Race, Celebration, and Teachable Moment

Oleh Nisa Faridz pada Kamis, 06 Juni 2013
Seputar Expert Explains

Saya bukan avid runner yang seringkali mengikuti race. Di Jakarta saja, saya baru tiga kali ikut race, dan jaraknya pun hanya 5K dan 10K, jadi saya tidak mau membandingkan race ataupun pesta lari di Jakarta dengan apa yang saya ikuti kemarin, di Albany, sebuah kota di New York State tempat saya berada sejak hampir setahun yang lalu. Tidak adil untuk membandingkannya, karena mungkin saja event lari yang saya ikuti di Jakarta memang bukan event yang “terbesar” di kota itu, sementara kemarin bisa jadi adalah event lari terbesar untuk PEREMPUAN di wilayah upstate New York.

Perempuan. Karena event ini memang khusus untuk perempuan, namanya saja “Freihofer’s Run for Women”. Freihofer’s adalah perusahaan bakery lokal di wilayah Albany, yang sudah berdiri sekitar 100 tahun. Mereka menggelar acara lari setiap tahun, dan tahun ini adalah tahun ke-35 dan juga tahun pertama saya mengikutinya. Pembawa acaranya bilang sih tahun ini memecahkan rekor peserta terbanyak, lebih dari 5000 peserta, yang termuda berumur 6 tahun dan tertua 81 tahun.

Freihofer’s tidak cuma menggelar 5K, tetapi juga mensponsori race walk (jalan cepat) national championship. Jadi hiburan pagi adalah nonton atlit-atlit jalan cepat 5 km, kali ini ada laki-lakinya juga (karena bukan acara-nya Freihofer’s tetapi acara nasional). Dan, dalam 22 menit, seorang atlit perempuan yang mewakili USA untuk Olimpiade yang lalu, memecahkan rekor nasional jalan cepat. Kudos!

Selain 5K yang saya ikuti, ada juga Junior 3K dan Kids Run, dan community walk. Saya baru kenal dengan konsep “community walk”, tetapi mungkin tidak saya bahas dulu di sini, tetapi di posting yang lain supaya tidak terlalu panjang.

So I participated in 5K. Nervous luar biasa. Dua tahun lebih tidak terbiasa lari, karena terlalu banyak “mengalah” pada persiapan kuliah. Target saya pribadi adalah finish. Tanpa target waktu di bawah sekian menit. No, I didn’t want to be too hard on myself. Tantangannya adalah panas yang menyengat (setelah lebih dari 6 bulan mengalami dua cuaca: dingin dan dingin sekali), tanjakan yang aduhai, dan shin splint yang melanda tiga hari sebelumnya. Tapi di depan saya seorang peserta pakai kaos, yang tulisan di punggungnya benar-benar ditujukan untuk saya, “I am stronger than my excuses.”

It was super fun. Beyond my imagination. Mungkin karena saya belum pernah ikut race selain di Jakarta, jadi ngga tahu bagaimana serunya. Saya lari 5K dengan senyum yang senantiasa mengembang. Sakit tulang kering kambuh di kilometer 2.5, tetapi saya ngga bisa berhenti senyum. Kenapa? Soalnya saya diajarkan bahwa “tidak sopan kalau orang tersenyum, menyapa, melambai, dan kamu tidak membalas.”

Sepanjang jalan, penonton cheered us, banyak yang membawa “klenengan sapi” (lonceng) dan membunyikannya untuk memberi semangat. Sepertinya warga benar-benar keluar rumah untuk menyambut kami. “Great work, ladies! I know it’s hot but you’re so much hotter!” siapa yang ngga pengen ketawa dengernya, kan.

Anak-anak kecil membawa poster: “make way for my mom.” Dan mereka mencari-cari di mana ibunya, diantara ribuan pelari. “My sister runs for me. Be kind to her!” demikian tulisan di poster yang lain, yang dibawa oleh seorang anak perempuan yang duduk di kursi roda.

Sepanjang jalan, ada 3 band yang bernyanyi untuk kami, di atas panggung kecil, di kilometer 1, 3, dan 4. Seolah-olah mereka merayakan pencapaian pelari untuk sampai ke titik itu. People cheering, singing, it was a celebration for many.

Kami lari sampai masuk ke taman kota, “Washington Park”. Dua orang perempuan menyambut dengan poster lain, “Hey Random Runners, you are rock stars!” dan dia pun terus berteriak menyemangati kami “You are awesome!” dan tentu saja kami yang mulai ngos-ngosan membalas dengan “Thank You” dan thumbs up. Beberapa anak kecil bahkan siap “high five” dengan kami.

I ran so slow, but who cares? They appreciate people who are striving for their finish line, and I was so proud to be there.

Maka tentu saja saya tetap tersenyum, walau kaki kanan saya nyaris tidak bisa terangkat karena tulang kering yang seakan-akan menjadi tongkat. Ini karena saya terlalu “maksa” latihan lari dalam 2 minggu. Ya setelah 2 tahun inactive. Bad idea. But the race wasn’t.

It was cute to see para Mama lari, sementara suami dan anak-anak menyemangati di berbagai sudut taman yang kami lewati. Dan luar biasanya lagi, banyak juga yang tidak sedang menunggu ibu/istri/anak/saudara/teman, tetapi tetap menyemangati “random runners” seperti saya ini. “Keep running, there’s no more climbing after this,” demikian ujar seorang kakek kepada saya dan teman-teman yang memasuki 800 meter terakhir. He could read our minds.

