Home Sweet Home

Oleh Sondang pada Kamis, 07 Juli 2011
Seputar Our Stories

Mempunyai rumah adalah impian semua keluarga. Dengan segala fasilitas yang diberikan oleh lembaga pembiayaan, nampaknya juga memermudah pasangan muda jaman sekarang untuk mempunyai rumah bahkan sejak awal menikah. Saat menikah, saya dan suami masih mengontrak, dan masih santai-santai saja soal rumah. Apalagi saya masih sibuk dengan urusan pindah mengikuti tugas suami, dari Jakarta ke Bandung. Diikuti dengan kehamilan anak pertama yang membuat kami berdua sibuk sendiri mempersiapkan hal-hal menyenangkan seputar menyambut kedatangan anak pertama. Sampai beberapa teman bertanya kenapa kami tidak membeli rumah, pertanyaan yang muncul biasanya karena mengetahui kami mengontrak dan untuk ukuran rumah kecil sekali seperti itu, biaya kontrakan itu mahal sekali. Lama-lama, kami memikirkan hal ini dengan serius. Lumayan sekali uang kontrakan kalau dipakai untuk membayar cicilan, dan satu lagi kata teman saya, harga rumah tidak akan pernah turun. Gaji naiknya terprediksi, dan harga properti juga terprediksi akan naik melampaui kenaikan penghasilan. Teman-teman memberi testimoni, betapa hanya dalam hitungan bulan, satu rumah dengan tipe yang sama di kompleks yang sama bisa berbeda harga sekian puluh juta rupiah. Oh no! Saat menghitung sumber daya yang mepet, seorang teman memberi saran, membeli rumah harus pakai jurus nekat.

Maka di bulan ke 7 kandungan saya, kami sepakat hunting rumah. Mulai dari memelototi semua iklan baris di semua koran terbitan Bandung, menjelajah seluruh pelosok Bandung di setiap weekend, dan mampir di rumah teman-teman yang kita kenal untuk ngobrol siapa tau ada info soal rumah sambil survey sekitar kediaman mereka.

Rumah impian tentu saja ada. Di tengah kota, air bagus, udara bersih, infrastruktur bagus, fasilitas  umum yang lengkap dan bentuk rumah yang keren tapi tentu harganya pun tidak murah.

Di saat-saat kami hampir menyerah, seminggu menjelang due date kelahiran anak saya, kami mendapat info ada rumah saudara kami yang mau dijual.

Kali pertama melihat rumah itu, jujur saja bukan rumah impian saya. Sekali lagi, saya membandingkannya dengan rumah yang hampir kami beli. Letaknya termasuk jauh, mengikuti kontur Bandung yang naik turun. Jalan ke arah kompleks rumah ada melewati titik yang pas banget dilewatin dua mobil, dan membuat saya berpikir ini sepertinya akan jadi faktor penunda saya untuk memperlancar kemampuan menyetir mobil setelah memperpanjang SIM A sebanyak  3 kali tanpa berani menyetir di jalan raya. Bentuk rumahnya oldies, khas rumah Batak banget yang tidak ada model. Lingkungannya juga kebanyakan orang tua, bukan pasangan muda dengan bayi seperti saya. Aih, akan ada kesenjangan komunikasi, nih, pikir saya.

Tapi di lain pihak, airnya bagus. Udaranya bersih. Harganya miring, dan karena itu milik saudara, bisa dibayar dengan cara mencicil. Seperti kata suami karena kami tidak punya kemampuan finansial luar biasa, maka kompromi harus dilakukan.

Kami memilih untuk berkompromi dengan mimpi tentang rumah. Kami putuskan membeli rumah itu, setelah menghitung segala pros dan cons. Segala proses pindah mudah sekali. Tiga hari kemudian, Ghaffar Ephraim Tamba lahir di rumah itu.  Sembilan belas bulan kemudian, Gaoqi Eustacia Tamba menyusul. Setelah melewati hampir tiga tahun, rumah belum jadi juga dicat ulang warna oranye seperti impian saya. Kedua batita saya berlomba-lomba membuat prakarya di dindingnya, bahkan wall sticker Planet yang saya beli di Circus Giraffe pun ada yang lepas. Sudah tiga kali menambal atap sudut rumah yang bocor. Saya masih menyimpan mimpi tentang rumah idaman, dan saat ini kepuasan mewujudkannya baru dalam tahap membeli tabloid atau buku design interior dan eksterior. Buku favourit saya  mengenai desain ini adalah, 'Membuat Perpustakaan di Rumah'. Ada beberapa yang pernah datang ke rumah mengeluhkan jalan ke rumah saya, tapi suami saya bilang kalau ada yang mengeluh berarti bukan sahabat yang benar-benar dekat. Karena kalau benar-benar sahabat, maka prinsip the road to a friend's house is never far akan berlaku. Wah, keberadaan rumah saya punya fungsi tambahan menjadi filter jaringan sosial keluarga.

