*image dari http://www.parkcitydayschool.org
Setahun yang lalu, saat si sulung hendak masuk SD di Jakarta, saya dibuat ketar-ketir. Deg-degan ga jelas melihat namanya tergusur dari baris-baris murid yang diterima di SD Negeri di Jakarta.
Sebetulnya, saya lebih suka anak saya sekolah di SD Swasta yang 1 kelasnya <20 orang. Tapi suami ngga setuju. Suami khawatir nanti anak kami ngga punya 'empati' yang tinggi terhadap keadaan sekitar. Jadi, masuk ke SD Negeri adalah 'keharusan' yang ngga bisa ditawar lagi.
Tahun 2010, Pemda DKI memberlakukan pendaftaran peserta didik baru (PPDB) secara online. Persyaratannya adalah, berusia 6 tahun per 12 Juli 2010 (ini waktu itu ya). Dari rumah pun, SD RSBI dan SD SSN letaknya jauh sekali. Jadi saya pasrah memilih sekolah reguler. Membaca persyaratan PPDB itu raut muka saya langsung berubah, sedih ngga jelas. Kakak Alif lahir tanggal 11 Juli 2004. Entah kenapa, waktu itu sepertinya saya menjadi orang terbodoh sedunia dalam hal matematika, setengah menahan tangis saya mengadu pada suami, "Kasihannya anak kita... Ngga bisa sekolah hanya karena umurnya kurang satu hari..." Suami bilang, "Maksud Ibu apa sih?" Dengan tanpa merasa bersalah saya memperlihatkan batasan tanggal yang diterima, dan berkata "Lihat, kurang satu hari..." Suami saya memandang saya setengah tidak percaya, "Coba dihitung lagi..." Dan saya tidak mendengarkannya. Baru di rumah, setelah merenung, saya sadar saya salah hitung... Dan tertawa lega sambil berteriak, "Hore! Alif bisa sekolah."
Pelajaran Pertama: Pelajari persyaratan dengan kondisi otak yang jernih. :)
Selanjutnya. Survey sekolah.
Semua SD Negeri di sekitar rumah kami datangi, dengan mengajak kakak Alif tentunya. Kami membiarkan ia memilih, dimana ia ingin bersekolah. Kami sampaikan juga, bahwa ia mempunyai tiga pilihan. Setelah kakak Alif melihat semuanya, dia berkata, "Alif bingung, Bu. Kayanya semua sama saja..."
Barulah saya dan suami berdiskusi membuatkan tiga pilihan untuknya, dan bertanya, apakah pilihan kami bisa diterima. Alhamdulillah, Alif tidak keberatan.
Langkah ketiga. Pendaftaran.
Hari pertama pendaftaran sekolah, seperti orang antre beras. Berebut daftar takut ngga kebagian formulir, dan operator entry yang kurang pengalaman! Gemas, ingin rasanya 'mengambil alih' pekerjaannya karena saya sudah terlalu lelah menunggu. Selanjutnya, infrastruktur yang tidak memadai. Proses pendaftaran berjalan sangat lambat dan melelahkan.
Pelajaran Kedua: Ngga usah daftar di hari pertama. Waktunya panjang kok.
Dan selanjutnya adalah berharap-harap cemas. Masalahnya adalah PPDB dilakukan menggunakan kriteria usia. Jadi, ranking PPDB hanya berdasarkan usia semata. Apalah jadinya anak saya yang berumur 6 tahun 1 hari itu. Setiap jam saya perhatikan dia terlempar dari urutan peserta didik baru yang diterima. Kurang dari sehari, dia tidak diterima di satupun sekolah yang jadi pilihan kami. Seperti biasa, saya mulai panik. Alhamdulillah ada pengalaman mendaftarkan adik secara online juga di SMA. Ternyata aturannya sama, kami bisa mendaftar kembali di SD lain jika tidak diterima dimana-mana. Strateginya sekarang adalah, mencari sekolah di dekat rumah dengan calon peserta yang tidak banyak. Ketika kami memilih SD Negeri memang sudah dengan komitmen bahwa anak-anak akan dibekali dengan aktivitas lain di luar sekolah.