Setelah sampai finish dan bertemu kembali dengan dua supporters hebat dari Indonesia (haha) yaitu suami saya dan seorang teman di sini, hal yang pertama saya ceritakan adalah: “Ada band. Ada klenengan sapi. Ada poster-poster. Ada anak-anak yang sibuk bantu bagi air minum, langsung dari rumahnya.”

I didn’t care about my shin that much. Setelah duduk, baru deh…”ya ampun kaki aku sakit banget!”

Sepanjang jalan, dan di seluruh acara kemarin, saya menyaksikan bagaimana event lari menjadi “teachable moments”. Maaf ya kalau saya sangkut pautkan ke urusan pendidikan, karena itu satu-satunya bidang yang saya bisa mengerti lebih baik (dibandingkan isu kaki saya ini). Bagaimana kita – orang dewasa – mengajarkan anak-anak untuk menghargai orang lain yang sedang berusaha, sekaligus memberikan kesempatan kepada mereka untuk memberikan moral support pada siapapun, yang sedang berjuang. Saya melihat banyak anak-anak kecil yang ikut berteriak memberi semangat pada orang yang tidak dikenalnya, karena orang tua mereka melakukan hal itu, karena race seperti ini memberikan kesempatan untuk itu.

Saya juga sempat bertemu tiga-empat orang anak SD, mungkin kelas 2 atau 3, yang lari bersama pelatih mereka. Di tengah jalan anak-anak mulai letih bahkan untuk berjalanpun mereka mau nyerah. Si pelatih berkata, “no one says this is gonna be easy. But we can do it!” dan salah satu mereka menjawab: “but it sounds very easy.” Pelatihnya pun tertawa dan berkata: “I know, that’s why it will feel good when we reach the finish line.

Sulit sekali mengajarkan value dari “berjuang” kalau anak tidak langsung merasakannya. Saya percaya bahwa untuk belajar karakter (tekun, kerja keras, respect, dsb.), ruang kelas di sekolah tidak punya cukup moment untuk mengajarkannya.

“Ikut race bukan karena ingin menang, dapat hadiah, atau jadi juara” adalah satu prinsip yang penting, yang menjadikan race seperti kemarin sebagai moment untuk mendidik. Terus terang saja, sejak awal saya ikut race, masih ada teman yang bertanya: “menang ngga, Nis?” OMG, kalau cita-cita saya ikut race untuk menang dan naik podium sih mendingan ngga usah deh. Soalnya ngga mungkin lah bisa juara kalau saya masih tetap dengan porsi latihan, gaya hidup, dan prioritas saya. Kalau mau jadi atlet ya ngga akan dong berusaha begadang demi tugas kuliah.

Kalau yang penting adalah juara dan mengalahkan orang lain, maka ngapain juga menyemangati orang-orang yang berlari lambat, ngga penting banget si announcer dan kamera menyambut finisher setelah 3,102 orang sudah finish duluan (ya, itu achievement saya berdasarkan data mereka). Kalau orientasinya juara, apa gunanya ngos-ngosan sampai ke finish setelah podium jelas sudah terisi orang lain. Tetapi berjuang bukan sekadar masalah menang. Berjuang adalah menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya, secara terhormat (fair play, tidak curang) semaksimal mungkin, mengalahkan “excuses”.

Lagi-lagi saya tidak mau membandingkan antara race di Jakarta/Indonesia dengan yang kemarin. Satu race saja tidak bisa jadi patokan, memang. Tetapi terus terang race kemarin adalah race yang terindah, bukan karena cuaca atau langit kota ini yang minim polusi, bukan karena taman kota yang menyenangkan. Race tersebut berkesan karena merupakan race pertama saya di tempat dan budaya berbeda, dan race tersebut benar-benar “celebration of women” yang berjuang. Seorang Mama berlari dengan kaos bertulisan “I am a mother. I run everything.” You do. And we celebrate that.

*info tentang Freihofer's Run for Women bisa diakses di http://www.freihofersrun.com/index.htm

13 Komentar
niniek rofiani
niniek rofiani June 12, 2013 11:21 am

it is really an inspiration for me. sdh lama nggak lari. (menengok sepatu yang hanya dipake 2 kali) hiks...ngena banget tuh "I am stronger than my excuses"

Fitrasani Helmi
Fitrasani Helmi June 11, 2013 11:06 am

makasih mbaak artikelnya bagus banget.. gak kerasa kok saya malah terharu berkaca2 seperti membayangkan ikut race itu.. mengingatkan saya juga bahwa race bukan sekedar berjuang untuk diri sendiri tapi juga belajar menghargai perjuangan orang lain... jadi tambah semangat lari

Chrisye Wenas
Chrisye Wenas June 10, 2013 5:54 pm

seru banget yaa race di sana dan suka banget supporternya banyak :) love the teachable moment... hiks udah lama deh ngga ikut race karna belum boleh ama dokter :( eniwei, tfs ya mba...

WiwiT
WiwiT June 10, 2013 3:39 pm

Tulisannya kereeennn... love this quote "Berjuang adalah menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya"
Very inspiring!

Siska Knoch
Siska Knoch June 10, 2013 6:13 am

artikelnya keren banget!! kebayang seru dan terharunya lg capek2nya terus ada yg ngasih support dari mulai teriakan, lonceng ampe posters :))