datang dengan harapan besar bahwa di Australia kami akan bekerja setidaknya di bidang yang sama dengan di Indonesia. “Ya tidak perlu di posisi yang sama dulu, downgrade sebentar juga tidak masalah,” pikir kami waktu itu.
But the reality was so upside down. Enam bulan pertama kami di Brisbane, walaupun sudah ribuan surat lamaran dikirimkan oleh suami, hasilnya nol. Tidak satu pun panggilan pekerjaan datang. Untuk mempersingkat, demi memenuhi kebutuhan hidup dan sewa yang gila-gilaan mahalnya di Australia, suami saya bekerja sebagai buruh di pabrik daging pada shift malam dan ruangan yang dinginnya luar biasa. Sebagai informasi, di sini kesenjangan hidup tidak begitu besar baik bekerja di kantor maupun di pabrik. Asalkan rajin dan mau bekerja apa saja, pasti bisa bertahan hidup. Namun dinginnya ruangan pabrik itu membuat suami saya berulang kali mimisan. And all those things were worsened up by my attitude as a person who supposed to support him.
Tercerabut dari zona nyaman saya di Jakarta, di mana ada pekerjaan dengan posisi yang lumayan, penghasilan lumayan, kantor dekat dengan rumah sampai jam makan siang bisa saya lakukan di rumah, keluarga yang tinggal berdekatan, posisi kerja suami yang dulu juga lumayan, rumah, mobil, dan fasilitasnya sudah ada, asisten rumah tangga yang setia... Bisa dibilang semua itu zona nyaman saya, yang kemudian membuat dalam diri saya gegar. Diperburuk lagi saya juga gegar budaya. Setiap berbicara dengan penduduk asli selalu kesulitan, bukan karena saya tidak bisa bahasa Inggris, tapi karena mereka susah mengerti aksen saya, mengingat Australia lebih ke British English sementara di Indonesia, kita lebih mengacu ke American English. Hari-hari itu seperti mimpi buruk. Saya tidak berani keluar rumah dan bersosialisasi apalagi mencari pekerjaan. Belum lagi merasa minder, selalu marah marah pada Faith, putri saya, bahkan hanya untuk hal super sepele. Padahal Faith saat itu baru 2.5 tahun. Lalu juga marah-marah pada suami dan sejuta kesalahan lainnya. Tak terhitung berapa kali saya mengancam kembali ke Indonesia berdua dengan anak saya. Dengan pengalaman dan jam terbang saya, saat itu saya merasa mampu berdiri tanpa suami.
Bulan demi bulan di Brisbane, akhirnya membawa kami sampai pada kesimpulan bahwa kami harus pindah dari kota ini dan memilih kota terbesar nomor dua di Australia yaitu Melbourne sebagai kota tujuan selanjutnya.
Melbourne yang cantik, dingin, dan terasa seperti di Eropa adalah kota pemberi sedih dan sekaligus semangat buat kami. Di sini kami pernah hampir tinggal di jalanan kalau suami tidak bisa mendapatkan pekerjaan apa pun itu dalam waktu sebulan, karena uang di tabungan tinggal 200AUD sementara uang sewa sebesar 1.500AUD sudah hampir jatuh tempo. Uang 200AUD itu dengan asumsi kami tidak belanja apa pun untuk makan. Namun di kota ini pula saya mulai membaik, saya mulai berani bersosialisasi, mulai mengambil kursus bidang pendidikan anak usia dini, mulai membuka usaha family daycare. Faith juga mulai les musik dan sekolah, serta kami mulai mendapat bantuan pemerintah Australia walaupun di sisi lain pekerjaan suami belum membaik.
Setelah hampir dua tahun tanpa lelah, meski kadang hampir putus asa, suami melamar pekerjaan. Pada akhir Maret lalu, suami saya mendapatkan pekerjaan sebagai akuntan di Dubbo, regional negara bagian New South Wales. Puji syukur tak terhingga, akhirnya 'pecah telur' juga. Di sinilah saya sekarang, selama hampir 4 bulan ini dengan aktivitas yang tentu saja belum banyak, namun tetap mengucap syukur.