Di hari terakhir pendaftaran, dikatakan pendaftaran akan ditutup pada pukul 14.00 Maka pukul 14.05 saya cek web nya dan melonjak kegirangan. Alhamdulillah, masih diterima di sekolah yang ruangannya di lantai dasar (alternatif lainnya adalah sekolah di atasnya). Yang ternyata, entah jam bagian mana yang dipakai, karena update masih terus berlangsung sampai pukul 18.00. Saya pun akhirnya menerima kenyataan bahwa anak saya diterima di SD Negeri yang bangunannya berada di lantai 2. Satu lokasi ada dua SD, keduanya pagi, satu di lantai dasar, yang kedua di atasnya. Langsunglah, wejangan agar berhati-hati ketika naik/turun tangga saya sampaikan kepada kakak Alif.
Pelajaran Ketiga : Jangan panik, Ma. Sistem pendaftaran online memang lebih transparan, tapi kita harus lebih rajin cek web-nya, untuk lihat posisi.
Ternyata karena diterimanya bukan di sekolah favorit, cita-cita ngga perlu terlalu banyak anak di satu kelas tercapai. Di kelas kakak Alif siswanya tidak sampai 30 orang.
Tahun ini, saya akan mendaftarkan Attar. Usia Attar Juli ini adalah 5 tahun 7 bulan. Sebenarnya, dengan pengetahuan akan peraturan yang lama, saya dan suami berdiskusi mau bagaimana Attar ini. Membaca sudah lancar, berhitung apalagi. Setidaknya kami sampai pada keputusan bahwa dia tidak akan TK lagi. Dicoba masuk SD, tapi jika tidak berhasil, ikut les/kursus-kursus saja dulu.
Tapi lain lagi di berita. Katanya, anak dibawah usia 6 tahun boleh mendaftar jika ada keterangan dari Psikolog yang tergabung pada asosiasi HIPPMI. Seperti mendapatkan angin segar, saya bertanya, apakah Attar sudah mau sekolah. Ketika dia jawab mau, segeralah saya cari kontak, dimana ada Psikolog yang dapat memberikan surat keterangan yang diminta.
Psikolog pun didapatkan, Attar ikut test kematangan dan IQ, surat keterangan dibuat. Tibalah hari pendaftaran. Sistemnya berbeda dengan sebelumnya. Orangtua mendaftarkan anaknya secara langsung melalui web http://sd.ppdbdki.org baru nanti ada proses verifikasi dokumen di sekolah.
Dan, belajar dari pengalaman sebelumnya, tidak mendaftar di hari pertama. Karena, hari pertama itu akses ke web tersebut lambat sekali. Yang menyedihkan adalah, ternyata batasan usianya tetap 6 tahun. Sayapun melakukan konfirmasi pada admin dari web tersebut, karena infonya mengatakan anak berusia di bawah 6 tahun bisa ikut mendaftar dengan persyaratan surat keterangan dari Psikolog itu. Terus terang, respons admin web cukup bagus dengan menjawab pertanyaan saya. Hanya saja, jawabannya itu lho... Sungguh mengecewakan. "Maaf, bu. Peserta didik berusia di bawah 6 tahun hanya bisa mendaftar ke SD RSBI atau SD SSN..." yang saat itu pendaftarannya sudah tutup. Sudah pengumuman malah. Untungnya, saya memang ngga berminat ke sana.
Pelajaran Keempat: Kalau cari informasi jangan tanggung-tanggung, Ma. Percaya pada media itu sering menyesatkan. Seharusnya saya bertanya pada orang yang bertanggungjawab terhadap permasalahan itu secara langsung.
Demikian pengalaman saya. Apakah ada urban Mama Papa yang sedang sibuk cari sekolah juga di Jakarta? Sharing yuk!
Moom, terima kasih banget ya mom untuk sharingnya. kebetulan tahun depan Syafiq Dan Athirah usianya udah 6 th, dan kalo ada rencana pindah ke Jkt pengen banget masuk SD negeri,terima kasih ya untuk infonya....
mama2, kt tmn sy, kalo KK nya non-JKT , misalnya tangsel gt ya, emgny kesempatan diterima utk sekolah di Negri Jkt kecil? emg ngaruh ya domisili? tfs
punya nmr tlp psikolog nya?
