Full-Day School: Yay or Nay?

Oleh Retno Aini pada Senin, 15 Agustus 2016
Seputar Our Stories

Beberapa hari yang lalu, orangtua Indonesia sedang dibuat heboh oleh berita ide sistem belajar sehari penuh di sekolah (atau istilahnya kerennya full-day school) yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Muhadjir Effendy. Kalau baca dari berita-berita yang berseliweran di linimasa, Bapak Menteri menjelaskan ide full-day school ini bukan berarti siswa belajar seharian penuh digojlok secara akademis di sekolah. Prinsipnya, sekolah full-day mau dibuat lebih untuk pembentukan karakter positif melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kira-kira bentuknya nanti akan seperti begini: kegiatan belajar formal (akademik) berjalan sampai siang, lalu sisa harinya sampai sore anak tetap di sekolah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Belum dijelaskan spesifik untuk tingkat sekolah mana sistem sekolah full-day ini akan diterapkan.

[caption id="attachment_119559" align="alignnone" width="400" caption="Kredit foto: www.freedigitalphotos.net"][/caption]

 

Mengapa digagas ide seperti itu? Menurut Bapak Menteri sih ide sekolah full-day adalah salah satu upaya untuk membantu para orangtua bekerja agar hubungan dengan anak-anaknya tetap terjaga, selain agar kondisi anak terpantau baik di sekolah selama orangtuanya bekerja. Jadi daripada tidak terawasi, lebih baik beraktivitas di sekolah seharian penuh di bawah pengawasan guru.

Saya yakin bukan hanya di linimasa dan chat group saya saja yang riuh membahas gagasan sekolah full-day ini. Jadi bahan perbincangan seru, ya kan? Banyak tanggapan yang saya baca dari teman-teman sesama orangtua. Ada yang pro, ada yang kontra, banyak sekali yang mengecam, ada juga yang asyik membahas ngalor-ngidul. Beberapa teman yang berprofesi sebagai guru juga ikut menyuarakan pendapatnya masing-masing; dari yang skeptis sampai yang berpikir sebaliknya. Tidak, bukan tanggapannya yang mau saya bahas di sini. Izinkan saya berbagi satu cerita, berdasarkan pengalaman yang saya jalani, yang menurut saya dapat menjadi pembanding untuk gagasan sekolah full-day dari Bapak Menteri.

Agustus ini anak sulung kami, Alma, mulai masuk di sekolah dasar lokal dekat tempat kami tinggal. Sekolah dimulai dari pukul sembilan pagi hingga pukul satu siang, lalu dilanjutkan dengan kegiatan SFO sampai pukul empat sore. Benda apa itu SFO, temannya UFO ya?

SFO atau Skolefritidsordning adalah semacam program (mengutip penjelasannya) ...care and leisure activities outside of the mandatory teaching hours". Lanjutnya lagi dijelaskan bahwa ‘"Our main objective is that ALL children should be happy, and that parents should feel confident that children are safeguarded. An important prerequisite for success in this area is a close school-home cooperation". Program ini sifatnya opsional, di mana orangtua dan anak bisa pilih mau ikut atau tidak. Kalau mau ikut, ada pilihan durasinya: 25 jam/minggu (100%), atau 12 jam/minggu (50%).

Mengapa dibuat ada program ini? Sederhana saja, untuk membantu para keluarga muda dalam pengawasan anak-anaknya. Kalau melihat kondisi di Norwegia, memang biaya hidup di sini tinggi sekali (bahkan untuk hidup sederhana pun) sehingga tidak jarang kedua orangtua harus bekerja. Oke lah anak sekolah dari pukul sembilan pagi hingga pukul satu siang, tetapi kalau orangtuanya harus masuk kantor atau ada kuliah pagi lebih awal dari jam anak masuk sekolah dan baru bisa pulang pukul tiga sore, lantas anaknya dikemanakan? Di sini menggaji babysitter, tenaga au pair, atau punya supir antar-jemput adalah sebuah kemewahan yang tidak semua keluarga muda mampu nikmati. Apalagi tinggal bersama kakek-nenek dan bisa menitipkan cucu sebelum para orangtua ini bekerja atau kuliah. Solusi yang ditawarkan pemerintah untuk membantu keluarga muda, diadakanlah program SFO. Dengan harga yang disesuaikan dan durasinya dapat dipilih sesuai kebutuhan masing-masing keluarga.

