Sering ketemu teman ngobrol yang asyik? Berapa orang dari mereka adalah anak SD? Salah satu kriteria “teman ngobrol yang asyik” buat saya adalah orang yang bisa mengajak saya untuk belajar, berpikir out of the box, dan bisa membuat pembicaraan mengalir sampai berjam-jam. Nah, saya tidak punya banyak teman asyik seperti ini yang masih SD. Bukan saja karena hidup saya di kampus jarang ketemu anak SD, tetapi belakangan saya kurang mengikuti perkembangan dunia mereka: game yang sedang populer, musik yang mereka dengar, atau buku yang sedang ngetop di kalangan anak-anak dan tweens. Sehingga saya khawatir obrolan kami tidak nyambung. Tapi rupanya saya keliru, sore itu saya berkesempatan ngobrol dengan teman saya ini sampai lupa waktu.
Namanya Benjamin. Kedua orangtuanya berkebangsaan Indonesia, dan ia lahir di salah satu kota di New York State. Jadi walaupun lebih memilih pizza daripada sop buntut, dia sangat familiar dengan budaya dan bahasa Indonesia. Tahun ajaran depan Benjamin akan duduk di kelas enam. Bukan anak yang ramai atau cerewet, dan mungkin itu sebabnya pas saya ada kesempatan ngobrol, bisa jadi seru. Nah, sore itu saya niatkan untuk mencari inspirasi dari Benjamin untuk menulis artikel di TUM ini. Seringnya saya terinspirasi dari orang dewasa, tapi kali ini saya cukup percaya diri bahwa Benjamin bisa membantu saya berbagi hal yang menarik di sini. Dan saya tidak salah ;)
Jadilah saya “wawancara” dia. Saya bilang, hanya ada satu pertanyaan besar: “Kalau kamu diminta untuk memberikan satu nasehat untuk orangtua di seluruh dunia, termasuk di Indonesia tentunya, nasihat apa yang akan kamu berikan kepada mereka?”
“Wah, susah pertanyaannya!” Benjamin sepertinya tidak menduga pertanyaan saya.
Lalu saya bilang bahwa tidak ada jawaban yang salah, jadi tidak usah khawatir.
Iapun bercanda: “Give your kids more treats.” (berikan anak-anak permen/ coklat lebih banyak lagi). Karena saya janji tidak ada jawaban yang salah, tentu saya tanggapi jawaban Benjamin tersebut dengan serius. Tapi lalu katanya: “Ngga kok, saya becanda.” Ah anak ini memang konyol-konyol saja idenya (lain kali mungkin perlu saya ceritakan juga bagaimana ia menampilkan sisi ilmiah “fart” di science project di sekolahnya).
Tapi jawaban serius Benjamin berikutnya benar-benar tidak terduga: “Love your kids, always tell them that. If they don’t know that, then they might not feel so good about themselves.” (sayangilah anak-anakmu dan sampaikan itu pada mereka. Karena jika mereka tidak tahu, bisa-bisa mereka merasa diri mereka kurang berharga). Ah, pelajaran pertama: menyatakan rasa sayang bukan sekedar karena itu yang kita rasakan, tetapi karena itu besar maknanya untuk yang dituju: anak kita.
Dari bercanda soal permen, siapa sangka jawaban Benjamin sebenarnya adalah tentang mengekspresikan rasa sayang kita pada anak-anak, dan bagaimana ekspresi itu bisa membangun harga diri/ karakter anak.
“Darimana ide jawaban ini muncul?” tanya saya pada Benjamin.
“Ibu saya selalu melakukannya, all the time. Bukan sekadar setiap hari, tapi lebih sering dari itu,” jawabnya sambil tertawa karena ia kadang merasa ibunya too much, atau lebay. “Tidak harus verbal dengan mengatakan ‘I love you’; kadang-kadang lewat big bear hug pun anak bisa merasakan seberapa besar ibunya mencintai, dan seberapa berharganya ia,” lanjut Benjamin lagi.
“Kenapa orangtua penting menyampaikan ‘I love you’ ini, Benjamin?”
