Di artikel minggu lalu, saya membagikan beberapa alasan menunda sekolah si Kakak yang kini berusia empat tahun. Selain belum menemukan Taman Kanak-Kanak yang cocok, anak pertama saya ini juga masih enggan bersekolah. Saya pikir, keputusan terbaik bagi keluarga kami adalah menunda sekolah si Kakak ketimbang terlalu dini menyekolahkannya. Tujuannya agar usia anak sudah matang ketika masuk SD. Lalu saya memutuskan untuk menerapkan metode belajar Montessori di rumah untuk si Kakak.
Ibu Ratih Pramanik S.Psi., M.M., Diploma Montessori menjelaskan bahwa selama si kecil belum bersekolah, Urban Mama dapat menerapkan metode Montessori di rumah agar si kecil tetap mendapatkan stimulasi yang optimal. Selain Mama mengedukasi diri sendiri tentang metode Montessori dan menyusun serta menerapkan kurikulum sederhana, apa saja yang dapat Mama lakukan untuk menerapkan metode Montessori di rumah?
Berdayakan aktivitas sederhana
Sebagai permulaan, Mama tidak perlu membeli aparatus Montessori untuk mengajarkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, kok. Lewat kegiatan sederhana di sekitar rumah, kita dapat menerapkan konsepnya secara menyenangkan pada anak.
Misal, menghitung jeruk-jeruk yang dikeluarkan dari kantung belanja. Mama juga bisa mengajak anak menyiram garasi menggunakan gembor untuk membentuk angka-angka. Inilah yang dilakukan Bu Ratih saat anaknya masih berusia balita.
“Kecuali, nanti anak sudah berusia 5-6 tahun, sering menghitung buah dan coret-coret angka, barulah menurutku perlu material matematika untuk mengenalkan konsepnya lebih jauh lagi,” ujar Bu Ratih, praktisi perkembangan dan pendidikan anak.
Ia mengakui wajib berhitung dan membaca semestinya dilakukan di SD. Tapi, jika anak sudah siap dan tertarik, Mama sudah mulai bisa mengenalkannya mengingat kemampuan menyerap informasi sangat baik pada anak usia dini.
“Selama menguasai keterampilan hidup dan sensorial dengan baik, anak akan belajar lebih cepat. Anak yang pertama aku ajarkan dua kali membaca Bahasa indonesia, langsung bisa. Aku ajarkan membaca waktu itu karena anakku mau masuk SD. Aku ajarkan ba-bi-bu-be-bo saja. Sampai di huruf “d”, ia sudah tahu da-di-du-de-do karena dasarnya (keterampilan hidup dan sensorial) sudah oke,” ungkap ibu dua anak laki-laki yang masing-masing berusia 10 tahun dan 16 tahun ini.
Kegiatan keterampilan hidup praktis dan sensorial sebagai dasar
Berikan kesempatan pada anak untuk mengurus dirinya seperti mengenakan pakaian dan makan. Mama yang sudah mengenal metode Montessori tentu akrab dengan kegiatan menyendok dari satu mangkuk ke mangkuk lain untuk melatih motorik halus serta koordinasi mata dan tangan. Kegiatan ini ternyata merepresentasikan keseharian di rumah.
Nah di rumah, kegiatan menyendok biasanya lebih mengena pada anak karena memiliki tujuan yang jelas. Misal, anak betul-betul menyendok dari mangkuk hidang ke piringnya untuk makan siang atau makan malam.
Untuk melatih keterampilan hidup anak, Mama juga bisa melibatkannya dalam tugas-tugas rumah tangga. Si Kecil pasti senang sekal dilibatkan karena sebagian besar anak usia dini ingin membantu agar merasa berguna dan lebih dewasa. Kesempatan melibatkan anak dalam tugas-tugas rumah tangga akan menanamkan rasa bangga untuk memelihara kerapian dan kebersihan rumah. Tapi hal yang perlu kita ingat, tujuan utama dari keterlibatan anak adalah mengajarkan keterampilan sekaligus cara bersikap terhadap pekerjaan. Orientasinya proses, bukan hasil ya, Mama. Bila kita berorientasi pada hasil pekerjaan anak, tentu kita akan rentan frustrasi.
