Apa yang terlintas dalam benak Urban Mama saat mendengar kata 'skandinavia'? Biasanya sih yang terbayang duluan adalah desain interior dan rumah minimalis a la Scandinavian chic. Itu baru satu contoh dari sekian banyak hal menarik dari budaya negara-negara skandinavia seperti Norwegia, Swedia, dan Denmark. Pola pengasuhan anak dalam budaya skandinavia juga tak kalah menarik untuk diamati.
Urban Mama pasti sudah banyak mendengar versi 'parenting style' dari berbagai negara di belahan bumi lain. The no-fuss French parenting style, attachment parenting a la Amerika, atau ‘tiger mom’ parenting style. Waktu pertama kali pindah ke Norwegia, saya pikir gaya pengasuhan anak di negara kutub ini akan sama dengan di negara-negara barat lainnya. Ternyata berbeda sekali. Saat ini Norwegia dikenal sebagai salah satu negara terkaya di dunia. Karena makmur hasil dari eksplorasi minyak bumi dan penyaluran pajak yang efisien, kesejahteraan warganya benar-benar terjamin. Bahkan Norwegia dinobatkan sebagai salah satu tempat terbaik di dunia untuk melahirkan dan membesarkan anak, serta salah satu negara yang menjujung kesetaraan gender. Seperti apa gaya pengasuhan anak di Norwegia?
1. Selama menjalani kehamilan, bisa dibilang ibu hamil nyaris tidak pernah berkonsultasi dengan dokter spesialis kandungan. Sedari awal, konsultasi kehamilan dilakukan di klinik kesehatan setempat (helsestasjon) dengan bidan atau dokter umum (fastlege). Jika ditemukan kondisi khusus pada ibu atau janin, barulah ibu hamil dirujuk ke dokter spesialis kandungan di rumah sakit besar. Hal tersebut dilakukan karena kondisi kehamilan dianggap bukan sebagai kondisi sakit, melainkan sebagai kondisi alami pada tubuh wanita sehingga ditangani dengan pendekatan lembut dan natural. Bahkan pada kehamilan dengan kondisi normal, pemeriksaan ultrasonografi hanya dilakukan sekali saja saat usia kehamilan 15-16 minggu!
2. Salah satu bentuk bantuan dari pemerintah Norwegia untuk para orangtua adalah memberikan porsi cuti maternity leave yang besar untuk para ibu bekerja. Maternity leave ini berupa cuti hamil selama 10 bulan (gaji 100%), atau 12 bulan (gaji 80%). Cuti untuk ibunya saja? Di Norwegia, ayah juga berhak meminta cuti paternity leave untuk ikut mengurus anak. Adalah hal biasa di sini jika seorang kolega pria di tempat kerja mengambil cuti selama sebulan karena anaknya baru lahir. Saat dulu tinggal di kompleks perumahan mahasiswa, adalah biasa bagi teman-teman kami sesama pasangan mahasiswa yang mengambil cuti selama sebulan untuk mengurus anaknya agar istrinya dapat berkonsentrasi menyiapkan tesis atau disertasi.
3. Gender equality starts from home. Di Norwegia, baik ibu dan ayah sama-sama punya andil dan peran yang setara dalam pengasuhan anak. Para ayah terlibat langsung dalam pengasuhan anak; menurut para ahli kesehatan, manfaatnya tidak hanya untuk membangun kedekatan ayah dan anak tetapi juga bagus untuk kesehatan psikis ibu. Adalah biasa bagi para ayah di Norwegia untuk mengantar-jemput anak ke sekolah, menyiapkan makan malam untuk sekeluarga, jalan-jalan menidurkan anaknya yang didorong dalam stroller atau berdua dengan anaknya bermain di taman. Ibu bekerja pun adalah status yang biasa di kalangan wanita Norwegia, dan kebanyakan ibu kembali bekerja setelah anak-anaknya berusia satu atau dua tahun. Negara pun memberikan banyak bantuan yang memudahkan pengasuhan anak selama orangtua kembali bekerja, seperti pemberian tunjangan anak sampai penyediaan daycare yang memadai.
4. Meski jadi salah satu negara terkaya di dunia, tetapi Norwegia adalah negara dengan biaya hidup termahal. Adalah hal biasa bagi kedua orangtua untuk bekerja dan memang ini adalah bagian dari budaya: if you are not working, you are not contributing. Untungnya pemerintah banyak memberikan kemudahan dalam mengurus anak. Tunjangan anak, biaya kesehatan gratis, outdoor playground di mana-mana, you got it covered. Uangnya dari mana? Dari mengelola pajak yang dibayarkan warga. Pemerintah juga membebaskan biaya pendidikan dasar (SD-SMU). Setiap kawasan perumahan setidaknya memiliki satu barnehage yang diperuntukkan bagi anak usia 1-5 tahun. Barnehage ini tidak gratis, tetapi disubsidi negara sebagai bentuk bantuan untuk orangtua muda agar dapat kembali produktif bekerja, dan anak-anak mendapatkan pendidikan usia dini berkualitas di bawah pengawasan staf pedagogis. Bahkan para ibu rumah tangga yang anaknya sudah berusia dua tahun dianjurkan untuk mendaftarkan anaknya ke barnehage agar setidaknya sang ibu kembali punya waktu untuk dirinya sendiri dan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri.
