Kita bisa menemukan momen yang baik untuk mengajarkan anak-anak tentang bersyukur dan berbagi kapan saja. Bagi yang muslim, saat berbuka puasa dengan anak-anak panti asuhan, memberikan sedekah (sumbangan), berzakat, adalah cara yang biasanya digunakan untuk mengajarkan anak-anak untuk bermurah hati dan berbelas kasihan pada orang lain. Kita berharap anak-anak menjadi gemar berbagi, ringan tangan dan sifat murah hati tertanam di diri mereka, sehingga mereka tumbuh menjadi orang-rang yang tidak hanya mementingkan diri sendiri.
Saya yakin banget teman-teman di sini pun senang berbagi. “Andaikan aku punya lebih, aku tidak akan segan-segan membantu mereka…” seringkali suara seperti itu berbunyi di diri kita, pastinya. Bahkan kadang saya suka merasa tidak berdaya, merasa tidak mampu membantu teman-teman yang kebanjiran, misalnya, atau kebakaran dan bencana alam lainnya; atau membantu mereka yang setiap hari terhimpit karena tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Saya sedih karena bingung bagaimana membantunya, terutama karena penghasilan pun tidak lebih-lebih amat, jadi mau nyumbang pun harus diperhitungkan dengan bijak jumlahnya. Demikian juga untuk anak-anak yang masih sekolah, belum bekerja dan berpenghasilan; apakah mereka mengerti bahwa konsep “charity” tidak sebatas memberikan sumbangan berupa uang atau barang? Sebab jika sumbangan selalu diasosiasikan dengan memberikan uang atau memberikan bahan makanan kepada keluarga miskin, maka bisa jadi merekapun merasa tidak mampu; dan merasa harus menunda untuk membantu orang lain sampai mereka berpenghasilan. Sayang banget kalau anak-anak merasa seperti ini, karena sebenarnya semuda apapun, seminim apapun tabungan mereka, selalu ada jalan untuk membantu orang lain.
Sambil kuliah, saya berusaha belajar dari lingkungan tempat saya berada saat ini. Salah satu hal menarik yang saya pelajari adalah budaya “volunteerism” yang lebih kuat daripada di kota-kota lain yang pernah saya tinggali. Di sini, yang penting adalah kemauan. Begitu sudah niat mau membantu, ada banyak sekali jalan, yang terbuka sepanjang tahun. Jadi tidak hanya satu bulan seperti Ramadhan saja, tetapi sepanjang tahun. Dan tidak melulu memberi sumbangan uang atau barang.
Kunjungilan sekolah. Sampai di ruang depan (Tata Usaha), sampaikan saja: “saya ingin jadi volunteer, tetapi saya bukan guru dan tidak punya latar belakang pendidikan guru.” Saya cukup optimis bahwa ada “lowongan” volunteer di sana, entah sebagai asisten guru yang membantu menggunting kertas warna, merapikan rak buku, atau mengawasi anak-anak makan siang di kafetaria. Mereka punya sistem yang mengelola kerja sukarela, dan hal ini biasa dilakukan di sini.
Ada juga kegiatan “food drive” yang mengumpulkan bahan makanan yang akan disumbangkan untuk tempat-tempat sosial semacam panti asuhan. Gerakan ini biasanya dilakukan dengan menggelar meja alakadarnya, dengan banner sederhana, di depan sebuah supermarket/hypermarket. Sebelum masuk supermarket, anak-anak SD dan remaja yang menjadi relawan memberikan pengunjung flyer yang berisi info tentang: daftar makanan yang dibutuhkan (biasanya makanan kaleng supaya lebih awet dan mudah dimasak), dan ke mana makanan tersebut akan disumbangkan. Setelah selesai belanja, orang dapat memberikan makanan tersebut di meja yang tersedia. Volunteer selalu dibutuhkan untuk menyebarkan leaflet tadi, atau mengorganisir makanan. Menjadi volunteer seperti ini membuat anak-anak mengerti bahwa meskipun mereka belum mempunyai uang untuk menyumbang, mereka punya tenaga yang bisa dikontribusikan.
Saya juga pernah menjadi volunteer di lahan pertanian milik sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). LSM ini adalah “food bank” yang memasok sayur-sayuran untuk shelter homes atau rumah singgah untuk orang-orang yang tidak mempunyai rumah di wilayah Albany. Setiap Sabtu, LSM ini mengundang volunteer untuk membantu mereka di lahan. Jenis pekerjaannya sesuai kebutuhan saat itu. Maka saya, suami, dan teman kami pun menghabiskan waktu di lahan dengan mencabut tumbuhan liar (gulma/weeds) yang mengganggu tanaman ubi.
