Fanny Hartanti

Oleh the urban mama pada Senin, 18 April 2011
Seputar Our Stories

Fanny Hartanti (32yo). Married to Jo Cleymans (32 yo) with a cute little girl, Alyssa Putri Cleymans (5 yo).

Banyak yang terkejut ketika saya memutuskan untuk menikah dengan ‘mas bule saya’. Bahkan saya sendiripun kaget! Soalnya, saya nggak pernah punya cita-cita menikah muda. Justru sebaliknya, saya ingin puas-puasin berkarier dulu, bersenang-senang. Work hard, party hard, itu motto saya dulu.

Tapi rencana tinggal rencana. Saya jatuh hati dengan ‘cowok itu’. Kami berkenalan tahun 2001 di Copenhagen saat sama-sama sedang mengikuti training, ‘jadian’ awal tahun 2003, dan menikah pada bulan Oktober di tahun yang sama. Sebuah keputusan yang super nekad, mengingat waktu perkenalan dan pacaran yang sangat singkat, plus tempat tinggal yang berjauhan yang membuat kami sangat jarang bertemu. Kalau mau dihitung, mungkin total pertemuan kami face to face sebelum memutuskan untuk menikah hanya sekitar sebulan. Tapi memang kalau cinta sudah bicara, siapa yang bisa mengelak? ;) Ehm.

Keluarga besar saya, terutama Mama, tentu kaget berat, saat saya tiba-tiba minta kawin. Sama cowok yang nggak dikenal lagi! (Jo belum pernah ke Indonesia sebelumnya). Bule pula! Dan setelah menikah, putri semata wayangnya ini akan diboyong ke Belgia. Orang tua mana yang nggak panik?
Tapi Alhamdulillah, setelah sholat istikharah, Mama merasa tenang dan ikut mendukung keputusan saya. Restu untuk menikah keluar. Saya pun senang!

Singkat cerita, setelah melewati urusan birokrasi yang ribet dari kedua negara, kami menikah dan saya pindah ke Belgia mengikuti suami saya. Kami pun hidup bahagia selama-lamanya seperti pangeran dan putri raja di dongeng sebelum tidur.

Or not.

Meninggalkan karier, masa lajang, keluarga, teman-teman, gaya hidup di negara tercinta dan semua hal familiar lainnya bukanlah hal yang mudah. Ditambah lagi, saat mendapati kalau saya hamil, padahal tadinya kami ingin menuda dulu sampai saya ‘settle’ di sini. Semua perubahan yang terjadi pada diri saya, membuat tahun pertama saya di Belgia terasa sangat berat.

Saya belum siap untuk hamil. Saya belum siap jadi ibu. Apalagi sendirian begini, di negara yang masih terasa begitu asing buat saya.
Saya kangen Mama. Kangen keluarga besar saya, teman-teman saya. Saya kangen kerja lagi. Saya kangen dengan pertokoan di Jakarta yang setiap hari termasuk akhir pekan buka sampai malam. Di Belgia, toko-toko tutup jam enam sore, dan kalau Minggu atau hari libur, malah nggak buka sama sekali.
Saya rindu dengan makanan Indonesia, apalagi di saat-saat awal kehamilan di mana saya ngidam berat dengan siomay, lontong sayur, batagor, nasi padang, dsb.
Saya sedih. Saya kesepian. Saya menangis hampir tiap hari (I blame it on the pregnancy hormones though).

Setelah Alyssa lahir, keinginan saya untuk kembali bekerja pun semakin menggebu. Tapi tentunya nggak semudah itu untuk kembali berkarier, apalagi saya tidak tinggal di negara sendiri. Selain menjadi minoritas, salah satu kendala terbesar saya adalah bahasa (mayoritas lowongan pekerjaan mensyaratkan kemampuan bahasa Belanda, Prancis dan Inggris). Frustasi deh, rasanya, ditolak di mana-mana, dipandang sebelah mata, atau dianggap cuma pantas untuk jadi buruh pabrik atau petugas cleaning service.
Ya ampun, saya gensi dong. Mana mau saya jadi pekerja ‘rendahan macam begitu?

Bertamengkan ego dan kesombongan saya tetap keukeh, nggak mau kerja kalau bukan pekerjaan yang ‘bergengsi’. Namun kesombongan dan ego yang sama juga menggedor-gedor, malu dengan status ‘pengangguran’ saya. Selain merasa nggak keren menyandang status ibu rumah tangga, saya juga punya satu cita-cita, membiayai Mama naik haji dengan uang hasil keringat sendiri. Lah, kalau saya nggak kerja, gimana saya bisa mewujudkan cita-cita saya itu?

