Penanganan Breast Abscess Ketika Menyusui

Oleh Geezta Geezta pada Selasa, 26 Maret 2019
Seputar Our Stories
Penanganan Breast Abscess Ketika Menyusui

Membagi cerita ini sebenernya adalah 'nazar' saya sehabis operasi breast abscess, sebagai janji untuk berbagi mengenai topik ini agar para Mama lebih banyak yang aware, tahu bagaimana pencegahannya, tahu harus ke mana kalau hal ini terjadi pada diri sendiri, dan yang paling penting, tahu kalau breast abscess bukan akhir dari kegiatan menyusui karena ASI tak harus stop setelah breast abscess ini terjadi.

Mastitis? Plugged ducts? Abscess? 
Ceritanya di hari kesepuluh setelah Dowvan, anak saya, lahir, payudara saya mulai bengkak. Badan saya meriang setiap subuh menjelang pagi dan sore menjelang malam. Saya pun bertanya sana-sini, termasuk ke dokter obgyn, dan solusi mereka adalah massage, massage dan massage. Namun semakin hari payudara saya semakin mengeras dan Dowvan semakin menolak menyusu langsung ke payudara keras ini. Hopeless, akhirnya saya googling dan dari situlah saya berkenalan sama yang namanya mastitis dan perbedaannya dengan plugged ducts. Saya baru tahu juga yang namanya milk blister. Namun karena awam, saya mengira kondisi yang terjadi pada badan sendiri ini bukan mastitis, melainkan plugged ducts.

Sekali lagi saya mencoba ke beberapa rumah sakit, berkonsultasi ke dokter obgyn, klinik laktasi, dokter umum sampai UGD. Sayangnya, lagi-lagi saya bertemu dengan staf kesehatan dengan solusi yang tak tepat, disuruh pumping pakai pompa ASI di rumah sakit, dan pulang pun hanya dibekali paracetamol sampai menumpuk di rumah. Dari pengalaman ini, saya pikir banyak dokter dan suster yang belum paham betul mengenai mastitis dan breast abscess. Setelah bertemu dokter bedah, beliau pun bilang kadang dokter "saru" antara plugged ducts, mastitis dan abses; inilah mengapa urban Mama harus datang berkonsultasi ke orang yang tepat.

Operating Day 
Dengan rasa badan yang semakin tak karuan, payudara merah padam membengkak, areola sampai mengilat karena sudah sangat bengkak dan suplai ASI makin drop, setelah konsultasi ke sana-sini barulah saya bertemu dengan konselor laktasi di RSIA Kemang Medical Care (KMC) yang akhirnya bilang kalau saya harus dirawat-inap saat itu juga untuk terapi antibiotik lewat infus. Dari penjelasannya, kalau terapi antibiotik lewat oral pasti sudah tak mempan. Saat itu hati saya makin tak karuan membayangkan harus rawat inap? Mengapa bisa sampai separah ini? Terus bayi saya bagaimana? Waktu itu Dowvan baru berusia 1 bulan. Namun ibu saya bilang, jangan tunda-tunda lagi, sudahlah ikuti saja ini sudah parah sekali.

Saat saya sedang mengurus untuk rawat inap, konselor laktasi merujuk saya untuk ketemu dokter bedah. Sang konselor laktasi mewanti-wanti sekali agar saya bertemu dulu dengan dokter bedah ini karena dia pro ASI, sehingga semua obat yang dia pilih adalah obat-obat yang seminimal mungkin memengaruhi ASI dan yang paling penting dia tidak stop ASI kita pada saat pemulihan. Saya sempat bingung, kok treatment antibiotik pun sama dokter bedah, tetapi ya sudah saya ikuti saja.

Sekitar pukul 3 sore, saat ketemu dengan dr. Myra Sylvina SpB dan menceritakan keluhan saya. Setelah itu, diputuskannya untuk respirasi (pengambilan cairan dari payudara menggunakan jarum suntik) buat memastikan apa ini mastitis atau sudah menjadi breast abscess. Setelah respirasi, ternyata cairan dari payudara saya yang tersumbat saat itu sudah berwarna hijau (mirip green tea latte). Dokter bedah mengatakan bahwa kondisi ini sudah tidak bisa hanya di-treatment dengan antibiotik, melainkan harus diinsisi dan drainase malam itu juga (dilubangi dan disedot cairan ASI yang sudah terinfeksi). Dan ternyata payudara saya yang terinfeksi bukan cuma sebelah tetapi dua-duanya dan sudah parah. Saya pasrah, dan dengan dukungan suami akhirnya setuju dan singkat cerita dengan bius total saya dioperasi breast asbcess hari itu juga.

