Orang Ketiga

Oleh Jihan Davincka pada Senin, 08 September 2014
Seputar Our Stories

Hidup di kota-kota besar di Indonesia, kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga sulit untuk ditampik. Orang ketiga yang saya maksud disini adalah para embak dan bibik, yang saya pribadi lebih suka menyebutnya sebagai asisten rumah tangga. Dari kecil, saya sudah terbiasa dengan kehadiran si orang ketiga ini. Ibu saya, dari siang sampai sore ikut menjaga kios menemani bapak yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Sentral. Ibu juga punya usaha kecil-kecilan menjahit gorden. Bukan sekadar mengejar eksistensi semata, punya tujuh anak sementara mereka berdua pendidikannya pas-pasan memang harus ekstra mencari nafkah. 

Setelah tinggal di rumah sendiri, saya akhirnya memiliki asisten. Terlebih ketika suami merantau sendiri ke Jeddah. Hampir setahun saya tinggal bertiga saja bersama anak dan si mbak di rumah. Macam-macam perangai para asisten RT yang dulu pernah bekerja di rumah. Mulai dari ratu drama yang punya pacar, rajin pula membawa pacarnya ke rumah. Sampai asisten RT yang minta izin mau salat tarawih dengan dandanan menor dan ...high heels! Kata siapa asisten zaman dulu tidak aneh-aneh?

[caption id="attachment_100158" align="alignnone" width="267" caption="image: www.freedigitalphotos.net"][/caption]

Sikap periang dan hobi bergosip nan kepo (hahaha) tidak serta merta saya ganti jadi sok galak dan menjaga jarak. Saya sering mengobrol dengan mereka. Yang anak gadis saya goda, "Dah punya pacar belum?". Yang sudah menikah, saya tanya-tanya, "Mbak, dulu ketemu suamimu gimana ceritanya?"

Sempat sampai empat kali berganti asisten dalam tiga bulan saja, bolak balik berjodoh dengan asisten aneh-aneh. Saya pikir, saya kurang baik apa coba? Apa saya selama ini terlalu 'lemah' dalam urusan menjadi 'nyonya'? Sempat ingin mengadopsi gaya 'kepemimpinan' baru seperti yang dianut sebagian tetangga: tegas-galak-menjaga wibawa dengan menjaga jarak. Tetapi Ibu selalu menghibur saya, "Sabar. Ini kan masalah jodoh-jodohan. Masa gara-gara ketemu yang model begitu, kita mau ikut-ikutan enggak benar?"

Lalu, datanglah Mbak Sum.

Mbak Sum datang saat saya sudah bete gonta-ganti asisten terus. Untuk kesabaran itu, mungkin Mbak Sum itulah salah satu berkahnya. Orangnya telaten, asyik diajak mengobrol, jago masak, tidak segan-segan bercanda sama Abil, tenaga kuat dan... serba bisa. Dia bahkan bisa memperbaiki keran bocor dan paham tentang beberapa alat pertukangan. Sigap membantu saya yang panik kala mesin air mati. Maklum, sedang tidak ada suami di rumah.

Waktu itu pun, saya juga kesepian di rumah. Biasanya sibuk di kantor, sekarang di rumah sendirian. Tetangga-tetangga jarang ke luar rumah. Mau main ke rumah mereka, segan. Jadilah saya akrab dengan asisten-asisten RT para tetangga. Tiap sore ikut ke luar bermain bersama anak sulung saya. Masih beranak satu kala itu. Kalau si kakak sudah asyik dengan teman-temannya, saya pun asyik ngerumpi bersama para embak.

Teman saya pernah bertanya, "Gak nyambung 'kan,  mengobrol sama mereka?"

Ya direka-reka saja topiknya. Masa mengobrol tentang diskon di mall atau soal arisan yang jelas-jelas mereka tidak tahu. Sama-sama perempuan, kan? Hal-hal umum seperti anaknya berapa, umur anaknya berapa, saudaranya ada berapa, tinggal di daerah mana, daerah itu tepatnya di mana bisa jadi pembuka pembicaraan. Dari obrolan ringan begini bisa mengalir begitu saja. Asal menempatkan mereka sebagai teman mengobrol sehingga tidak merasa ada jarak karena tidak selevel.