“Itu membuatku merasa spesial, that I am actually somebody in life because someone loves me,” jawabnya. (Saya merasa bahwa saya berarti dalam hidup ini karena ada orang yang begitu menyayangi saya).
Untuk Benjamin (dan mungkin semua anak?) perasaan seperti ini sangat penting. Saat di sekolah, misalnya, menyadari bahwa orangtuanya luar biasa sayang padanya membuat ia lebih semangat belajar. Ia merasa bahwa dirinya penting, dan urusan sekolah inipun penting. Sebelum ulangan atau ujian, ibunya selalu memberikan pelukan, dan walaupun Benjamin sulit menjelaskan mengapa pelukan dan ucapan “I love you” itu berpengaruh ketika ia belajar di sekolah, ia tahu bahwa ekspresi ibunya sangat membantunya, terutama ketika menghadapi tantangan-tantangan di sekolah.
Benjamin juga bercerita ketika ia tidak tampil cukup baik di pertandingan sepakbola, ibunya suka memarahinya. Tetapi hal itu tidak membuatnya merasa bahwa rasa sayang ibunya berkurang sedikitpun. “Bahkan ketika Ibu marahpun ia mengatakan bahwa ia menyayangi saya, jadi saya mengerti memang saya kurang bagus main bolanya, jadi wajarlah ia marah.”
Oh ya, saat saya ngobrol dengan Benjamin, ia baru saja pulang dari Summer Camp selama hampir seminggu. Tidak habis ide untuk menyampaikan rasa sayangnya, sang Ibu menuliskan surat yang dimasukkan dalam tas Benjamin untuk dibaca saat ia kemping. Di dalam surat itu pun disisipkannya foto, kartu ucapan, dan… tentu saja, permen coklat. ;)
Benjamin lalu sadar bahwa saya melanggar aturan, karena ini jadinya bukan satu pertanyaan. Habis sulit sekali berhenti bertanya ketika jawaban-jawabannya begitu menarik! Bahkan Benjamin pun sempat menyampaikan pandangannya tentang kasus-kasus yang tidak menyenangkan antara orangtua dengan anak-anak:
“Ada anak-anak yang kabur dari rumah… menurutku bukan karena orangtua mereka tidak sayang, tetapi orangtua tidak memperlakukan mereka seperti seharusnya. Mereka harusnya menunjukkan rasa sayang itu dengan jelas,” ujarnya serius.
Buat saya, obrolan dengan Benjamin memberikan satu bukti bahwa mengatakan “I love you” dengan berbagai cara pada anak bisa memberikan efek yang lebih dari sekadar luapan ekspresi tetapi bisa membuat anak merasa penting, berharga, bersemangat untuk belajar, dan akhirnya tumbuh dengan jiwa dan konsep diri yang sehat.
Bukan itu saja, obrolan seperti ini menunjukkan bahwa banyak hal yang filosofis dan masuk akal yang bisa kita petik dari anak-anak. Ya, tanpa harus mengerti film yang mereka tonton atau nyanyi bareng lagu kesukaan mereka. Asalkan kita mendengar dengan sungguh-sungguh dan penuh rasa menghargai (tidak memandang mereka sebagai “anak kecil yang belum ngerti apa-apa”), obrolan bisa sangat menarik. Yang juga penting, kita perlu niatkan untuk mengobrol (bukan menginterogasi), bertukar pikiran, dan harus bisa menghindari keinginan untuk mengkritik atau menilai jawaban mereka (termasuk pujian “hebat banget jawaban kamu!” walaupun saya ingin sekali berkomentar begitu pada Benjamin).
TFS mba Nisa n Benjamin..
supeeeerrr bgt artikelnya :)
sediiihh..hiks..hiks terharu langsung peluk cium langit abis bangun bobonya,tq mba nisa terus share artikel kerennya
Seneng banget bacanya.. terutama " “Bahkan ketika Ibu marahpun ia mengatakan bahwa ia menyayangi saya..."
Thanks for sharing Mba Nisaa... :)
suka sama artikelnya.
makasih mba nisa
great article mbaa :)
sukaa banget