Saya ini orangnya kemraben, selalu bersemangat bila membicarakan pernikahan. Dalam bayangan saya, menikah itu menyenangkan. Punya suami yang siap menemani kemanapun serta anak lucu yang selalu menghadirkan senyum. Karena itu, ketika Mas Tri mewacanakan menikah segera setelah saya menyelesaikan DIII, saya mengiyakannya.
Kami sudah saling mengenal sejak SMA. Saat itupun Mas Tri telah bekerja di salah satu instansi milik pemerintah dan sedang bersiap membeli sebuah rumah. Segalanya tampak sempurna. Keluarga kecil ini nampaknya akan menjalani kehidupan yang nyaman dan damai.
Apa daya, mimpi itu kemudian kandas. Sebuah musibah tiba-tiba mengguncang keluarga (calon) mertua saya. Begitu cepat segalanya terjadi, namun begitu parah kerusakan yang ditimbulkan. Dana yang tadinya akan digunakan untuk biaya pernikahan dan DP rumah terkuras habis untuk recovery. Bahkan harus ambil kredit lagi untuk menutupinya.
Walaupun sempat dilema, kami akhirnya memutuskan untuk tetap menikah di tanggal yang telah ditentukan; 9 hari setelah saya diwisuda. Memulai dari bawah, bukan hanya
dari nol tetapi dari minus.
Bayangan rumah pribadi kami hapus. Tergantikan oleh sebuah rumah kontrakan dengan
perabot minim; kasur, lemari pakaian dan 2 buah cabinet plastik. Televisi kami adalah
monitor komputer butut yang dipasangi TV Tuner, sudah saya pakai sejak tingkat 2 kuliah. Kulkas pun bawaan dari Ayah, dulu dibeli second dari seorang rekan.
Kami belum sempat bulan madu karena saya harus segera mengurus pemberkasan untuk
diangkat menjadi CPNS. Dua minggu setelah menikah kami jatuh dari motor. Kejutan terbesarnya, belum sembuh luka-luka akibat kecelakaan itu, dokter mengatakan saya
positif hamil! Apalagi saat itu Asa diduga tidak berkembang dan harus dikuret
(namun akhirnya tidak jadi). Setelah kejadian itu, panggilan untuk mulai ngantor datang.
Saya harus mulai menjalani ikatan dinas.
Betapa berat rasanya saat itu. Saya belum menerima gaji. Gaji ayah dipotong angsuran
kredit, ayah masih kuliah, masih membantu kuliah dan sekolah adik. Saya hamil, lemas dan mun-mun parah sampai tak bisa melakukan apapun. Sempat bedrest. Biaya transportasi membengkak karena harus menempuh rute Bintaro-Jakarta Pusat setiap hari.
Uang makan sulit dihemat karena saya sama sekali tak sanggup memasak, lewat dapur
saja mual. Belum lagi memikirkan apakah saya punya hak untuk cuti bersalin nantinya.
Yang paling membuat pesimis tentu saja biaya persalinan. Apalagi kami harus bersiap untuk operasi caesar karena Asa sungsang. Tapi benar kata orang, bayi punya rejekinya sendiri. Sebulan sebelum Asa lahir, saya akhirnya gajian. Disusul rapel hasil kerja rodi berbulan-bulan. Besar sekali jumlahnya.
Asa pun akhirnya tidak jadi sungsang, lahir secara normal, tanggal 12 Juli 2009. Dari yang tadinya pesimis, tidak punya uang, akhirnya kami mulai merangkak naik. Ternyata,
bila sudah pernah hidup pas-pasan, punya ART dan mesin cuci itu nikmat sekali ya? Dan bila sudah pernah semalam suntuk mengipasi bayi yang gerah dengan udara Jakarta, AC itu serasa anugerah tak terkira.
Sekarang, alhamdulillah kami tengah mencicil rumah kami yang pertama.
Kelahiran Asa ternyata membuat saya harus menunda banyak hal. Ketika teman-teman seangkatan sibuk mereguk berbagai pengalaman baru yang ditawarkan pekerjaan mereka,
saya justru sibuk mengurus cuti bersalin. Saat mereka mengikuti diklat prajabatan, saya terbaring kelelahan di rumah; menikmati bekas jahitan episiotomi sambil berjuang menyusui Asa yang juga terserang kolik. Saat mereka hangout dan kuliah lagi, saya berkutat memerah ASI serta mengurus printilan-printilan MPASI.