Saya menghindari obrolan yang merembet ngomongin majikan masing-masing. Lebih baik kalau  kita yang yang aktif bertanya hal-hal menyangkut mereka di luar urusan majikan. Dari situ jadi banyak belajar. Mengingat saya sebenarnya kurang suka ditinggal suami.

Mereka juga ditinggal suami, dalam artian dicerai atau disia-siakan. Sementara saya, walau suami sedang jauh, saya tidak kekurangan materi. Suami mereka pergi, anak ditinggal bersama mereka. Kadang saya tak habis pikir, bagaimana mereka yang digaji ratusan ribu rupiah bisa mengongkosi anak-anaknya yang bisa dua bahkan tiga orang. Hebatnya lagi, mereka berceloteh biasa saja. Seakan hal itu bukan hal yang berat.

Lama-lama untuk asisten RT yang usia remaja dan suka sibuk main ponsel saat menjaga anak majikan, saya sedikit memaklumi. Padahal dulu juga suka kesal sih. Terpikir lagi: ah, saya pun pernah muda. Beruntung sekali hidup saya, di usia 17 berseragam sekolah dan bermain dengan teman-teman sebaya. Bisik-bisik sambil cekikikan kalau kecengan lewat.

Sementara mereka? Sudah harus mencari nafkah. Bukan dengan duduk manis di depan komputer dan berbaju rapi. Tetapi dengan menyuapi anak orang, menggosok baju dan menyikat kamar mandi yang tidak mereka pakai, mengepel lantai rumah yang bukan milik mereka. Seringnya rasa galau tiap melihat ibu-ibu masa kini pakai tas bagus dan dandanan keren seketika luntur setelah mendengar kisah mereka,

"Ini lho Bu, cari celana kayak yang dipakai tentara gitu. Yang loreng-loreng. Di Ramayana masak 20 ribu, mahal sekali! Mau nunggu pasar senggol di kampung saja nanti pas mau lebaran."

Saya sibuk memikirkan merek-merek tas yang mungkin mencapai jutaan, mereka diresahkan oleh celana motif army buat anak di kampung yang harganya 20 ribu rupiah!

Saya jauh dari suami, mereka jauh dari suami dan anak-anak sekaligus. Duh, tidak terbayang kalau harus berpisah dengan anak-anak? Pisahnya bukan karena harus training ke luar kota atau ke luar negeri? Karena harus mengais rezeki di tempat jauh yang entah harus dilakoni sampai berapa lama.

Saat akhirnya pindah ke Jeddah dan melihat banyak TKW di sana, saya tidak berbagi keheranan yang sama dengan sebagian teman yang berpikir, "Heran ya, sudah tahu bakal disiksa kok pada nekat mau ke Arab? Sudah pada hilang akal?"

Dengan penghasilan rata-rata di tanah air mungkin hanya mencapai satu juta rupiah dan harus menghidupi dua anak di kampung, walau menurut mereka bisa diberi makan sayuran yang tumbuh di halaman rumah, bagaimana bisa membawa para ananda lepas dari lingkaran seperti itu? Bagaimana menjanjikan harapan lebih baik? Gaji per bulan dengan kondisi seperti itu untuk menyekolahkan dua anak sampai perguruan tinggi? Kalau anaknya pintar, kalau anaknya biasa-biasa saja? Bisa ditebak, saat dewasa nanti mereka akan menerima tongkat estafet yang sama, berlari di lintasan yang sama yang pernah ditakdirkan untuk orang tua mereka.

Para 'majikan' di tanah air juga tak mudah jika harus menggaji mereka berjuta-juta. Kalau gaji 'majikan'nya berpuluh juga, mungkin masih bisa. Kenyataannya, yang berpenghasilan di bawah sepuluh juta sebulan pun tak lepas dari campur tangan kebutuhan akan orang ketiga ini bukan?

Untuk penghasilan yang lebih, salah satu jalan yang mereka tempuh adalah ... merantau ke luar negeri! Sepahit apa pun nanti yang akan dihadapi, mereka sadar bahwa bertahan di dalam negeri tak selalu menjadi pilihan terbaik. Kalau mereka bodoh dan mudah ditipu ya kembali lagi ke tanah air dengan gaji standar per bulan tadi. Lingkaran setan.