Meski di awal berat rasanya harus merevisi impian saya tapi ternyata versi revisi ini jauh lebih indah dari yang saya bayangkan, terima kasih untuk keberadaan para penghuninya.

Home is where your heart is.
Home is the people inside the house.

My family is so precious. Yes, this house is far from my dream house, but it's absolutely my dream home.

63 Komentar
gamma sinta.r
gamma sinta.r July 8, 2011 3:59 pm

huhuuy,sondang, tulisannya baguuus!

mirip2 jg nih ama aku, cpt2 ambil rumah dg alesan makin ntar malah makin ga kekejar. walhasil ya bnyk parameter ideal yg blm tercapai, tipe rumah yg keciiil, kontur komplek yg aduhai (tp kalo kondisiku mau gak mau bkin kepepet harus bs nyetir,dang.kalo ga,terisolir ga bs kmana2 :p), lokasi yg relatif jauh, bikin bnyk yg protes kejauhan bwt didatengin.hihii..

tp ya optimasi dari sgala hal yg ada, rmh skrg mrpk pilihan yg (sementara dianggap *bold!*) paling ideal :D. cencyuu masi ada cita2 bwt the dream house, tp bersyukur dulu dg yg dimiliki skrg (err,lunasin dl lebih tepatnya,hihi), sambil terus berupaya bwt sang dream house.. :) *nglirik celengan ayam yg masi kuyus*

Sondang
Sondang July 8, 2011 4:13 pm

ooooh gamma (dan suaminyaaa hihi)...arsitek calon rumah idamanku. sama-sama menabung (dan mengirit kayaknya) lah kita yaaakh.mudah-mudahan saat kemampuan bikin dream house ada, tarif kalian masih dalam jangkauan kami (ini niat minta diskon tepatnya hihi)

Sondang
Sondang July 8, 2011 7:34 am

ini dari gambarannya...kok kayak rumah aye sangath hihihi.jgn-jgn bumi asri-ers juga? *nuduh*
iya yuks sama-sama bikin rumah yang hangat, yang bikin kita sekeluarga betah di rumah, kalo betah di rumah kan hemat.. *emak-irit*

Ruliyani
Ruliyani July 7, 2011 11:16 pm

wow tfs ya mbak.. aku sekarang lg dalm masa2 penyesuaian di rumah baru, jauuuh dari rumah impian, akses masuk komplek naik turun belak belok, tetangga sekitar 90% seumuran mamaku.. rasanya tiap hari perjuangan.. perjuangan untuk menciptakan 'Rumah Yang Hangat' buat our lovely Lian..
aku skrg jd ngerasa ga sendiri lagi :) ternyata banyak yaa pasangan2 yg harus melalui tahap2 seperti ini..
tfs Mbak Sondang!!!! :D

Nidya
Nidya July 7, 2011 4:53 pm

sondang..bagus banget tulisannya. gwpun hanya mampu memandangi design rumah idaman dr website, cat rumahpun msh asli dr developer since 3 years ago,dapur impian msh terpendam..ah tp ngednger 2 anak berceloteh dirumah itu bikin gw mampu mengendapkan sesaat impian gw dan bersyukur krn kami bs berkumpul di rumah yg "nyaman" :)

Sondang
Sondang July 7, 2011 5:19 pm

aih makasih :D *blushing* err karena pengalaman nyata kali ye.
btw, punya impian kan bikin kita berusaha untuk lebih baik . Yang penting impiannya dibarengi rasa syukur gitu ya :D *enak diomongin rada butuh usaha menerapkannya*

shinta lestari
shinta lestari July 7, 2011 3:54 pm

gue pernah nulis yang sama ttg "home is where your heart is" di blog gue dulu. tapi waktu itu bukan refer ke dream home, lebih refer pas lagi bingung mau balik ke indonesia lagi ato gak heheh..

tapi emang kata2 itu tepat banget, it's the people that makes your dream home.. a home!

seneng banget di indonesia bisa beli rumah dengan halaman. disini cuma mampunya beli apartemen huhuu...

eh ngomong2 SIM, SIM gue udah abis dong, ga bisa diperpanjang krn baru sadar udah abis masa berlakunya, 2 tahun kemudian! *halah*

Sondang
Sondang July 7, 2011 5:17 pm

di sini apato mahal shiin... model yang studio gitu ukuran kecil *bangets* sekarang udah 180 juta. gleks ya, padahal dua tahun lalu teemnku masih bisa beli rumah harga segitu. Oh iya, sim-ku yang dah expired dijadiin pembatas buku :p