Cheng Beng: Tradisi Mengenang Leluhur

Oleh Rindangi Putri pada Kamis, 08 Mei 2014
Seputar Our Stories

Bagi kami keturunan Tionghoa, akhir Maret hingga awal April adalah waktu untuk ziarah ke makam leluhur. Kegiatan ini biasa disebut cheng beng dalam bahasa hokkian, qing ming dalam bahasa mandarin atau tomb sweeping day dalam bahasa Inggris.

Tahun ini adalah tahun pertama Ledi mengikuti tradisi cheng beng. Sebenarnya keluarga saya sudah tidak mengikuti tradisi Tionghoa secara lengkap. Sudah banyak tradisi yang disesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga jika ada mama keturunan Tionghoa lain, silakan memberi masukan.

Sebenarnya masih ada beberapa makam leluhur yang berlokasi di luar kota, biasanya kami mengunjunginya saat mudik lebaran, natal atau paskah. Kali ini lokasi makam yang kami kunjungi adalah makam Oma Tjoa Eng Hwa di TPU Selapajang yang berada di belakang bandara Soekarno-Hatta. Oma Eng Hwa adalah ibu dari ayah saya, nenek buyutnya Ledi. Oma meninggal tanggal 17 oktober 2012, empat bulan setelah Ledi lahir. Tapi saya bersyukur Oma masih sempat melihat, menggendong serta bermain bersama Ledi.


Sesampainya di lokasi makam, kami langsung membersihkan makam, berdoa, lalu bercerita mengenai Oma Eng Hwa. Ya, berkunjung ke makam leluhur merupakan kesempatan untuk mengenal lebih dekat para leluhur. Bagaimana perjuangan Oma mengikuti Opa dari Medan ke Nganjuk-Jawa Timur. Bagaimana Oma berjuang menafkahi dan menyekolahkan ketiga anaknya setelah Opa meninggal. Juga bagaimana Oma berjuang melawan kanker di akhir hidupnya. Nilai keuletan, kejujuran, ketabahan serta keikhlasan banyak diturunkan dari generasi ke generasi melalui cerita para leluhur.



Dalam tradisi cheng beng yang sebenarnya, biasanya keluarga membawa makanan dan minuman untuk arwah leluhur, membakar uang, mobil, rumah, pelayan yang semuanya tentu terbuat dari kertas. Kami orang tionghoa percaya ada kehidupan setelah kematian dan harta benda dari kertas yang dibakar akan menjamin kesejahteraan hidup leluhur di alam sana.


Setelah menikah dengan suami yang keturunan Jawa, saya pun menemui tradisi mengunjungi makam leluhur di keluarga suami. Biasanya dilakukan pada saat libur lebaran, di mana keluarga besar berkumpul. Lewat tradisi ini saya mengenal paman suami yang berperang melawan tentara Jepang hingga kakinya harus diamputasi, perjuangan eyang kakung menjadi misionaris hingga cerita eyang buyut menjadi demang.


Cerita-cerita ini selalu menginspirasi dan menghangatkan hati. Menumbuhkan semangat saya untuk terus melangkah menuju masa depan. Oleh karena itu saya ingin mengenalkan Ledi dengan para leluhurnya sejak dini. Saya ingin Ledi memiliki nilai-nilai keluarga yang kuat sebagai bekal menghadapi tantangan di masa depannya nanti.


Bagaimana cheng beng pertama Ledi? Oh Ledi sangat menikmatinya, senang bisa mengejar-ngejar kambing dan menangkap kodok di area pemakaman. Mungkin di cheng beng tahun depan misi mengenalkan nilai-nilai leluhur bisa lebih berhasil.


---


“You can shed tears that she is gone,
or you can smile because she has lived.
You can close your eyes and pray that she'll come back, or you can open your eyes and see all she's left.
Your heart can be empty because you can't see her, or you can be full of the love you shared.
You can turn your back on tomorrow and live yesterday, or you can be happy for tomorrow because of yesterday.
You can remember her only that she is gone, or you can cherish her memory and let it live on.
You can cry and close your mind,
be empty and turn your back.
Or you can do what she'd want:
smile, open your eyes, love and go on.”

-David Harkins (British Poet and Painter)-

4 Komentar
Eka Gobel
Eka Gobel May 16, 2014 6:05 pm

waah, terharu bacanya. tfs ya, rindangi. iya sih, sama ya ternyata, kalo lebaran atau menjelang bulan puasa, kita juga suka ziarah ke makam orang tua. lebih tepatnya bersih2 sih, dan jadi tau silsilah keluarga.

Retno Aini
Retno Aini May 15, 2014 1:32 am

Rindangi, tfs yaa artikelnya bagus bgt. gw bacanya terharu. waktu dulu jaman kecil, gw pun jadi tahu cerita ttg uyut dan silsilah keluarganya itu dari acara nyadran (ziarah + kumpul2) seperti ini juga. Kata ortu, biar nggak lupa akar :)

Ruth Nina
Ruth Nina May 10, 2014 12:09 pm

Rindangi, ini keren bangetttt. Mengingatkan bahwa saya ngga boleh males-malesan pergi Ceng Beng demi mengenalkan budaya keluarga sama anak hahaha. Padahal Andrew paling hobi bikin dan bakar "duit", selalu sembahyang pake hio (padahal saya Kristen) dan ikutan menata persembahan. Tapi tahun ini saya absen. Tahun depan harus ikut lagi.

zata ligouw
zata ligouw May 8, 2014 5:26 pm

Rindangi, artikelnya inspiratif banget, makasih yaaa. Ledi pasti seneng banget diajak2 ziarah plus dapet cerita2 seru dari ortunya..

Gw juga sama, gw seneng banget menceritakan ttg kakek nenek, saudara2 yang sudah gak ada dan apa saja yg sudah mereka lakukan untuk negeri ini. Si abang yang paling seneng dengerin, mungkin karena dia udah agak gede. Kalo lagi dengerin uci-nya (ibu dari ayahnya) cerita, dia seperti terbawa ke masa lalu gitu, gw malah jadi inget nenek2 yg cerita ttg titanic hehehe..