Saya nggak tahu, apakah karena doa saya tiap malam, kenekatan saya, atau kekeraskepalaan saya, yang jelas tiba-tiba Gusti Allah memberi saya jalan untuk berkarya dengan cara lain. Tiba-tiba saya punya ide untuk menulis novel pertama, padahal sebelumnya saya nggak pernah kepikiran untuk menjadi penulis. Alhamdulillah.

Setelah novel pertama terbit, saya mulai dengan novel kedua. Bersamaan dengan itu, saya ditawari untuk bekerja part time di sebuah pabrik selama beberapa bulan. Sebagai buruh! Dengan menelan gengsi bulat-bulat, saya pun menerima tawaran ini. Saya melihat, banyak teman-teman saya di sini, yang juga nggak malu dengan pekerjaan yang sering disepelekan macam ini padahal mereka wanita-wanita yang lebih pintar dari saya atau dulunya bahkan punya jenjang karier yang lebih tinggi. Lagipula, saya pikir, yang penting halal dan nggak nyolong.

Sekalian cari pengalaman. Sekalian cari inspirasi (buat novel kedua! :))

Dan dimulailah masa-masa Fanny jadi buruh pabrik. Hari pertama, setelah pulang les bahasa Belanda, saya mulai bekerja. Pulang-pulang, saya nangis sesegukan dipelukan Jo. Rasanya capek badan, dan capek hati. Remuk redam lah pokoknya. Suami bilang, ya sudah berhenti saja… toh nggak ada yang maksa kamu untuk bekerja.. Tapi saya nggak mau berhenti. Sebesar-besarnya gengsi saya menjadi buruh, saya lebih malu lagi kalau saya harus berhenti dan mengaku ‘kalah’ dari tantangan ini. Nggak, saya nggak mau berhenti. Kenapa saya harus stop melakukan sesuatu hanya karena saya merasa pekerjaan itu kurang keren? Kurang mentereng? Toh saya nggak mencuri. Atau menyakiti orang. Atau korupsi. Lagian, saya kepengin membelikan ranjang idaman untuk Alyssa (tetep, motivasi terkuat adalah belanja!).

Waktu berjalan, kontrak saya sebagai buruh pun berakhir dan saya melamar jadi pegawai di Mc. Donalds. Namun belum sempat saya berganti karier menjadi pelayan resto, tiba-tiba saya mendapat panggilan bekerja di sebuah perusahan di Belgia yang sesuai dengan bidang yang saya geluti selama ini. Setelah beberapa kali wawancara, saya berhasil mendapatkan pekerjaan ‘kantoran’ impian. Rasanya bahagia sekali kala itu. Seperti memenangkan sebuah pertandingan. Seperti berhasil membuktikan sesuatu. Seperti ingin berteriak, menangis haru dan menari sekaligus.

Namun kendala lain muncul bersamaan dengan rejeki yang baru diterima. Menerima pekerjaan ‘kantoran’, artinya meninggalkan Alyssa seharian penuh, padahal selama ini saya adalah ibu rumah tangga yang sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah. Paling saya meninggalkan Alyssa saat harus les, atau sesekali kerja paruh waktu seperti yang saya ceritakan di atas. Seperti kata orang bijak, be careful what you wish for.. Saat saya mendapatkan apa yang saya perjuangkan selama ini, saya justru takut untuk menerimanya.

Siapa yang menyangka bahwa ada masa di mana saya membandingkan karier ‘sungguhan’ dengan pekerjaan sebagai pelayan resto, tapi saya benar-benar bimbang kala itu. Kalau saya jadi pelayan resto, dengan lokasi yang sangat dekat rumah, paruh waktu, less stress, saya akan punya banyak waktu untuk si Neng. Di sisi lain pekerjaan kantoran yang pastinya akan lebih rewarding, namun akan lebih menguras energi dan waktu, yang akhirnya akan merenggut sebagian besar kebersamaan saya dengan si Neng.

Setelah bolak-balik berdiskusi dengan suami, saya memutuskan untuk menerima pekerjaan kantoran. Saya pikir, at least I have to try it first. Jo pun mendukung 100 persen karena dia tahu saya pasti bakal lebih senang bekerja sesuai dengan minat dan pengalaman saya selama ini. Apalagi, saat itu Alyssa sudah mulai masuk sekolah, jadi otomatis ia akan menghabiskan lebih banyak waktunya di sekolah. Lucunya lagi, walaupun kuantitas pertemuan saya dengan Alyssa berkurang, tapi justru pertemuan yang sedikit itu menjadi lebih berkualitas. Mungkin karena kita sama-sama menyadari keterbatasan ini, so we don't take it for granted anymore! What a good timing. Seperti sudah ada yang mengatur (eh, memang iya ya :)).