Doakanlah sebagian dari mereka yang masih berjuang untuk memaksimalkan rezeki di luar negeri. Ikhtiar terkecil yaitu berdoa. Tahun 2013 silam, sekitar puluhan ribu TKW ilegal terlunta-lunta menanti nasib akibat masalah amnesti di Arab Saudi. Semoga Allah melimpahkan kesabaran dan membayar kesabaran ini kelak untuk masa depan ananda tercinta. Tak didapat di dunia, Allah tak pernah mengingkari balasan akhirat.

Berurusan dengan para asisten RT memang tak selalu mudah. Sekali waktu, kita tergelincir dan berpikir, "Dibaik-baikin, eh dia malah  ngelunjak. Mending gue jutekin sekalian". Siapa 'majikan' siapa 'embak' bukan kita penentunya. Bersyukurlah takdir membawa kita sebagai posisi pemberi gaji.

Semoga pengalaman berkali-kali diberi cobaan mendapat asisten rumah tangga yang alih-alih membantu malah membuat stress tidak membuat karakter kita ikut runtuh, ya. Sering mendapat asisten yang kurang handal jangan sampai membuat kita mengubah standar kebaikan yang telah susah payah dibangun dan diajarkan untuk anak-anak kita. Seperti kutipan berikut ini dari Bunda Theresa: "The good you do today, people will often forget tomorrow. Do good anyway".

 

Jihan Davincka
Jihan Davincka

Simply a mom of 2, Nabil and Narda. 100% Buginese. Since 2009, living abroad along with her husband. Having many tremendous experiences from Tehran (Iran), Jeddah (Saudi Arabia) and now in Athlone (Ireland).

15 Komentar
Erly Silalahi October 24, 2014 10:13 am

Nice sharing :) sy termasuk orang yg punya pengalaman seperti mba jihan. Sekarang anak sy sudah berumur 1y5mos dan ini adalah art yg keempat..hehe..saya termasuk majikan yg ga pernah marah dan bahkan menurut tetangga2 saya terlalu lembek. Tapi sama seperti yg mba jihan sebutkan, jangan lah kebiasaan baik yg sudah tertanam sejak lama menjadi luntur hanya agar kita sama seperti orang kebanyakan..semoga ART sy yg sekarang awet seawetnya :)

deity September 21, 2014 11:03 pm

nice share.... miris yaa, kehidupan asisten RT kl diperhatikan, aq jg punya asisten RT yg sering curhat, tentang anak dan suaminya, sedih tapi yaa qta ambil hikmahnya aja dan selalu bersyukur

Eka Gobel
Eka Gobel September 20, 2014 11:14 pm

seneng deh, baca artikel2nya jihan.
iya ya, kalau denger cerita2 tentang ART, ada2 aja dramanya.
saya sendiri, sudah 4 tahun ini gak pake ART yg menginap. hanya sesekali dalam seminggu, ada mbak yang bantu2 untuk setrika. itupun suka2 dia aja mau datang utk bantu2 kapan, krn saya juga bayar dia pervisit. jd ga terlalu dipusingkan dengan drama ART.
tfs ya, jihan. jadi pengingat utk kita semua utk selalu bersyukur dan berbuat baik sama siapa saja.

Retno Aini
Retno Aini September 12, 2014 4:44 pm

TFS yaa Jihan :) Waktu masih tinggal di rumah ibu-ayah, sy ngerasain juga sejuta kisah helper yg pernah kerja di rumah... Dari yg helper model jaman dulu yang setia bgt, trus ganti yang abege, ganti yang eks-tkw dan ternyata di kampung punya bisnis kursus komputer & salon, ada yg kabur sambil bawa kunci rumah, ada yang mukanya mirip Asmir*nd*h, sampai ada yang minta2 buat nggak dipulangin biar nggak dikawinin xD
sedrama2nya kisah helper ini semoga bisa selalu jadi pengingat buat kita juga supaya banyak2 bersyukur.

musdalifa anas
musdalifa anas September 12, 2014 10:12 am

mama Jihan selalu suka baca artikelnya, terima kasih ya sudah mengingatkan.
alhamdulillah gak pernah terlalu "drama" dengan ART. benar, kalau kita memperlakukan orang dengan baik dan bijaksana, kita juga akan menerima hal yg serupa. TFS mama Jihan :*