Ketika baru beberapa hari masuk Sekolah Dasar, anak sulung saya bercerita tentang pengalamannya bersekolah di lingkungan baru. Menurut saya semua terasa cukup normal, hingga dia bercerita bahwa salah satu teman sekelasnya memukulnya.
Itu bukan satu-satunya kasus. Suatu ketika, kakak juga bercerita bahwa saat bermain di taman bersama anak-anak tetangga, salah satu anak laki-laki yang usianya lebih tua beberapa tahun memukul (maaf) pantat anak saya. Kasus ini juga diperkuat oleh kesaksian adiknya, anak bungsu saya.
Setahun yang lalu, saya juga pernah mendapati anak saya dilempari bola plastik seukuran bola tenis yang biasa dijumpai di tempat mandi bola secara kasar dan berkali-kali, oleh anak yang jauh lebih besar.
Sebagai orangtua, tentu ada perasaan kesal dan marah mendapati fakta anak kita disakiti oleh orang lain. Padahal kita sendiri berusaha sekuat tenaga menjaga anak-anak agar selalu dalam keadaan sehat dan baik. Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai orangtua, jika anak kita mendapat tindak kekerasan dari orang lain? Sekedar marah dan kesal tentu tidak menyelesaikan masalah dan tidak akan 'memperkuat' anak kita.
Setidaknya, saya akan melakukan tiga tahap berikut untuk menyikapi masalah kekerasan yang menimpa anak-anak saya.
1. Klarifikasi dan Konfirmasi
Sebuah laporan tentu harus diperkuat dengan bukti dan saksi atau pengakuan dari pelaku. Meskipun korbannya adalah anak kita sendiri. Hati boleh panas, tetapi pikiran harus dingin. Untuk dua kasus pertama, kebetulan saya tidak melihat sendiri, namun mendengar laporan dari anak-anak saya. Maka saya butuh bukti untuk memperkuat kejadian tersebut.
Untuk kasus pertama, kakak cerita bahwa tangannya dipukul oleh teman laki-laki sekelasnya. Saya pun langsung mengecek tangannya. Adakah memar atau mungkin luka. Saya tanya dengan detail, kenapa kakak dipukul, dipukul dengan apa, apakah masih terasa sakit, lalu apa yang dia lakukan kemudian; apakah melapor ke guru, dan seterusnya.
Untuk kasus kedua, ada saksi yakni adiknya. Dan pelaku pemukulan kebetulan anak tetangga, dimana saya dan suami mengenal orang tuanya. Kami pun melakukan konfirmasi kepada orangtua sang anak yang memukul anak saya, apakah benar anak mereka memang memukul anak saya.
2. Mencari Solusi
Untuk kasus pertama, di mana kakak dipukul teman sekelasnya yang nampaknya 'kekuatan' mereka cukup berimbang, saya menganjurkan kakak untuk menghadapi dan meminta temannya untuk minta maaf serta tidak mengulangi perbuatannya, tanpa perlu dendam atau balas memukul. Jika temannya tidak mau dan kemudian hari melakukan hal serupa, baru lapor ke guru. Kasus pertama ini saya golongkan sebagai masalah, bukan bahaya. Berselisih antar teman adalah hal biasa. Tugas orangtua adalah membekali anak agar bijak menghadapi masalah.
Sedangkan jika anak mengalami kasus kedua dan ketiga, ketika 'lawan' terlihat lebih kuat, saya akan melakukan tahap selanjutnya,
3. Turun Tangan
Memang sebagai orangtua, kita tidak perlu selalu ikut campur atau turun tangan menyelesaikan masalah anak. Namun jika menyerempet bahaya dan pelecehan, kita harus bertindak. Adalah hal bodoh jika kita sebagai orangtua hanya diam.
Untuk kasus kedua, telah saya sebutkan bahwa kami kemudian melakukan konfirmasi kepada orang tua pelaku. Anak laki-laki tersebut mengaku, lalu meminta maaf pada kami. Hubungan pertetanggaan kami baik-baik saja kini. Meskipun sekarang, anak kami lebih melakukan sikap antisipatif dengan menghindar bermain dengan anak tersebut. Kami juga tidak memaksa anak kami untuk bermain bersama anak tersebut jika memang dirinya merasa kurang nyaman. Karena memang mereka berbeda usia dan berbeda gender, sehingga bahasa permainan mereka juga banyak perbedaan. Tak perlu dipaksakan untuk bermain bersama juga.
Untuk kasus ketiga, kebetulan saat itu saya berada di lokasi dan melihat sendiri kejadiannya. Kala itu, anak saya masih berusia lima tahun. Ia sedang bermain bola dan memang anak saya yang melempar bola duluan ke anak lain. Entah karena tidak terima atau bagaimana, anak tadi (yang lebih besar dan lebih tua) balas melempar bola dengan keras dan berkali-kali ke arah anak saya hingga anak saya harus membungkuk menutupi kepalanya. Merasa hal itu kelewatan, saya yang duduk tak jauh dari situ langsung menghampiri dan berkata "Hei" dengan volume lebih keras. Seketika dia menghentikan tindakannya seraya menggerutu. Karena telah menyudahi tindakannya, saya pun membiarkan dia pergi. Kemudian saya menggandeng anak saya ke pinggir dan memeluknya. Kita harus pastikan bahwa anak dalam keadaan baik dan tidak terluka ketika mereka hampir atau telah mengalami bahaya. Selanjutnya setelah tenang, saya menasehati anak saya untuk tetap menjaga sikap jika bermain di area publik.
