Terkadang saya senang melihat kebersamaan mereka, terkadang saya sampai merasa cemburu....
Menjadi rahasia umum bahwa ada suku-suku tertentu yang menginginkan anak pertama mereka berjenis kelamin lelaki. Hal ini juga berlaku pada suku Batak yang umumnya, akan senang sekali jika dikaruniai anak pertama berjenis kelamin lelaki. Anak itu otomatis menjadi penerus marga dari orangtuanya. Begitu juga dengan suami saya, ketika hamil saya bertanya, "Abang mau anak perempuan atau laki-laki?" Abang pun menjawab, "Laki-laki, anak pertama keren kalau laki-laki." Saya pun berikhtiar untuk melahirkan anak lelaki, walaupun saat itu saya tidak mengambil pusing jenis kelamin anak saya kelak nanti, yang terpenting adalah lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun.
Karena penasaran, saat kandungan memasuki usia 5 bulan kami bertanya kepada dokter. Namja (laki-laki), yoeja (perempuan) sonsengnim (dokter)? Dokter sempat mengernyitkan dahi ketika kami menanyakan hal ini. Rupanya dulu dan beberapa dokter saat ini dilarang memberitahukan jenis kelamin janin yang ada dalam kandungan, karena banyak terjadi kasus pengguguran janin bayi perempuan oleh orangtua yang menginginkan bayi lelaki untuk meneruskan marganya. Kemudian sonsengnim menjawab "yoeja iyeeyeo". Saat itu saya tidak berani menatap mata abang, saya takut melihat kekecewaannya. Sesampai di rumah saya bertanya, "Abang kecewa ya?". Dia pun tertawa "Kecewa apanya?". Abang mengambil gitar dan bernyayi di depan perut saya yang sudah membesar. Lagu yang dimainkannya adalah lagu Batak berjudul "Boru Panggoaran". Dalam adat Batak anak perempuan sulung dinamakan boru panggoaran. Lirik lagunya sungguh mengena di hati, boru panggoaran disebut sebagai tumpuan hati sang ayah, ketika ayahnya kelak sudah tua dan lemah, boru panggoaranlah yang akan merawat dan menguatkan sang ayah. Melihat reaksi abang hati saya senang dan lega.
Sehabis melahirkan kami mengurus bayi kami hanya berdua saja. Sehabis menyusui, abang mengambil alih Chila untuk disendawakan. Abang yang menggendong dan menenangkan Chila ketika menangis dan saya terlalu lelah untuk membuainya. Abang yang memberikan ASIP ketika saya terlalu ngantuk sehingga tidak terbangun di malam hari. Abang banyak melakukan skin to skin contact dengan Chila, sehingga bonding antara mereka terbangun erat sekali.
Ketika keluar rumah, banyak sekali yang berkomentar kalau Chila mirip sekali dengan Abang. Tiga kali sehari Abang menelepon dari kantor untuk mendengar suara Chila. Selalu ada drama di malam hari ketika Abang pulang. Setiap kali pintu rumah berbunyi di malam hari, pertanda aAbang sudah pulang, wajah Chila berubah menjadi sangat ceria. Dia pun tertawa lebar memamerkan gigi-giginya. Apabila Chila sedang dalam gendongan saya, ia langsung minta turun dan merangkak cepat meninggalkan saya menuju Abang. Mereka pun berpelukan dengan wajah bahagia. Ketika makan malam, Chila bertingkah tidak mau makan, tapi membuka mulutnya ketika disuapi Abang. Hal yang menyenangkan adalah ketika tiba hari Sabtu saya bisa memiliki me time, saya bisa lari, mandi lebih lama, baca buku, dan lain-lain karena Chila lengket pada Abang seharian.
Senang melihat mereka berdua kompak bermain bersama...
Makasih ya mamas semuaa.. Semoga suami dan anak2 kita sehat semuaaa :*
Cerita “Boru Panggoaran” bikin merinding... hehee..
Nice story....
anak saya yang perempuan juga dekat dengan ayahnya. Enaknya anak perempuan mereka lebih cepat mengerti dan ngasuh ke adiknya..
chila lucuuuu
iiihhh... aku banget..
kalo ada ayah, bundanya gak laku! kadang seneng, bahagia liat mereka kompak, tapi kadang aku iri dan cemburu,, huhuhuhu..
bisa lho diandra manggil ayah dengan sangat lembut dan mendayu2, trus ayah juga bales sapaan anaknya dengan halus dan lembut juga, sambil diakhiri komentar "kaya lagi pacaran aja?" hehehehe