Pemulihan 
Operasi berlangsung sekitar 2-3 jam. Semuanya tak jelas saya ingat detilnya bagaimana, yang pasti sampai dengan 3 hari berikutnya, Dowvan dibawa oleh Omi-nya (ibu saya) ke RS dari pukul 10 pagi hingga pukul 10 malam, karena pihak RS tidak mengizinkan bayi menginap mengingat ini kasus infeksi. Namun dokter anak mewajibkan Dowvan tetap menyusu langsung selama saya berada dalam masa pemulihan, agar ASI saya tidak berhenti diproduksi. Saya juga tetap pumping setiap 2 jam sekali.

Sebelum operasi, Dokter sudah bilang kalau nanti luka (ada 3 lubang insisi, 2 di kanan dan 1 di kiri) yang tidak akan dijahit, tetapi akan ditunggu sampai lukanya menutup sendiri supaya sisa-sisa infeksi bisa tetap didrainase agar tidak terjadi infeksi lagi. Jadi lubang-lubang luka yang panjangnya mungkin sekitar dua buku jari telunjuk tersebut ditutup tampon kasa saja, dan kasa ini harus diganti setiap hari selama saya dirawat di RS dan setiap dua hari sekali setelah saya diizinkan pulang ke rumah oleh dokter. Selama 1,5 bulan berikutnya, agenda saya adalah bolak-balik RS untuk ganti tampon kasa, lukanya ditetesi obat penumbuh jaringan dan diobservasi infeksinya. Bukan hal yang menyenangkan, tentunya, tetapi harus dijalani.

Selama masa pemulihan ini bisa dibilang masuk tiga besar 'the-hardest-days-of-my-life'. ASI yang merembes dari lubang-lubang luka saat saya sedang menyusui/memompa ASI sampai membasahi baju saya dan Dowvan, membuat saya harus sering-sering ganti kasa luar (yang bisa saya ganti sendiri). Badan saya lemas karena masih mengonsumsi antibiotik, obat pereda rasa sakit, dan lainnya. Perasaan pun jadi tak karuan, sampai sempat ingin minta obat untuk memberhentikan produksi ASI karena tak tahan dengan lamanya proses pemulihan ini. Adapun lubang-lubang luka itu semakin lama menutup karena selalu basah oleh rembesan ASI. Saya juga lelah karena setiap dua hari sekali harus mondar-mandir ke RS untuk "disiksa" oleh ritual ganti tampon kasa. Namun alhamdulillah, saya punya ibu, suami, anak dan dokter bedah yang luar biasa, selalu mendukung dan mengingatkan kalau saya pasti bisa melewati kondisi ini.

Rainbow after the rain
Selain kata-kata dokter, ibu dan suami saya yang selalu bilang semua akan baik-baik aja, Dowvan adalah motivasi saya untuk tetap "mempertahankan" produksi ASI. Buat saya, ASI saya adalah hak Dowvan yang dititipkan Tuhan melalui saya. Rasanya sangat egois kalau saya masih bisa memproduksi ASI sebanyak saat itu tetapi diputuskan untuk berhenti. Saya juga memotivasi diri dengan mengingat-ingat momen waktu dulu saya salah memberikan data pada bos besar yang berakibat dia dipermalukan di depan umum; waktu itu rasanya takut sekali seperti dunia saya runtuh, tetapi buktinya ketika sudah berakhir dan saya perbaiki, saya bisa move-on dan semua baik-baik saja. Saat itu, saya yakin suatu saat setelah semua cobaan berakhir, saya akan baik-baik saja dan tidak akan menderita.

Saya ingat hari di mana akhirnya semua luka sudah menutup, hari terakhir kontrol ke dokter bedah, 1,5 bulan setelah hari operasi. Saya sudah bisa tertawa lebar, semua sudah bisa dibilang baik-baik saja dan rasa sakitnya sudah tidak ada.

Dowvan waktu berumur 5 bulan.

Bersyukur sekali rasanya, meski saya harus lebih banyak pumping karena dulu bajunya basah kuyup setiap kali menyusu langsung, namun Dowvan masih bisa terus ASI. Saya juga sudah baik-baik saja, walaupun ada tiga luka "kenang-kenangan" yang kemungkinan tak akan hilang bekasnya but that's ok, benar-benar terbayar dengan melihat Dowvan sehat, aktif dan bahagia.

Even if there is pain now, everything would be all right. For as long as the world still turns, there will be night and day. There's a rainbow always after the rain

0 Komentar