5. Meskipun jadi negara kaya, ini tidak serta-merta mengubah kebiasaan hidup masyarakat Norwegia. Kultur Norwegia dibangun dari kebiasaan hidup seadanya dan secukupnya, di tengah kondisi alam yang tak bersahabat. Mereka melatih diri untuk terbiasa hidup sederhana, seperti punya barang-barang secukupnya saja tetapi fungsional dan berkualitas. Kalau anak-anak sering bermain di luar kena lumpur-hujan-salju, ya cukup dibelikan baju hujan dan snowsuit yang tahan-air dan tahan-angin. Makan siang anak-anak di sekolah (dan di kantor) juga secukupnya saja, biasanya berupa roti isi, susu, serta buah. Itu sudah cukup membuat kenyang. Rumah pun tak perlu besar-besar dengan taman luas, yang penting cukup hangat dan bersih untuk sekeluarga. Secukupnya, namun berkualitas. Sampai ke perayaan ulang tahun anak-anak pun terbilang sederhana. Cukup dijamu kue ulang tahun, jus buah, pizza atau hotdog saja anak-anak sudah senang sekali.
6. Family > Workplace. Kultur bekerja di Norwegia pun memudahkan para orangtua untuk mengurus anak. Jam kerja orang-orang di Norwegia lebih pendek dibandingkan jam kerja di Indonesia, sekitar 37-38 jam per minggu, lima hari per minggu. Selama orangtua bekerja, anak-anak berada di barnehage atau sekolah dasar (skole) dengan durasi waktu yang sama. Adanya barnehage sangat membantu orangtua memastikan anak-anak berada di bawah pengawasan lembaga yang tepat selama orangtua bekerja. Di tempat bekerja pun karyawan didorong untuk bekerja secara efisien agar mereka dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, alih-alih mulur dan malah lembur. Jadi dengan bekerja, bukan berarti orangtua menomorduakan anak dan merasa bersalah karena tidak punya waktu untuk anak. Begitu waktunya pulang kantor ya langsung pulang tepat waktu untuk menjemput anak-anak. Sebelum pukul enam sore, keluarga Norwegia sudah dapat menikmati makan malam bersama di rumah. Idenya adalah bekerja secara efisien membantu pekerja untuk dapat memprioritaskan banyak waktu berkualitas bersama keluarga.
7. Bermain, bermain, dan bermain. Boleh dibilang seluruh aktivitas anak di barnehage adalah bermain, baik itu bermain bebas maupun terstruktur. Saya pernah bertanya ke guru barnehage mengapa porsi waktu bermain ini banyak sekali. Kata gurunya, saat anak berusia 2 hingga 6 tahun, mereka belajar banyak mengenai keterampilan sosial dan komunikasi lewat bermain, dan keterampilan dasar sangat dibutuhkan anak untuk siap masuk ke sekolah dasar. Bahkan dari penjelasan guru barnehage, saya baru tahu kalau perkembangan bahasa anak saya diamati saat anak saya bermain rumah-rumahan bersama teman-temannya. Jangan harap di barnehage akan mendapat pelajaran menulis-membaca-berhitung, karena tiga keahlian tersebut baru diajarkan setelah anak berusia enam tahun di skole. Meskipun ada anak barnehage yang sudah bisa membaca atau mengeja, tetapi barnehage tidak akan menekankan kebisaan lancar membaca. Justru yang diajarkan di barnehage dan saat awal-awal masuk skole adalah membiasakan anak untuk mengantri, bergiliran mendengar, bertanya dan memberikan pendapat, mengikuti instruksi guru kelas, dan jalan-jalan outing untuk menumbuhkan rasa empati terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya.