Siapa saja yang mengajar di sana? Program ini dikelola oleh pemerintah lewat kotamadya (kommune) setempat. Di setiap program di satu sekolah, ada pengawas yang mengatur berjalannya program ini. Kotamadya juga mempekerjakan lulusan dari sekolah keguruan untuk membantu menambah jam terbang mereka dengan bekerja di sini. Staf pengajar dan pengawasnya diseleksi dan diberikan pelatihan sebelum boleh bekerja mengawasi anak-anak di program ini. Beberapa tahun belakangan, kotamadya juga mempekerjakan beberapa pendatang refugees yang dulunya di negara asal mereka bekerja sebagai guru dan sudah dinilai qualified untuk bekerja mengawasi anak-anak.

Apa saja kegiatan di dalamnya? Ada kegiatan pagi seperti membaca buku, menggambar dan mewarnai, main lego, dan membuat prakarya. Ada juga outdoor playing time dan sesi olahraga usai jam sekolah, jalan-jalan hiking ke bukit terdekat, dan kegiatan lainnya yang sudah dirancang dalam jadwal bulanan yang dapat diunduh oleh orangtua dari situs web milik kommune. Yang pasti kegiatannya lain dari kegiatan belajar formal di kelas. Di sekolah disediakan satu area khusus untuk kegiatan program ini. Jadi saat pagi sebelum masuk kelas dan begitu ‘teng’ jam pulang sekolah, anak-anak pindah dari kelas ke ruang kegiatan SFO. Ruangannya pun dibuat kids friendly dan seperti ruang komunal saja, agar mudah untuk mengawasi anak-anak selama beraktivitas di sana.

[caption id="attachment_119560" align="alignnone" width="620" caption="Barang-barang pribadi anak untuk kebutuhan saat after-school program"][/caption]

Kalau anak diikutkan dalam program ini, dari rumah orangtua diminta untuk menyiapkan semua kebutuhan pribadi anak seperti baju-kaus kaki ganti, baju bermain, jas hujan, sepatu bot, sendal, obat-obatan pribadi serta menginformasikan kalau anak ada alergi tertentu. Sehari-harinya anak membawa bekal dari rumah untuk dimakan saat jam sekolah di kelas, tetapi kalau mengikuti program ini akan disediakan makan siang dan camilan. Selain itu, program ini juga jadi waktu untuk anak bersosialisasi dengan teman-temannya, hitungannya jadi mirip slot waktu bermain di luar jam sekolah. Semua berlangsung dalam lingkungan sekolah, di bawah pengawasan para staf program. Oh ya, program ini hanya dibuat untuk anak-anak kelas 1-4 SD. Untuk anak-anak yang sudah lebih besar, durasi jam belajarnya memang lebih panjang dan sepulang sekolah biasanya mereka ikut klub ekskul yang lebih serius untuk pengembangan hobi seperti olahraga (di klub bola lokal), musik, klub komputer dan dansa. Atau kalau mereka pulang sendiri ke rumah, jam pulangnya pun sudah dekat dengan jam pulang kantor orangtua masing-masing.

Tapi (ada tapinya nih), meski program ini dibuat mengikuti kebutuhan anak dan orangtua, jam pulangnya strict. Ini untuk menjamin agar anak dan orangtua tetap punya quality time bersama-sama. Sebelum pukul empat sore, anak sudah harus dijemput pulang oleh orangtuanya. Ini juga didukung oleh budaya kantoran a la Norwegia yang teng-go: begitu ‘teng’ jam tiga siang waktunya pulang, semua pegawai langsung ‘go’. Yang punya anak, langsung jemput anaknya pulang. Kalau anaknya pulang sendiri, akan diawasi oleh guru di halte depan sekolah sampai mereka naik bus. Terlambat menjemput anak, orangtua akan dikenakan denda yang hitungannya untuk membayar lembur staf pengawas. Sampai tiga kali anak telat dijemput tanpa alasan jelas yang dapat dipertanggungjawabkan, orangtua bisa dilaporkan ke pihak berwajib karena melakukan penelantaran anak (yang mana di sini adalah tindak kriminal).