Untuk mama adisanita, SD Negeri di Jakarta punya kuota 5% untuk siswa dari luar Jakarta. Berdasarkan pemantauan di web nya dahulu sih, biasanya yg 5% itu, umurnya udah tua-tua. Hehe.. Alias 6,5 tahun ke atas.
Untuk mama-mama lainnya. Kalau anak umur 7 tahun sih, mau sekolah di Jakarta, kayanya masuk SD mana aja peluang keterimanya besar. ^_^V sekalian cari sekolah unggulan aja yang bukan RSBI atau SSN.
Dear mama-mama semuanya. saya buat tulisan itu Juni 2011, hehe... hampir lupa kalau pernah nulis ini. kondisinya waktu itu lagi mangkel berat, gara-gara saya yang ga update informasi, anak saya terancam ga bisa masuk sd. Hiks hiks...
Kalau mama mau masuk SD Swasta yang agak bagus, biasanya mereka mulai membuka pendaftaran di bulan April. Strategi sekolah swasta biasanya untuk anak yang berusia kurang dari 6 tahun per bulan Juli-nya. Kayanya kalau swasta yang bagus-bagus cepet penuhnya deh. =(
Gitu juga sama SD RSBI dan SSN, mama. Pantau aja kapan tanggal-tanggal pentingnya di link yang saya berikan di atas. Biasanya bulan april-mei adalah 'bulan berburu sekolah unggulan'.
SD Negeri reguler tidak mensyaratkan anak bisa membaca, mama. Tapi tetap saya sarankan sebaiknya anak-anak sudah bisa membaca sebelum masuk SD. Kenapa? Astagfirullah... Kurikulum anak SD sekarang. Bikin saya senewen aja! Dibebani materi yang banyak, tanpa ada pemahaman 'esensi' terhadap materi yang diberikan. Kasihan kadang liat anak-anak itu.
Nah, info yang terakhir yang saya berikan ini, layak dicoba, tapi jangan terlalu berharap ya, mama.
Bulan Juli, saat awal tahun ajaran baru sudah berlangsung selama 2 hari, saat itu Attar belum juga dapat sekolah yang dekat dan memenuhi keinginan kami. Iseng-iseng saya main ke sekolah Alif (saya kerja, mama, biasanya yang antar Alif kakeknya). Dan saya lihat, seperti tahun sebelumnya, dari 40 kuota yang disyaratkan di SD Negeri, hanya terisi 38.
Memberanikan diri, menghadap kepala sekolahnya, dan membawa surat rekomendasi dari psikolog, ijazah tk Attar (di TK nya memang diberikan STTB), saya bertanya. Apakah anak saya bisa diterima di sekolah ini. Saya jelaskan bahwa saya memang mendaftarkan Attar ke sekolah ini, tapi karena kesalahpahaman saya dalam menerima informasi, jadinya malah tidak bisa mendaftar. Dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa anak saya sudah mau dan saya rasa mampu untuk masuk SD. Namanya juga iseng ya, mama. Apapun jawabannya saya terima. Di luar dugaan saya, kepala sekolahnya mau menerima dengan syarat bertemu dengan Attar terlebih dahulu. Dia ingin bertanya langsung kepada Attar sungguhkah dia ingin sekolah.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, besoknya saya bawa Attar ke sekolahnya Alif. Alhamdulillah, bisa diterima.
Biayanya? Ngga ada tuh, mama, yang namanya sogok-menyogok atau apa. Saya hanya memberikan sumbangan 'seikhlasnya' sebagai rasa berterimakasih mau menerima anak saya. Itu pun nominalnya masih jauuuuhhh di bawah tarif pendaftaran SD Swasta Internasional incaran saya sebelumnya.
Heuheu... Saya lupa mau meng-update tulisan ini. Semoga tambahan infonya bermanfaat ya, mama. Sekarang Attar sudah kelas 1, semester 2. =))) Masih ingat rasanya, melihat dia dengan bangganya mengenakan seragam SD dan berkata, "Attar sudah besar sekarang. Bukan anak TK lagi..." ^_^V