Suatu hari saat kami makan malam dengan saus kacang, ibu angkat (host mom) saya bertanya,
“So, what does peanut plant look like?”
Saya pun terdiam, karena saya tidak tahu bentuknya. Kejadian semacam ini sering saya alami saat saya mengikuti student exchange ke Amerika dan orang bertanya tentang berbagai macam makanan dan tanaman yang ada di Indonesia.
Malu? Ya, lebih tepatnya merasa bodoh! Saya kira modal membaca koran tiap hari dengan isu politik dan lingkungan akan sangat membantu proses survival saya di sana. Ternyata malah pertanyaan hal-hal yang 'sepele' yang muncul tetapi saya benar-benar tidak tahu jawabannya. Sempat berpikir, saya dulu belajar apa saja waktu kecil? Oh ya, ternyata konsep belajar yang saya ingat adalah sekolah-les-sekolah-les, jadi mungkin tidak sempat belajar dengan cara main kotor-kotoran di sawah dan tempat hidup tanaman.
Sekarang saya merasa beruntung mengajar di sekolah yang berada di tengah rerimbunan pohon dengan kelas berupa pondokan-pondokan tanpa pintu dan jendela. Saya bisa lebih kenal dengan alam yang semasa saya kecil tampak begitu asing.
Contohnya kemarin, ketika saya dan murid-murid sedang asyik membuat pesawat kertas. Tiba-tiba melintaslah seekor lebah. Kecil sih, terbangnya lambat dan menuju ke belakang kami, ke keranjang tempat kertas. Murid-murid saya segera menyingkir, sebagian dengan wajah takut. Saya bilang, “It’s okay, lebahnya mungkin mau buat sarang.” Kemudian, partner mengajar saya meralat, “Bu, itu bukan lebah, tapi tawon.”
Tuh kan, saya baru tahu kalau tawon dan lebah itu berbeda.
Akhirnya, tawon tersebut hanya sesaat di kelas kami dan pergi. Lima menit kemudian, tawon itu datang lagi. Karena penasaran, saya amati dari dekat apa yang ia lakukan. Ternyata, setiap kali ia datang ke kelas, sang tawon membawa secuil tanah dan kemudian menempelkannya ke tepi keranjang. I never see this before in my life. Anak-anak pun saya ajak mengamati proses pembuatan sarang tersebut, termasuk mengamati tawon saat bolak-balik membawa tanah dari luar ke kelas. What made me astonished after was, the one-centimeter wide hive was completely symmetrical, with a little hole just right in the middle! Subhanallah. Tawon itu tidak membawa penggaris dan tanah kering yang ia bawa bisa melekat sempurna ke keranjang, mungkin ia menempelkannya dengan liurnya?
Yang pasti, saya bersyukur bisa menjadi saksi hal semacam ini dan mengajak murid saya ikut mengamati. I wish they still remember that when they’re older.
Waktu lain, seekor capung terbang berputar-putar di kelas. Lagi-lagi, ada anak yang ketakutan namun ada juga yang terpana. Momen ini saya manfaatkan untuk membacakan giant book tentang capung sehingga mereka bisa mengingat dengan jelas bentuknya, termasuk membandingkan hewan aslinya dengan gambar di buku. Instead of chasing the animals away, I prefer to ask the students to look closer, as long as it is safe enough. Kalau kita ketakutan, panik, atau menunjukkan sikap negatif, mereka pun akan meniru sikap kita. Selain hilangnya kesempatan belajar, sikap kita juga akan menjadikan generasi penerus kita 'jauh' dari alam.
Saat ini pengalaman yang berhubungan dengan alam terasa begitu mahal. Dulu, lapangan rumput, sawah, kebun mungkin masih bisa ditemui dengan mudah. Sekarang, untuk merasakan serunya memetik buah langsung dari pohonnya pun sebagian dari kita harus membayar. Mau menanam sendiri di rumah, belum tentu ada lahannya. Halaman rumah sudah penuh dipasangi ubin saking sempitnya lahan pemukiman. Akhirnya, orangtua mulai menyadari pentingnya pengalaman bersentuhan langsung dengan alam sehingga mereka mulai sadar mengajak anak untuk berwisata ke peternakan hewan, kebun buah, outbound, atau sekadar ke taman kota.
Bagi saya pribadi, mengajak anak untuk dekat dengan alam tidak hanya semata mengikuti tren, or merely to be knowledgeable. Kenal dengan alam membuat kita bisa lebih empati dengan lingkungan sekitar kita thus we can treat our environment well. Dari sisi spiritual, kedekatan dengan alam sekitar juga bisa membuat kita tidak merasa sombong sebagai manusia dan menganggap lingkungan sekitar bisa kita kendalikan dengan kecerdasan kita. Terlalu banyak kehidupan di luar sana yang luput dari perhatian kita dan mereka semua membuktikan bahwa ada yang jauh lebih cerdas dari kita.
Mumpung gaya hidup hijau sedang naik daun, aktivitas yang berbau alam semakin menjamur, tidak ada salahnya kita sebagai orangtua menjadi guru pertama sekaligus role model bagi anak-anak kita untuk belajar dari alam. Bukan tidak mungkin anak-anak akan lebih excited daripada bermain dengan gadget mereka.
Bagaimana urban mama-papa, siap mencoba?
@thiti: iya mbak, bagi orang dewasa mungkin itu hal biasa, tapi bagi anak-anak, bermain di sawah bisa jadi exciting banget :)
@neneng:sama-sama, Mama Neneng..
@tarilestari: sama-sama Mbak..ibunya ikutan juga pasti seru :)
@ninit: makasi teh, serunya di TUM itu semua bisa saling mengingatkan, hanya dengan membaca tulisan para mama..
@aini:betul mbak aini, harus sejak dini mengenalkannya, karena rasa ingin tahu mereka masih besar..
@eka:pasti si kecil seneng banget memanen hasil tanaman mereka sendiri ya, mbak..!
@rian: beruntung banget ya mbak...setuju< kata yg tepat adalah priceless :)
Makasih artikelnya bagus banget. Saya anaknyang gak kenal alam karena gak tumbuh di desa. Beda banget sama suami. Dan merasa beruntung banget sekarang anak saya tinggal di lingkungan yang alamnya masih hijau, masiha ada sawah,kebun sungai bintang2 dan berbagai hal yang membuat interaksi dengan alam itu biasa. Busa belajar banyak hal soal alam dan menmbuat anak menghargai alam
artikel yang menarik banget Mama Adhisti, makasih ya udah disharing. Jadi pengingat lagi untuk menanamkan hal yang sama ke anak-anak.
Siiiiaaapp...(jwb prtnyyaan d akhir artikel) makasii sharing pngalamannya maam.. #jdmakinsmangatajarinanakturunkealam
artikel yang keren bangettt mama adhisti <3
mengingatkan saya pribadi untuk melakukan hal yang sama pada anak-anak. terima kasih yaaa... :)