Saat ini Alma kami ikutkan ke program ini (yang 50%). Pertimbangannya, kami tinggal di area perumahan yang jauh dari mana-mana dan tidak ada tetangga yang punya anak kecil seusia Alma. Dengan ikut program ini, Alma dapat bersosialisasi dengan teman-teman sekolahnya, setidaknya bermain bersama di hari sekolah. Salah satu teman di sini juga bilang, program ini terasa sangat membantu bagi orangtua muda yang baru punya anak bayi lagi sementara anak sulungnya sudah bersekolah. Saat si kakak di sekolah, sang ibu di rumah dapat tenang mengurus si adik bayi dan membereskan pekerjaan rumah tangga. Begitu sore, si kakak dijemput sambil sang ibu bawa si adik bayi jalan-jalan pakai stroller. Tapi Ai, apa tidak takut dicap sebagai orangtua sok sibuk yang tega menitipkan anak lebih lama di sekolah demi pemasukan tambahan namun hak anak akan quality time bersama orangtua menjadi terbengkalai? Oh tidak. Insha Allah, kami tahu apa yang terbaik bagi keluarga kami. Dengan setiap hari selama dua jam Alma mengikuti program tersebut di sekolah, saya di rumah juga dapat membereskan pekerjaan dari Jakarta, ikut kelas les, wara-wiri belanja lebih efisien tanpa Alma ikut dan merengek minta ini-itu, dan menyelesaikan banyak hal yang mustahil diselesaikan kalau Alma jumpalitan di rumah. Sebelum menjemput Alma, saya berusaha semua pekerjaan di hari itu sudah beres. Begitu Alma tiba di rumah, waktu dan perhatian kami penuh untuk Alma. Memang sih, ada banyak cerita dari keluarga lain (yang memasukkan anaknya di sekolah swasta Indonesia dengan sistem serupa sekolah full-day ini) yang pernah kami dengar juga, bahkan saya saksikan langsung. Namun menurut saya itu bukanlah gambaran yang bisa saya generalisir untuk kondisi kebanyakan orangtua di Indonesia.

Jadi, baguskah sistem sekolah full-day ini diterapkan di Indonesia? Ide ini kelihatannya masih sebatas cita-cita ya, kalau bukan mimpi indah bersama. Untuk dapat mulai diterapkan, masih jauh dan masih terlalu banyak yang harus dibenahi. Dari segi sumberdaya manusia, infrastruktur dan instrumen kebijakan pendukungnya saja masih keteteran. PR negara ini masih terlalu banyak. Apalagi membayangkan kondisi mayoritas sekolah di Indonesia, kondisi para tenaga pengajar, kondisi dan pola pikir para orangtuanya, belum lagi isi kepala para pembuat kebijakan di negara tercinta kita ini. Banyak sekali yang perlu dibenahi di dalam Indonesia sebelum dapat dibilang menerapkan program ini serentak dan merata. Kalau melihat kondisi sekarang sih, sistem sekolah full-day lebih terasa seperti sebuah kemewahan yang harus ekstra diupayakan. Namun bukan berarti tak mungkin dicapai. Ya boleh punya mimpi, punya cita-cita, punya ide bagus. Pertanyaannya kalau sudah punya ide bagus, apakah kita semua siap memantaskan diri untuk mewujudkan ide tersebut?

12 Komentar
Retno Aini
Retno Aini August 18, 2016 4:19 pm

@Ipeh setuju, Peh. Nah itu kondisi yang teramati banget di anak2 sekolah di sini... sekolah dibuat jadi tempat yang menyenangkan untuk anak, nurturing minat belajar anak. Kalau anak sudah senang bersekolah, motivasinya buat belajar juga jadi bagus.

Retno Aini
Retno Aini August 18, 2016 4:15 pm

@Honey iya Hon, salah satu kuncinya ada di perbaikan kualitas sekolah dan tenaga pengajar. PR besar nih buat pemerintah menyediakan pendidikan dasar yang layak. Kenyataannya sekarang mau mendapatkan pendidikan dasar yang bagus dan layak saja masih harus bayar mahal.

Retno Aini
Retno Aini August 18, 2016 4:11 pm

@LarasWahyu Memang sih, pengecualian buat daerah pusat atau ibukota propinsi, kondisi sekolah seperti yg mba Laras ceritakan masih banyak sekali ditemui di daerah-daerah. Rasa-rasanya malah sama saja, seperti SD tempat saya sekolah waktu di Maluku di tahun 80an, terakhir melihat kondisinya 2 tahun lalu ya tidak berubah, seperti tidak tersentuh perbaikan kondisi atau bantuan apapun. Buat Indonesia, masih jauh lebih penting untuk memperbaiki kualitas sekolah dan tenaga pengajarnya terlebih dahulu.

Retno Aini
Retno Aini August 18, 2016 4:02 pm

@bimba setuju, semoga pemerintah gak terburu-buru menerapkan ini. Lebih penting untuk memperbaiki kualitas sekolah dan guru di Indonesia terlebih dahulu.

musdalifa anas
musdalifa anas August 16, 2016 7:18 pm

Wah ai tulisannya menarik banget. Kalau aku sebenarnya lebih konsen bagaimana menjadikan sekolah itu adalah tempat yang menyenangkan bagi anak, anak-anak berangkat ke sekolah dengan senang hati, selama berada di sekolah juga senang, kalau semua ini sudah terwujud, mau berapa jam pun di sekolah, anak-anak happy.