Menghadapi situasi seperti diatas tentu tidak mudah buat kami sebagai keluarga dan saya pribadi, tetapi setelah berkontemplasi, kami berkesimpulan ”Nothing is bad, all is good. All is good, good for me, good for him... even good for Faith.”
kredit foto: freedigitalphotos.net
Untuk urban mama yang menghadapi hal serupa, berikut saran yang bisa saya bagi:
- Sebaiknya persiapkan diri sebelum berangkat mengikuti suami pindah, misalnya dengan mengikuti kursus potong rambut, menjahit, dan sejenisnya. Karena biasanya keahlian-keahlian seperti itu mahal sekali harganya di negara-negara seperti Australia. Dengan keahlian tersebut kita bisa buka usaha kecil-kecilan di rumah, dengan metode pemasaran dari mulut ke mulut juga bisa. Siapa sih yang tidak butuh potong rambut setidaknya 2 bulan sekali? Atau bisa juga belajar masakan daerah misal lumpia Semarang, tempe, dan lainnya. Efektif sekali membunuh kebosanan dan sekalian menghasilkan uang. Jangan malu-malu promosinya ya!
- Apabila mengalami gegar budaya, kalau menurut saya, we must fight it back. Perasaan tersebut harus dilawan, jangan kecil hati karena terkadang semua itu cuma ketakutan kita saja.
- Find a friend. Teman bukan hanya yang tampak dan bisa di dekat kita secara fisik ya. Punya teman di tanah air yang bisa diajak curhat mendalam juga terbukti sangat membantu.
- Memperkuat kerja sama, tenggang rasa, dan juga hubungan dengan suami. Tanpa kita sadari suami pasti juga punya beban. Sekaranglah saatnya semakin memperkuat kerjasama dengan suami. Saling curhat, saling membantu pekerjaan rumah (karena tidak ada asisten rumah tangga) sangat efektif membantu. Sering terjadi saat-saat seperti yang kami alami, ada salah satu pihak yang 'terpuruk' lebih dalam, dalam hal ini saya. Apabila hal ini terjadi maka tenggang rasa sangat diperlukan.
- Cari tahu tentang negara yang kita akan datangi. Dengan informasi yang kita dapat setidaknya lebih menenangkan diri kita saat sudah sampai di negara tujuan.
- Banyak-banyak berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Lalu jangan juga lupa untuk bersyukur. Trust me, it works.
- Have faith dan keep it. Saat badai bergelora, dan dunia nyata seolah menarik kita, iman dan visi yang kita punyai bisa membawa kita kembali ke track.
- Carilah aktivitas. Dulu untuk sedikit membunuh 'ketakutan', saya jalan-jalan ke mal dekat rumah lalu setiap sore keliling daerah tempat tinggal sambil mendorong Faith dalam stroller.
- Bawa barang-barang pribadi yang kita sukai seperti buku-buku atau alat musik yang bisa membantu kita relax misal gitar, ukulele, dan sebagainya. Karena meski di negara tujuan juga dijual banyak buku, namun kalau bahasanya bukan bahasa sehari-hari kita, kadang-kadang malah menambah stres alih-alih menjadi pelarian.
Itu beberapa yang dapat saya bagikan, semoga bermanfaat dan juga membuka wawasan bahwa hidup di negeri orang itu belum tentu seindah yang dibayangkan. Ada susahnya dan ada senangnya sama juga seperti tinggal di negeri kita tercinta Indonesia. Tetap semangat, Urban mama!
@mama eka:terimakasih sudah membaca mama eka..amiin akan ada cerita2 lainnya
@mama ninit: betulll sekali ma sampai skrg saya nyesell deh karena tidak ada persiapan apa apa
@mama tetehasti: peluukkk mama tetehasti jugaaa..
@mama diana: terimakasih juga sudah membaca mama diana..
Awesome story, deeply inspiring! Terimakasih sudah berbagi cerita, mama Angling : )
mba, aku terharu baca ceritanya. kalo deket pengen peluuukk
makasih ya mba, setelah melalui perjalanan panjang masih mau sharing dengan orang lain.
ditunggu cerita lainnya
salut sama mama angling!
bener banget. beberapa memandang tinggal di luar negeri itu enaknya aja, perjuangannya ngga dilihat.
nah! aku juga setuju bangettt dengan no 1 terutama potong rambut! :D karena pasti kepake... malah masih pengin kursus potong rambut nih sampai sekarang.
tetap semangat yaa mama angling. terima kasih untuk ceritanya yang inspiring.
Ceritanya menyentuh sekali. Terima kasih mama angling sudah berbagi. Ditunggu cerita2 lainnya ya, mama.