Sebagai orangtua, tentu kita sangat berharap anak-anak mampu menyelesaikan masalah tetapi juga terhindar dari segala mara bahaya. Meski anak saya telah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan di usianya yang masih sangat muda, saya merasa beruntung dia mau terbuka menceritakan segala hal yang menimpanya. Sehingga saya selaku orangtua dapat dengan segera membimbing mereka dan memberikan dukungan. Bayangkan jika anak-anak tertutup dan menyembunyikan segala masalahnya dari orangtua.
Saya sangat berharap, anak-anak Urban Mama selalu terhindar dari bahaya. Berkaca dari pengalaman anak saya, tidak ada salahnya melakukan tiga hal berikut untuk mengantisipasi hal buruk menimpa anak-anak.
1. Bekali anak untuk mampu mengidentifikasi masalah dan bahaya. Kita memang tidak ingin hal-hal buruk terjadi pada anak, teTapi kadang anak-anak tidak tahu apa yang harus dilakukan jika ternyata hal buruk tersebut sudah mendekat atau bahkan menimpa mereka. Karena itu, ajari mereka untuk cepat berpikir dan berusaha mengidentifikasi keadaan yang menimpa mereka.
Masalah adalah seperti perselisihan dengan teman sebaya atau saudara yang memiliki kekuatan berimbang. Bahaya adalah jika anak-anak menghadapi anak atau orang yang lebih besar mendekat dengan tindak tanduk yang meresahkan anak. Jika sekiranya menghadapi bahanya, saya menganjurkan mereka untuk LARI dan MENGHINDAR. Menghindari bahaya dan menghindari masalah adalah dua hal yang berbeda ya, Urban Mama. Alih-alih menantang bahaya, meski tahu akan keterbatasan yang mereka miliki, lari dan/atau menghindar justru merupakan satu langkah bijak. Jika merasa ada bahaya yang akan menimpa dan sekiranya mereka tidak mampu menghadapi, mereka harus mampu secepatnya pergi menyelamatkan diri.
2. Selanjutnya, jalin selalu kedekatan dengan anak. Luangkan waktu setiap harinya untuk mendengar cerita mereka. Buat mereka selalu merasa aman dan nyaman dengan kita. Kedekatan dengan keluarga akan membuat mereka menjadi terbuka dan tidak segan -apalagi malu- bercerita dan mengutarakan isi hati pada kita. Kedekatan ini juga akan memberi mereka rasa dicintai dan menciptakan rasa percaya diri, sehingga mereka terhindar dari sikap menyimpan masalah atau keresahan batin sendiri, bahkan lebih buruk, mencari pelampiasan negatif.
3. Yang terakhir namun tidak kalah penting, selalu ajak anak-anak untuk melakukan aktivitas fisik yang mereka sukai setidaknya satu jam sehari. Melakukan aktivitas fisik secara teratur tidak hanya mampu memperkuat raga anak, tetapi juga meningkatkan kemampuan berpikir anak. Sehingga mereka jadi lebih cepat tanggap dalam berpikir dan bertindak saat menghadapi masalah atau terancam bahaya.
Aktivitas fisik dapat beragam, seperti menari dan berdansa bersama, lari sore, berenang, yoga atau bahkan ikut latihan bela diri. Lakukan secara teratur dan yang terpenting adalah anak-anak senang menjalaninya.
Jika mama Urban Mama ada tambahan tips atau pernah mengalami hal serupa, silakan berbagi di kolom komentar. Semoga bermanfaat dan semoga anak-anak kita selalu terlindung dari bahaya apapun ya, Urban Mama.
Kalki juga pernah berantem dengan teman sekelasnya di PAUD tapi karena Kalki anaknya nggak terimaan dia selalu balas pukul kalo diganggu atau dipukul anak lain.
*Peluk Kakak*
Darren juga sering di-bully sama temennya tapi kadang kami ngajarinnya, sepanjang hanya kata-kata yg keluar dari si pembully, ga usah dimasukin kedalam hati... pergi jauh menghindar aja karena kata-kata yg penting didengar hanya datang dari kami orangtuanya.
Kalau si pembully main fisik lebih dulu, lawan! Bersyukur sih sampai saat ini kejadian fisik belum terjadi dan mudah-mudahan ga perlu terjadi di masa depan.
Duhh.. peluk kakak dulu..
Wkt itu Millie pernah kok dibully sm temen nya, lalu tindakan yang gw ambil jg tanya ke anaknya baik2, trs konfirmasi ke miss nya. Drmh juga gw ksh penguatan ke Millie kalo ada hal begini lagi, dia hrs bisa protect diri nya.
Btw, TFS yah Ndahhhh..
iya benerrrr Yeye... anak-anak juga harus percaya diri untuk bisa menjaga dirinya sendiri. karena ngga selamanya kan orang tua dan guru bener-bener bisa mendampingi dan menjaga mereka.
GO brave kids...
artikelnya bermanfaat dan bagus banget buat kita sebagai orangtua. thanks indah!
Alhamdulillah... Terimakasih sudah mampir :)