Looking back, saya suka tersenyum-senyum sendiri mengingat tahun-tahun pertama saya di Belgia. Oh how I fought, cried, fell but somehow I manage to get up again. Saya jadi semakin percaya, kalau segala sesuatu itu, memang pasti ada hikmahnya. Saat saya sulit mencari kerja, saya belajar untuk menemukan bakat saya yang lain, yang selama ini nggak pernah saya sangka saya punya. Saya juga belajar mengalahkan gengsi saya, keangkuhan saya. Saya belajar untuk nggak mudah meremehkan orang lain karena saya pernah merasakan rasanya direndahkan, dipandang sebelah mata. Saya juga yakin, bahwa saat itu, saya memang nggak diberi ‘kerja’ karena Tuhan mau saya menghabisakan waktu dengan Alyssa. Oya, satu lagi, pengalaman beberapa tahun menjadi ‘ibu rumah tangga’ juga membuka mata saya, bahwa ternyata nggak mudah menjadi seorang Stay at Home Mama seperti yang selama ini saya kira dan suka saya lecehkan.

Ternyata, setiap wanita, setiap ibu, punya ceritanya sendiri. We are strong, unique and special in our own way

Kategori Terkait


Tag Terkait

77 Komentar
eka fitriani
eka fitriani January 31, 2018 2:39 pm

halo, saya sekarang punya pengalaman yang sama perbedaannya adalah saya ke belgia untuk jalan2 selama sebulan dan saya sudah berkenalan lama dengan calon saya ini tapi bru benar2 yakin ketika kami bertemu.
boleh kirim email kesaya [email protected] ada yang saya mau tanya

grace triguna
grace triguna September 26, 2012 4:38 pm

Hallo mbak Fanny, Salam kenal..
Perjuangan yang sangat luar biasa sebagai ibu, istri, dan pribadi. Sifat mbak yang ulet n nggak gampang nyerah akhirnya membawa mbak tujuan yang baik. Ga semua orang mampu mengalahkan ego seperti itu :)Tetap semangat ya mbak, sukses selalu dalam keluarga dan karier. Serta tetap berbagi motivasi bagi sahabat2 mama yang lain..

Elskan July 9, 2012 3:06 am

Sangat menginfirasi saya untuk tetep berusaha dan semua memang ada prosesnya ya mbak, kebayang diri sendiri, sekarang lagi hamil 25 week, belom setahun pindah dinegara es ini, awal datang langsung belajar bahasa biar bisa kerja yg bagus sesuai pengalaman, gak mau dibagian cleaning service :-D, belom lancar eh dikasih hamil..Alhamdulilah Wa syukurillah mengingat umur yang menua, cuma segunung positive thinking yang dibawa dari Jakarta pas hamil memble juga, kesepian, pgn deket ibu, memble ama harga2 perlengkapan bayi yang muahal (gak bisa bebas beli karena gak punya gaji lagi ), gak mau berlama lama sedih ya disyukuri saja, disehatin dan dimantabkan persiapan lahirannya, urusan kerja insyaalloh ada jalannya, mudah2 diberi kemudahan seperti kemudahaan yang Alloh berikan pada kehamilan selama ini, semoga sampai lahiran nanti, Aaminn, ntar kalo balik Jkarta ta cari bukunya mbak :-D

dyanamel
dyanamel May 24, 2012 8:48 pm

truly inspiring story! akupun menikah sm wna & tinggal di singapore blm bs kerja krn berkenaan dg ijin tinggal, dan perusahaan pun lbh milih hire singaporean/PR drpd foreigner yg gak punya visa employment pass, kebetulan alhamdulillah akupun hamil dan memutuskan utk punya anak dulu. at least klo punya anak akan lbh mudah utk ngurus PR dan akan lbh mudah utk mencari pekerjaan disini. awal2 bulan pun aku sering mewek krn kangen jkt dan makanan indonesia terutama shopping di itc mangdu, ambas, nge PIM atau nge mall sm tmn2 kantor or ngopi2 sm sahabat2 cewe... alhasil aku sering bolak balik sg-jkt hihihihi. thanks to ur story, paling gak ksh semangat buat aku walopun jauh dr keluarga tp ttp bs mandiri :)

dzikrina February 22, 2012 7:57 am

indah sekali kisah hidup Mba, semoga saya bisa belajar dari Mba. TFS ya Mba....