Siapa Urban Mama dan Papa yang menggemari cokelat? Atau sekeluarga gemar menyantap cokelat? Saya penggemar cokelat, tetapi baru kali ini saya ke museum cokelat. Bukan, bukan di Swiss atau negara Eropa lain yang identik dengan oleh-oleh cokelatnya, tetapi di Yogyakarta. Kaget? Saya juga. Besar di sini, kok tidak tahu kalau Yogya ternyata punya museum cokelat, ya? Ternyata, Museum Cokelat Monggo ini baru berdiri awal tahun 2017 lalu, meskipun cokelatnya sendiri sudah diproduksi sejak tahun 2005.
Awalnya, saya mendaftarkan Aksa (5 tahun) untuk mengikuti playdate yang diadakan oleh Apple Kids Jogja, EO Playdate besutan teman semasa dulu kuliah. Agenda dalam playdate tersebut adalah mengunjungi Museum Cokelat Monggo, photo session dengan atribut chef, dan yang paling ditunggu: membuat cokelat!
Lokasinya sekitar setengah jam dari tengah kota, tetapi sampai disana saya langsung takjub karena bangunannya unik dengan mural yang instagrammable. Ada musholla bernuansa jawa dengan bedug yang berada satu lokasi dengan toilet yang tidak kalah cantik. Setelah pembukaan di selasar belakang museum, anak-anak diarahkan masuk museum. Alhamdulillah, adem! Soalnya saat kami ke sana, hawanya sedang terik luar biasa.
Tur di dalam museum dipandu oleh mbak guide yang menurut saya cocok untuk anak-anak: suaranya lantang, ramah, tanpa kehilangan intonasi bercerita. Saat memasuki museum, kami disuguhi foto-foto orang di balik layar Cokelat Monggo dalam pose belepotan cokelat, termasuk Thierry, sang pendiri Cokelat Monggo. Etalase berisi berbagai macam cetakan cokelat dan biji cokelat pun menyambut kami di depan pintu masuk. Ada cokelat berbentuk ayam segala, lho! Jadi ingat produk cokelat ayam jago waktu kecil dulu.
Masuk ke dalam, kita bisa membaca informasi tentang produksi kakao di Indonesia dan DIY dalam bentuk lukisan dinding yang cantik. Tahukah Urban Mama dan Papa kalau Indonesia adalah negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia?
Di bagian selanjutnya, terdapat diorama penjelasan sejarah cokelat di dunia. Guide memandu anak-anak untuk menghitung bersama gambar 30 biji kakao yang harganya pada masa Aztec setara dengan seekor kelinci, karena itu cokelat dianggap sebagai barang mewah. Ada juga alat pembuat minuman cokelat pada zaman dahulu, serta etalase berisi berbagai macam jenis cokelat dari zaman dahulu.
Di bagian tengah terdapat display dengan setting perkebunan cokelat dilengkapi dengan biji kakao serta alat panennya. Bagi anak-anak yang belum bisa membaca, hal ini seru karena bisa sambil memegang display. Selanjutnya adalah proses pembuatan cokelat, dari masih berbentuk biji kakao hingga menjadi cokelat siap cetak.
Nah, informasi paling penting yang saya dapat dari kunjungan ini adalah tentang jenis cokelat. Mengapa ada cokelat yang mengandung vitamin dan mineral, tetapi ada juga cokelat yang bisa bikin batuk? Ternyata kuncinya ada pada kandungan lemak tambahan pada cokelat. Jajanan cokelat yang murah biasanya sudah tidak mengandung padatan cokelat (cocoa mass) lagi, namun hanya mengandung gula dan mentega cokelat, ditambah minyak nabati dari kelapa sawit. Termasuk di dalamnya biskuit dan kudapan dengan lapisan cokelat. Sementara dark chocolate dengan kandungan kakao 58% lah yang masih mempertahankan mineral penting tersebut, meskipun sudah ditambah gula. Makanya, selain citarasanya khas, harganya pun lebih mahal.
Selesai berkunjung ke museum, anak-anak diajak memakai celemek dan topi chef a la chocolatier alias koki pembuat cokelat. Setelah itu, acara pungkasan adalah membuat cokelat di showroom cokelat. Ada meja besar, spuit berisi cokelat leleh, loyang cetakan, dan topping kacang serta potongan buah kering. Meskipun hanya dipandu seorang chocolatier, anak-anak sukses membuat kepingan cokelat dengan topping yang kemudian mereka bawa pulang setelah mengeras. Di showroom ini pula dijual berbagai macam cokelat dari yang harganya belasan ribu hingga ratusan ribu. Tidak kalah cantik dengan cokelat negeri empat musim, lho!
Selain museum dan showroom, di area Museum Cokelat Monggo ini ada juga kafe di sisi kanan pintu masuk. Menu andalannya adalah hot chocolate 58%. Smoking area terletak di sudut luar museum, terpisah dari kafe bernuansa Jawa tersebut. Yang lebih menyenangkan lagi, kafe ini memiliki sudut dolanan anak, mulai dari egrang, angklung, bakiak, sampai gasing. Nggak akan mati gaya deh kalau ajak anak-anak ke sini, Urban Mama dan Papa bahkan bisa seseruan mengajarkan permainan tradisional tersebut kepada anak-anak.
Menurut saya, Museum Cokelat Monggo is a must-visit one kalau Urban Mama dan Papa sedang liburan bersama si kecil ke Yogyakarta. Museumnya kecil dan tidak membosankan, cocok untuk anak-anak maupun orang dewasa.
waahh boleh nih kalau ke Jogja mampir kesini
seru baanget nih ngajak istri dan anak kesini
bolehlah liburan ke yogya. tempatnya seru nih.
Wah seru banget ada museum ini. Lain kali ke Jogya aku mau ke sini deee!