Bulan Juli tahun ini, sangat spesial bagi saya karena novel Sabtu Bersama Bapak yang ditulis oleh suami saya, Adhitya Mulya, pada 2014, tayang mulai 5 Juli 2016.
Novel ini sudah 22 kali dicetak. Yang saya ingat, saat suami menulisnya, Sabtu justru dia tidak bersama saya dan anak-anak. Karena kami tinggal di apartemen, dengan ruang yang terbatas suara gaduh anak-anak bisa memengaruhi konsentrasinya. Jadi, setiap Sabtu dan Minggu, suami mengunci di kamar atau justru menulis di luar rumah. Saya mengerti dengan keadaan ini. Bercerita adalah passion suami dan salah satu caranya adalah dengan menulis novel. Saya tahu ini penting bagi dia, maka saya dan anak-anak mendukung dan mengerti saat suami menulis novel ini.
Sampai akhirnya ada kabar gembira bahwa salah satu PH tertarik untuk mengadaptasinya ke layar lebar. Proses shooting pun dimulai bulan Agustus 2015 selama tiga minggu di Indonesia dan di Paris, Prancis. Lalu hampir satu tahun kemudian, film Sabtu Bersama Bapak pun siap tayang di layar lebar menemani libur Hari Raya tahun ini.
Mungkin terkesan subjektif karena posisi saya adalah istri penulis, tapi sejujurnya saya sangat bangga atas hasil karya suami. Dalam film ini, suami pun sekaligus sebagai penulis skripnya. Saya ingat ketika reading dan shooting, saya bisa merasakan pujian tulus dari para pemain akan skrip yang ditulis suami yang menurut mereka sangat baik. Alhamdulillah, kerja keras suami diapresiasi dengan baik.
Film Sabtu Bersama Bapak adalah projek kerjasama ke dua antara sutradara Monty Tiwa dengan Adhitya Mulya (sebelumnya Test Pack dan segera tayang Shy Shy Cat). Saya sudah lebih dari 3 kali menonton filmnya sebelum premiere dan rasa yang saya dapatkan masih sama, dalam dan membuat saya ingin menjadi orangtua yang lebih baik lagi dan membuat saya semakin menyayangi orangtua saya. Menonton film ini sangat dekat dengan hati kita yang menontonnya.
Bagi saya, para pemain memberikan hati dan kemampuan terbaiknya di film ini. Sama seperti novelnya, di film Sabtu Bersama Bapak juga terdapat petikan pesan-pesan Pak Gunawan (Bapak) yang disampaikan dengan cara yang baik, tidak menggurui atau sok pintar. Pesan yang memang biasa disampaikan oleh Bapak khususnya, orangtua kita.
Dalam petikan novelnya:
1. Menjadi panutan bukan tugas anak sulung— kepada adik-adiknya. Menjadi panutan adalah tugas orangtua— untuk semua anak.
2. Harga diri kita tidak datang dari barang yang kita pakai. Tidak datang dari barang yang kita punya. Di keluarga kita, nilai kita tidak datang dari barang. Harga dari diri kita datang dari dalam hati dan berdampak ke orang luar. Bukan dari barang/orang luar, berdampak ke dalam hati.
3. Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling mengisi kelemahan karena untuk menjadi kuat, adalah tanggung jawab masing- masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain.
4. Istri yang baik tidak akan keberatan diajak melarat. Tapi suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat.
Setiap orang belum tentu menjadi Bapak, tapi setiap kita pasti mempunyai Bapak.
Libur Lebaran kmrn nonton filmnya, dan.. Senaang :)
Walau ada cerita yg sedikit beda dr buku tp tetep maknyess di hati. Selamat ya Teh Ninit n Kang Adhit! Terima kasih banyak atas karyanya..
Saya pun terkesima dgn akting Teteh n Akang xixixi
teh ninit...
belum sempat nonton filmnya nih. Penasaran.
Kl bukunya sdh dibaca berkali2 & suami ku suruh baca, katanya dia byk belajar dr cerita "Sabtu Bersama Bapak".
#RinduAyah :')
belumm nontonnn weekend rencananya
Jadi kangen Papa :(
Dulu waktu baca bukunya suka di temenin sama papa di coffeeshop.. besok pas nonton pasti mewek banget deh,huhuhu..