Saya sadar akan risiko ini dan tadinya merasa kuat menjalaninya. Tapi ternyata saya menangis juga. Iri sekali rasanya melihat seluruh teman-teman dilantik menjadi PNS, sementara saya hanya bisa gigit jari. Lebih iri lagi ketika mendapati kenyataan bahwa
sebagian besar dari mereka telah ’bersinar’ di kantor masing-masing, mengembangkan
diri dengan sangat baik. Sedangkan saya stagnan.
Apalagi saat itu suasana kantor kurang menyenangkan. Saya bekerja diantara bapak-
bapak sepuh yang masih menjunjung azas senioritas. Mereka sulit dihadapi. Pekerjaan
itu juga mengharuskan saya pulang malam setiap hari. Membuat saya kesulitan
mempertahankan stok ASIP untuk Asa serta tak punya banyak waktu untuk mengerjakan
urusan rumah tangga lainnya.
Untunglah setelah satu tahun, atasan akhirnya mengambil ’tindakan penyelamatan’
dengan menawarkan saya pindah ke bagian lain. Disana saya akan punya lebih banyak
waktu untuk keluarga, banyak kesempatan untuk berkembang dan mencicipi pengalaman
baru, namun harus merelakan setengah dari penghasilan karena tak lagi mendapatkan
lembur khusus. Tanpa pikir panjang saya mengiyakan tawaran itu.
Sekarang, Asa sudah semakin besar. Saya mulai bisa mengurangi rasa bersalah bila
terpaksa pergi untuk ’mengejar ketertinggalan’. Saat mengikuti diklat prajabatan, saya
pergi 10 hari. Diklat bersama adik-adik kelas ternyata lebih menyenangkan dari yang saya
kira. Berat dan kangen sama Asa memang, tapi tidak sia-sia karena bisa lulus dengan baik.
Saya juga telah merancang jadwal diklat untuk tahun ini dan berencana mengambil pendidikan DIV tahun depan.
Mba Sita, ternyata perjuanganmu luar biasa, keren deh ^^9
What a wonder mama :DDD
Semoga bisa belajar banyak dari para Moms di TUM.
Welcome in new world Yiyist *ketchup*
ternyata pengalamannya ga jauh dari aku mba :D
diinstansi yang sama, cuma beda eselon 1 (aku dilingkungan bintaro) :D
dulu waktu mau nikah, cuma dapet izin 2 hari, karena sebelum nikah aku samapta dulu, setelah samapta, langsung pulang untuk nikah. 1 hari setelah nikah, berangkat lagi untuk diklat diasramakan selama 1 bulan :)
klo mba rela ga prajab, aku bela-belain untuk prajab dengan kondisi jahitan episiotomiku belum kering karena baru 2 minggu setelah melahirkan. alhasil baby dinda (4mos) sejak umur 3 minggu sudah minum sufor karena stok ASI ga cukup (50:50).
selesai prajab, aku ga boleh cuti. padahal aku sudah disarankan oleh dokter untuk istirahat total karena kelelahan dan sempat baby blues. tapi apa daya, tetap harus masuk. jadi langsung lah masuk kantor dengan kondisi aku bawa motor sendiri PP depok-bintaro-depok sejak 1 bulan setelah melahirkan sampai detik ini :D
memang nikmatnya luar biasa dech ada diinstansi ini. ada aja cobaannya hehehe.. *mencoba menikmati* :D
mbak sidta.. sungguh mengharukan.. saya juga sedang berhibernasi menjadi kepompong. baru belajar "merangkak". Semoga suatu saat saya mampu terbang dan menjadi kupu-kupu. Kuat merasakan sakitnya jatuh dan siap berdiri, juga berlari. Semoga suatu saat saya bisa menikmati masa "emas" dan menuai jerih payah yg kami sedang kami tanam sekarang ^_^ Terima kasih untuk suntikan semangatnya..
sita... baru baca ceritamu..
salut deh.. smg slalu berkah ya.. salam buat asa..
wah hebat banget ya perjuangannya...selamat ya sekarang sudah recovery dan mudah2an lebih baik lagi..