8. Nature is the best playground. Kalau penasaran mau melihat playground favoritnya orang Norwegia, pergilah ke gunung, pantai, dan hutan. Meski di setiap daerah perumahan selalu ada taman dan outdoor playground, tetapi orangtua Norwegia lebih senang mengajak anak piknik di tepi danau, mengumpulkan buah beri di hutan, hiking, berkemah dan memasak makanan di api unggun, bermain ski, berenang di pantai, atau menghabiskan akhir pekan di pondok kecil nun jauh di gunung. Di barnehage pun setiap hari para guru selalu mengusahakan agar anak-anak bermain di luar kelas minimal selama dua jam, dan seminggu sekali hiking bersama. Mau hujan, panas, angin bersalju pun, selama kondisinya memungkinkan, anak akan disuruh bermain di luar kelas. Adalah biasa bagi anak-anak sekolah di Norwegia untuk bermain di luar saat suhu di bawah nol derajat Celsius, tentunya harus mengenakan snowsuit lengkap dengan topi, sarung tangan, serta sepatu bot hangat. Bahkan adalah biasa bagi para orangtua Norwegia untuk meletakkan stroller berisi bayi mereka (tentunya si bayi sudah dipakaikan berlapis-lapis baju wol dan selimut bulu) agar tidur di balkon atau pekarangan rumah di tengah udara dingin. Menurut mereka, udara musim dingin yang segar bagus untuk pernapasan bayi dan membuat bayi tidur lebih nyenyak. This is very Norwegian - hard things are good for you.
9. Anak belajar dari kebebasan membuat pilihan. Jujur saja, ini konsep yang bertolak-belakang dengan budaya ketimuran dimana keseharian anak dibentuk dari rutinitas dan disiplin. Keseharian anak-anak kecil Norwegia justru dibangun dengan lebih banyak kebebasan membuat pilihan. Pengenalan disiplin adalah tujuan jangka panjang, yang dibentuk lewat memberikan pilihan kepada anak. Dengan belajar memilih, anak akan belajar bahwa setiap pilihan yang diambil punya konsekuensi yang berbeda. Lanjutnya, anak belajar bertanggung jawab dari menjalani konsekuensi tersebut. Orangtua dan guru pun dituntut untuk mengarahkan anak agar bebas membuat pilihannya sendiri. Saya ingat suatu hari saat menerima laporan mingguan dari barnehage, guruya menyertakan foto Alma yang sedang mengasah ranting dengan pisau untuk membuat tusukan sosis. Kalau di Indonesia, orangtua pasti akan menjengit panik melihat anak kecil menggunakan pisau. Namun di sini, jika anak-anak mau, mereka diperbolehkan menggunakan barang seperti pisau atau palu selama di bawah pengawasan guru dan orangtua. Mereka diajari cara menggunakan barang-barang tersebut dengan benar dan aman agar terbiasa mandiri dan terampil.
Menarik ya, melihat gaya pengasuhan dan kebiasaan membesarkan anak dari sudut pandang budaya yang berbeda. Meskipun belum semuanya dapat diadopsi dalam keseharian Urban Mama dan Papa membesarkan anak di Indonesia, tetapi ada banyak hal positif yang dapat dipetik dan dijadikan renungan untuk membangun hubungan keluarga yang lebih erat, dan lebih banyak 'memanusiakan' anak.
Mereka bekerja sebagai bentuk kontribusi untuk negara, bukan sekedar mencari nafkah ya... what a noble thought! Kesejahteraan pegawai yang baru memiliki bayi difasilitasi maternity leave selama 10 bulan dengan gaji 100\% dan tidak lupa paternity leave juga ada. Bahkan kesejahteraan para ibu rumah tangga pun juga diperhatikan supaya punya waktu sendiri untuk aktualisasi diri. Hebat banget. Semoga Indonesia bisa menyusul seperti Norwegia, nih!
Poin nomor 4 dan 7 aduuhh bikin cinta dehh!
Poin nomor 9 itu yang bikin pusing deh, secara aku termasuk yang membiarkan anak memilih sesuatu hal yang pengen mereka coba/explore dengan diawasi. Tapi kanan kiri nggak setuju, dengan alasan nanti kalau temannya ikut2 blablabla. OK FINE. mengalah :(
Selama ini kalau baca parenting style dan fasilitas yang diberikan dari negara skandinavia itu selalu bikin mupeng! tapi gak yakin sih kalau harus tinggal di sana, bisa meler nggak berkesudahan aku :P
Waa menarik sekali Mbak Aini.suka mupeng kl baca gimana support pemerintah dan makrosistem untuk pengasuhan anak di negara2 lain
ya ampuuun... "iri" deh sama parenting style negara-negara skandinavia salah satunya Norwegia. menyenangkan banget yaaa buat anak-anak :)
seneng bacanya. ai :) lagi dooong...
Aini. Suka banget bacanya, benar-benar menarik banget ya kehidupan dan parenting style di Norway, ortu bisa maksimal bekerja dan beraktualisasi diri tanpa “khawatir” anak-abak di rumah/sekolah. Duuh itu cuti melahirkan ya bisa setahun loh.
Dan always selalu mupeng liat foto-foto Aini di IG dengan keindahan Norway.
Ditunggu ya Ai, tulisan selanjutnya.