Contoh keterampilan hidup lainnya seperti mengajak anak mengeluarkan penganan dari kantong belanja lalu mengelompokkan sayuran dan buah. Kegiatan menyemprot air ke kaca dan membersihkannya dengan kain lap atau wiper juga sudah menjadi pelajaran berarti bagi anak usia dini.
“Hal kecil yang sebenarnya menurut kita sepele, buat anak efeknya luar biasa,” jelas Bu Ratih.
Keterlibatan anak dalam kegiatan keterampilan hidup praktis juga menjadi trik sendiri bagi Mama yang mengurus rumah tanpa bantuan asisten. Anak prasekolah bisa diajak belajar menyiram tanaman dan menyuci baju.
“Dulu, aku ajak anak membalikkan baju dari luar ke dalam sebelum dimasukkan ke mesin cuci. Kan nggak gampang buat anak-anak. Mereka juga bisa diajak menaruh baju-baju ke mesin cuci. Itu aja sudah practical life skill yang melatih tangan,” terang sosok yang aktif menjadi pembicara parenting ini.
Bahkan, anak bisa diajak berkegiatan di dapur ketika Mama harus memasak. Ajak anak mencabut daun dan memotong-motong sisa sayuran atau akar bayam dengan pisau tumpul. Anjuran Bu Ratih terbukti cocok di saya. Anak-anak antusias sekali bila diajak memotong-motong penganan lunak seperti tahu dan tempe dengan pisau tumpul. Terkadang mereka juga semangat membantu saya menyuci, menjemur, dan menyusun pakaian.
Keterlibatan anak pun dapat membantu ibu menata aktivitas hariannya.
“Seru sih kalau program ini bisa tersampaikan ke ibu-ibu yang tidak punya dana untuk menyekolahkan anak kecil. Kan ada banyak hal yang bisa dilakukan di rumah. Jadi, pembelajarannya menekankan keterampilan hidup praktis dan sensorial,” jelas Bu Ratih.
Kalau anak dengan senang hati mengerjakan tugas-tugas rumah tangga bersama ibunya, wah, pelajarannya bisa dari pagi sampai malam ya, Mama. Tapi, pengalaman itu tentu tidak terasa seperti pelajaran layaknya di sekolah karena sudah menjadi bagian dari rutinitas ibu dan anak.
Untuk kegiatan sensorial, Bu Ratih menyarankan kita untuk sering membawa anak ke luar. Ajak ia melihat dan memegang bunga aneka warna, rumput, maupun batu. Bu Ratih meyakini, pengalaman tersebut tidak akan membuat anak sakit dan justru mengasah pancaindranya.
Manfaat kegiatan keterampilan hidup praktis
Menurut Bu Ratih, kegiatan keterampilan hidup praktis seperti melibatkan anak pada tugas-tugas rumah tangga memberikan manfaat sangat besar.
“Bayi lahir dengan milyaran sel otak. Tapi, sel otak ini lama-lama akan mati atau pruning kalau tidak terstimulasi. Antar sel saraf ini harus terjadi koneksi layaknya kabel yang saling terhubung. Agar sel saraf saling terhubung, anak harus melakukan koordinasi antara otak, saraf, otot, dan alat geraknya. Practical life membantunya di situ,” kata Bu Ratih.
Bu Ratih mencontohkan, kegiatan menyendok dan menyikat menghasilkan gerakan tangan yang berbeda. Begitu juga ketika anak menyapu, mengeluarkan belanjaan dari kantong atau dus, dan menyuci. Gerakan yang bermacam-macam itu akan merangsang berbagai sel yang berbeda di otak Si Kecil.
“Ada orang bilang belajar pakai tab atau laptop tidak apa-apa, tapi gerakannya kan cuma jari. Itu berarti sel otak yang terangsang hanya gerakan begitu saja. Kedua, supaya ‘kabel’-nya tadi tebal, terjadi mielinisasi, makanya perlu pengulangan supaya makin cepat reaksinya. Ibarat orang baru belajar yang masih bengong, telat reaksinya, atau kayak orang belajar balet, kaku. Nanti anak semakin sering melakukan, ia makin terampil karena sel otak yang terhubung makin bagus, ‘kabel’-nya makin tebal. Practical life itu termasuk setiap hari kita menyapu, menyuci piring, menyendok. Repetisinya di situ tanpa disadari,” ungkap Bu Ratih.
