image credit: gettyimages.com
Menjadi pelaku hubungan jarak jauh selalu menghadapkan kita pada dua kondisi: jatuh atau justru menjadi sumber inspirasi. Kemarin sore saya menerima pesan dari seorang teman baik,
"Mbak, aku sudah 'isi'... Bernasih sama sepertimu, jauh dari suami. Hiks."
"Hayo semangat, ini anugerah," balas saya berusaha mengingatkan sang teman, "Jangan diratapi, kita harus bersyukur. Bayangkan orang pada ingin hamil tapi nggak bisa."
Saya bisa merasakan kebimbangan teman saya ini. Sesama pendatang di ibukota, pekerja, suaminya jauh di tanah rantau di Sulawesi. Jauh pula dari orangtua saat sedang hamil muda. Miris jika dilihat sekilas mata tetapi itulah kondisi yang harus dihadapi saat ini. Tuntutan hidup memang unik dan penuh cerita.
Kondisi sang teman masih jauh lebih baik dari yang sedang saya jalani. Suaminya paling tidak masih bisa pulang paling tidak sebulan sekali, atau kalau kondisi memungkinkan, setiap bulan bisa bolak-balik empat kali. Atau sebaliknya. Jika kondisi kandungannya sudah kuat, mungkin teman saya sesekali bisa menyambangi suaminya di Sulawesi.
Bagaimana dengan saya? Menikah bagi saya adalah lompatan hidup paling besar. Yang artinya harus bisa menerima semua konsekuensi yang ada di hadapan saya. Semasa pacaran dulu kami sudah terpisah jauh, bukan cuma belahan pulau tetapi 7.000 kilometer lebih tepatnya. Saya di Indonesia, dia saat itu di Kuwait.
Lakon long-distance relationship ini ternyata harus berlanjut sampai ke jenjang pernikahan. Karier yang saya miliki dan karier yang suami jalani mungkin jadi alasan terbesar yang 'mewajibkan' kami harus memilih long-distance marriage. Sampai akhirnya salah satu dari kami mengalah, dengan mimpi ingin bisa sama-sama satu atap. Suami meninggalkan karier yang sudah tahunan digeluti di wilayah Timur Tengah. Selanjutnya sudah bisa ditebak: kehidupan pernikahan yang lebih berwarna.
Ternyata tak berlangsung lama. Saya harus bangun dari mimpi indah saya saat suami mendapatkan tawaran kerja lagi. Kali ini ke Uni Emirat Arab. Keputusan kami sudah bulat, suami terbang lagi dan saya tetap di sini, di Indonesia. Di saat yang bersamaan, Tuhan memberi saya seorang 'teman' yang kini tumbuh dalam rahim saya.
Berat. Bingung. Sedih. Kesepian. Cemburu juga pada kebahagian pasangan lain yang mungkin selama kehamilan ada suami siaga di sampingnya. Tetapi saya percaya, Tuhan Maha Tahu kapan dan di mana waktu yang terbaik untuk kita. Yang ada di rahim ini adalah anugerah, bukan berarti menjadi lemah karena keadaan. Tersenyumlah, karena di belahan dunia sana mungkin ada kondisi yang jauh lebih memprihatinkan daripada yang sedang dialami.
Saya teringat sebuah kejadian yang menimpa teman saya yang lain. Sedang hamil muda belum sampai tiga bulan, suaminya dipanggil Yang Maha Kuasa dalam sebuah kecelakaan. Ini mengingatkan saya untuk banyak-banyak bersyukur, setidaknya masih bisa berkomunikasi dengan suami, mendengar suaranya, berkeluh-kesah tentang sakit yang dirasakan, atau cuma sekedar mengetikan icon hug and kiss di pesan yang kita kirimkan.
Untuk mereka yang melakoni long-distance pregnancy relationship during pregnancy, berdoalah untuk keselamatan pasangan, ketangguhan dan sebuah kebersamaan. Saat ini mungkin kondisinya sedang berjauhan, tapi suatu saat nanti, semoga kesabaran dan kesetiaan akan terganti dengan limpahan kebahagiaan untuk kita dan keluarga. Bersyukurlah untuk setiap kondisi yang dianugerahkan. Selalu ingat, kita dipilih olehNya untuk menjadi Ibu yang tangguh dan Insya Allah akan melahirkan generasi yang tangguh pula. Semoga.
huhuhu senasib banget LDM :')
Yah meskipun udah terbiasa LDR sejak awal pacaran sampai 6 tahun dan akhirnya menikah, tetapi tetep aja kadang ada kalanya muncul kesedihan hihi #baper...
Pengalamanku waktu baru 3 minggu menikah, menengok saudara yang abis melahirkan, aku ditanya "sudah isi apa belum mbak? Kalau mau cepet hamil ya harus kumpul sama suami, aku aja dulu 3 bulan pertama setelah nikah LDM gak hamil2 dan baru hamil setelah ngikut suami."
Ya mungkin tujuan nasehatnya baik sih ya, tapi jujur aja agak menusuk buatku saat itu, pasangan mana coba yang gak pingin kumpul serumah, tapi masing2 pasangan punya perjalanan dan prioritas masing2.
Sempet pesimis waktu denger omongan kayak gitu, tapi alhamdulillah Allah baik banget... hanya beberapa minggu setelah mendengar omongan kayak gitu ternyata aku positif hami!
Bahkan aku dan suami sampai gak percaya "wah kok bisa secepat ini ya?" Alhamdulillah kami sangat bersyukur ...
Mba Rachmi tetep semangat yahhh..kita senasib..hehehe.. #LDR
@mbak Prety..hihihi been there mbak..kadang2 pulang dr obgyn dtaksi nangis sendiri ^^
@mbak Muthia..wah d perminyakan dimana?semoga lancar yaah persiapannya..banyak2 berdoa..bismillah
WAH BERUNTUNGNYA MENEMUKAN FORUM INI, SEBULAN LAGI MENIKAH, SUDAH KEBAYANG DENGAN LIKA LIKUNYA LDM KARENA SUAMI KERJA DI PERMINYAKAN. SEMOGA SAYA SEKUAT DAN SETEGAR MOM2 YANG SUDAH LEBIH DAHULU MENJALANINYA.
Membaca artikel ini jadi teringat waktu2 mengantri obygen sendirian di RS sementara bumil lain yang nganterin se-RT (suami, ayah, ibu) hehe. dengan membaca artikel ini dan komen2 nya, jadi sadar kalo you're not alone, ada banyak juga yang seperti "kita", berasa dikuatkan...terima kasih artikelnya mba, tetap semangat dan kuat ya mama2 yang sedang hamil sekaligus LDM, you're not alone :)