Saya dan teman-teman kampus juga sempat satu kali membantu di Habitat For Humanity, sebuah lembaga yang fokus untuk membangun rumah layak huni untuk keluarga miskin. Kami membantu membawakan papan, mengelompokkan paku atau membersihkan alat-alat. Bukan pekerjaan canggih yang membutuhkan keterampilan tinggi, dan tentu saja tidak menghasilkan satu rumah (haha) tetapi kami cukup puas bisa membantu.
Salah satu hal yang penting, yang terus terang sering menghambat orang untuk membantu orang lain adalah suara-suara semacam ini: “ah saya cuma bisa segini, percuma ngga akan bantu juga.” Dalam kasus Habitat for Humanity: “ah, saya ngga ngerti soal bangun rumah, cuma bisa bawa papan, apa gunanya…” Suara seperti itu seringkali bukannya membantu malah membatalkan niat kita. Penting untuk anak-anak, dan juga orang dewasa, membuang perasaan seperti itu dan mulai berpikir bahwa sekecil apapun bantuan saya, tetap bisa membuat perbedaan untuk hidup orang lain.
Kegiatan volunteering lain yang bisa dilakukan, dan biasa dilakukan anak-anak dan keluarga di sini adalah mengunjungi panti asuhan, atau panti jompo, atau simply mengunjungi kerabat yang sudah sepuh. Kemudian tanpa babibu, menawarkan diri untuk membersihkan ruang, menyapu halaman, atau menanam bunga. Anak dari teman kuliah saya sangat senang melakukan ini, hobinya adalah menyampul dan menyusun buku-buku di perpustakaan panti jompo. “What I did was helping them find the books easily,” ujar bocah 8 tahun itu dengan bangga.
Satu hal yang ingin saya bagi juga di sini adalah bahwa untuk bekerja volunteer di banyak (tidak semua) tempat, kita tidak perlu pakai daftar, tidak pakai keanggotaan. Siapa saja boleh datang, dan boleh memutuskan untuk tidak datang lagi. Singkatnya, tidak ada komitmen. Kenapa ini menjadi penting? Saya ingat pengalaman ketika saya ingin volunteering di Jakarta, di salah satu lembaga sosial yang membantu anak-anak jalanan. Belum apa-apa saya diharapkan untuk datang setiap minggu, harus mengisi daftar hadir dan sebagainya. Tentu saja saya menjadi segan, karena merasa tidak yakin bahwa saya sanggup kalau harus datang setiap minggu. Belum lagi sindiran-sindiran tentang sumbangan barang. Apakah tenaga saya tidak bisa digunakan? (maaf jadi curcol hehe).
Semoga cerita saya ini bisa menginspirasi teman-teman untuk terus mengajarkan anak-anak agar gemar membantu orang lain, dan menanamkan rasa percaya diri pada mereka bahwa (kasarnya nih) ngga harus nunggu jadi orang kaya untuk bantu orang lain. Saya juga sangat berharap budaya volunteerism di Indonesia bisa terbangun, sehingga selalu ada ruang dan kesempatan untuk membangun kebiasaan saling membantu, saling peduli.
selalu senang baca artikelnya mbak Nisa, menyentuh dan menginspirasi sekali.
tfs mbak.
artikelnya bagus bgt mba Nisa..kalau mau nunggu kaya sampai kapan ya..jadi gak bantu2 dunk ya...
btw, baru kemarin liat komen ttg volunteer di RFL TUM:
---
Dyah Febriantiene: sebelumnya mhn izin di forum ini...sy ingin mengucapkan bjuta2 terimakasih banyak kpd seluru.h panitia Run For Love,anak sy bs ikut dilibatkan sbg volunteer..acara ini berlangsung lancar dan sukses pun sy ikut senang,walopun kontribusi anak sy tdk byk...sekali lg terimakasih,haturnuhun pisan..
---
seneng banget bacanya :)
makasih mbak nisa sharenya! someday pengen jadi volunteer rame2 sekeluarga, seru tampaknya :) dan pernah ngerasain juga, komitmen untuk selalu datang itu membuat segan ikutan krn takut gak bisa selalu hadir :p
i miss your writing nisaaa!! udah lama gak liat and as always selalu memberikan insight yang keren banget!! dan makasih udah ngingetin untuk ini, emang mesti ngajarin anak dari kecil untuk ini yaa.. PR nih buat ngajarin ke anak2. mau ah sesekali ajak mereka dateng ke panti2 gitu untuk volunteer work. they need that to see that there are people who are less fortunate than them and they need to give out their hand to help, no matter how little they have.