Selain itu, kegiatan keterampilan hidup praktis dapat membangun karakter, melatih kemandirian, dan melatih konsentrasi anak. Terlebih, menurut Bu Ratih, pembentukan karakter anak terjadi di usia 0-6 tahun. Lewat 6 tahun, kita semestinya sudah menikmati hasil pembentukan karakter selama rentang usia sebelumnya.
“Resiliensi atau daya tahan yang bagus biasanya sudah terlihat dari usia 0-6 tahun. Itu tipe anak yang misalnya membereskan barang dan memasukkannya ke dus, tapi pas dusnya diangkat, ternyata isinya keluar lagi karena tidak dilem. Terus, anak memasukkan barang-barangnya lagi dan mencoba mengangkatnya kembali. Pengalaman itu kan sebenarnya membangun daya juang anak. Makanya, anak perlu banget melakukan practical life termasuk kegiatan beberes seperti itu,” ujar Bu Ratih.
Sementara untuk melatih konsentrasi, hindari menginterupsi anak yang sedang serius melakukan pekerjaannya. Interupsi termasuk memuji anak dan menanyakan hal yang sedang ia lakukan.
“Misal, anak ditugaskan menyapu. Coba lihat wajahnya yag terlihat serius. Itu sebenarnya anak sedang membangun fokus. Observasi harus kuat. Anak-anak usia dini yang fokusnya sering terganggu akan berdampak di kemudian hari saat mereka duduk di bangku SD. Orang-orang bilang, anak saya enggak bisa konsentrasi. Guru bilang, konsentrasinya pendek. Sedih kalau tahunya kemudian,” ungkap Bu Ratih.
Buat jadwal harian
Tapi, ada kalanya anak sudah tidak tertarik lagi terlibat mengerjakan tugas-tugas rumah tangga tertentu. Orangtua tidak boleh memaksakan sehingga kita tetap perlu memiliki jadwal harian. Dengan begitu, Mama dapat menyelesaikan pekerjaan yang harus dilakukan sendiri. Penjadwalan juga memungkinkan Mama mengatur kegiatan bermain yang bisa dilakukan sendiri oleh anak. Misal, anak bekerja di rak Montessori, menggambar, atau mewarnai, sementara Mama bisa memasak sambil mengawasi dari jauh.
“Kebanyakan dari kita adalah ibu-ibu rempong sehingga jadwal harian dibutuhkan agar urusan rumah tangga dan pendidikan anak beres. Jadwal itu membantu ibu memetakan kepalanya supaya ia tidak kebingungan menentukan tugas-tugas rumah tangga yang menjadi prioritas. Dengan begitu, ibu bisa terhindar dari perasaan banyak sekali hal yang harus dikerjakan,” jelas Bu Ratih.
Jadwal juga bisa mengurangi konflik ibu dan anak, lho. Tanpa jadwal, ibu merasa dirinya harus bekerja cepat, padahal ia berniat mengedukasi anaknya di rumah karena belum bersekolah.
“Nanti anaknya bisa jadi korban, dimarah-marahi karena pekerjaan ibunya belum tuntas,” tambah Bu Ratih.
Adanya jadwal harian bagi ibu juga bertujuan menjaga keteraturan makan yang menjadi bagian dari kesehatan Si Kecil. Anak yang terlambat makan rentan rewel karena merasa badannya tidak enak.
Meski begitu, penerapan jadwal di rumah lebih lentur ketimbang sekolah ya, Mama. Ini karena ibu punya kepentingan juga pertimbangan tertentu. Terutama dalam hal pengaturan jam makan anak.
“Ibunya lihat, si anak lapar setiap tiga jam. Sebagai contoh, biasanya anak bangun jam 7 pagi. Hari ini ia telat bangun sehingga baru sarapan jam 8 pagi. Itu berarti, jadwal makan snack menjadi 8 ditambah 3 jam (jam 11 siang). Bisa juga snack time tetap jam 10 pagi, tapi jenis makanannya lebih ringan supaya jam 12 anak tetap bisa makan siang,” ujar Bu Ratih.
Tetap sediakan kesempatan bersosialisasi untuk anak
Salah satu tantangan mengandalkan pendidikan anak usia dini di rumah saja adalah kesempatan bagi Si Kecil untuk bersosialisasi. Sementara, anak usia 4 tahun ke atas sedang dalam masa sensitif untuk bersosialisasi.
Mama pun perlu rajin membawa Si Kecil bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak lainnya guna memenuhi kebutuhan belajar tersebut. Sesuai prinsip Montessori, anak sebaiknya terpapar interaksi dengan anak-anak lain dari berbagai usia, baik anak yang lebih muda maupun lebih tua.
“Kelas Montessori kan multiaged classroom. Anak-anak berbagai usia dicampur dalam satu kelas supaya anak yang lebih tua, ibaratnya, belajar mengasuh anak yang lebih muda. Anak yang lebih muda belajar mendengarkan anak yang lebih tua. Jadi, memang sekompleks itu sosialisasinya,” terang Bu Ratih.
Mendidik dengan kasih sayang dan tanpa paksaan
Kunci kesuksesan pendidikan anak usia dini di rumah, antara lain kasih sayang, observasi, konsistensi, kesabaran, dan ketekunan. Prinsip kebebasan yang mengikuti minat anak (follow the child) dalam Montessori tak lantas membuat ibunya menjadi santai. Sang ibu tetap bertugas mengobservasi selagi anak fokus berkegiatan.
“Sebetulnya tergantung ibunya, seberapa sabar dan telatenkah dia? Ada orangtua yang sibuk buka handphone ketika bersama anak. Beberapa ibu yang aku lihat memang tekun, berusaha belajar untuk cari tahu cara seharusnya memperlakukan anak, silakan saja menerapkan Montessori di rumah karena aku percaya dia bisa. Tapi beberapa orangtua yang menjadi muridku, ada yang bisa menerapkan, tapi ada juga yang sudah belajar pun enggak bisa. Ada beberapa ibu yang bisa membaca dan mengobservasi anak. Ia cukup sensitif mengenali anak. Misal, tahu hal yang harus dilakukan saat anak tantrum. Tapi, ada ibu yang datar saja. Anaknya terlalu dibiarkan atau malah dikekang,” ungkap Bu Ratih.
Selain itu, kunci utama lainnya adalah kasih sayang. Berbekal kasih sayang, kita memiliki observasi yang kuat terhadap anak. Kita mampu mengenali kebutuhan anak dan lebih peka terhadap perasaannya.
Lebih jauh, dengan kasih sayang, kita pun akan tergerak untuk selalu mengikuti minat anak dan berusaha melihat tujuan tak langsung dari setiap hal yang dilakukannya.
Bu Ratih pun menyayangkan bila pendidikan anak usia dini dilakukan dengan paksaan.
“Kok kayaknya anak dipaksa. Anak mau mewarnai gunung dengan ungu, ya, nggak apa-apa juga. Tapi poinnya, dia melatih tangan memegang dan menggerakkan pensil melalui aktivitas mewarnai. Sementara gurunya menegur anak bila mewarnai ke luar garis sedikit saja dari area gambar,” keluh Bu Ratih.
Selain itu, selagi anak masih berkesempatan belajar di rumah, berikan kesempatan padanya untuk bebas bergerak. Belajar bukan berarti duduk di kursi dan mendengarkan. Kegiatan belajar bisa dilakukan sambil bermain dan bergerak.
“Keharusan untuk duduk di kursi dan mendengarkan gurunya membimbing adalah hal yang sangat sulit untuk anak usia dini. Anak senang bergerak karena sedang mengkoordinasikan otak dan kakinya,” jelas Bu Ratih.
Bu Ratih menambahkan, jangan sampai sikap idealis malah membuat kita sering memarahi anak. Jadi, sadari kelebihan dan kekurangan kita dahulu sebelum menerapkan Montessori di rumah secara lebih serius.
Tips Montessori di rumah dari Bu Ratih pun bisa menjadi alternatif bagi Mama yang sebenarnya cocok dengan metode Montessori, namun belum ada dana untuk menyekolahkan Si Kecil di sekolah Montessori. Semoga berhasil ya, Ma!
selagi anak masih berkesempatan belajar di rumah, berikan kesempatan padanya untuk bebas bergerak. Belajar bukan berarti duduk di kursi dan mendengarkan. Kegiatan belajar bisa dilakukan sambil bermain dan bergerak.
Aku penggemar tulisan-tulisan Mba Febi di TUM. Selalu mencerahkan!