Alhamdulillah, sejak menikah di tahun 2008. Empat bulan kemudian saya hamil. Senang pasti, walau jujur dirasa kami merasa khawatir karena tabungan dan ilmu seputar kehamilan masih minim sekali.
Di awal kehamilan saya merasa mual-mual serta tidak nyaman, tetapi semuanya terbayar saat melihat jagoan kecil bergerak dan sehat.
Kontrol setiap bulan, membaca buku-buku kehamilan serta banyak-banyak berdoa tampaknya masih belum bisa membuat saya tenang dan yakin bahwa saya bisa menjalani semua ini. Di trimester ketiga, saya jadi sering sakit. Mulai dari sakit gondongan (kelenjar tiroid yg membesar dengan tiba-tiba), gatal-gatal disekujur tubuh yang membuat saya harus membalur bedak diseluruh tubuh tanpa terkecuali—untung saya pakai kerudung, jadi yang lain tidak bisa melihatnya.
Capek harus bolak balik dokter padahal kata beliau tidak ada apa-apa, saya mulai mengoreksi diri, sepertinya “sakit” ini karena terlalu banyak pikiran. Takut tidak bisa jadi ibu yang baik. Takut nanti tidak bisa mengatur pekerjaan dan keluarga. Takut saat melahirkan. Khawatir nanti ibu mertua berpikir saya tidak bisa mengasuh cucunya dengan baik. Bingung bagaimana cara mengatur keuangan dengan pengeluaran besar di depan mata... dan lain-lain. Yang ternyata semua ini saya benam sendiri, tidak berani saya ungkapkan.
Karena merasa sungkan, saya menulis semua list ketakutan dan kekhawatiran saya di sebuah buku, lalu sesaat sebelum berangkat kerja saya berikan buku itu kepada suami. Saya sungguh tidak tega membebani dia dengan sebuah list yang terlihat “cemen” karena saya tahu ketakutan saya sungguh tak beralasan. Saya punya suami, keluarga yang sangat support atas apapun. Tetapi mau tidak mau saya harus membebaskan “beban” ini untuk ditanggung berdua, seberapapun bodohnya masalah itu terdengar.Di sekitar minggu ke 34, saya melakukan kontrol 2 mingguan, tiba-tiba dokter menginformasikan bahwa terjadi kontraksi. Saya tentu kaget karena saya tidak merasa adanya perubahan yang berarti. Malam itu tanpa persiapan apa-apa saya harus masuk rumah sakit untuk diobservasi. Karena kandungan saya masih belum siap dilahirkan, maka tim dokter berusaha supaya janin bisa tenang, jangan keburu lahir dulu karena berat badan janin juga belum memenuhi syarat. Saya diminta bedrest 2 hari.
Pulang Minggu sore, tiba-tiba Senin siang ketuban saya pecah! Oh my God, ada apa ini? Perjalanan menuju RS di hari Senin siang sungguh terasa lama. Sampai di RS, positif saya sudah bukaan 3! Yes, saya panik. Saya merasa seperti memasuki terowongan gelap, tidak tahu harus berbuat apa.
Sambil menunggu pembukaan di ruang bersalin, saya kembali mengingat pelajaran saat senam hamil sambil berdoa sebanyak-banyaknya.
Selasa, 14 Juli 2009, Jam 1dini hari. Saya merasakan kontraksi yang semakin hebat. Waktunya beraksi! Jantung terasa berdebar. Bismillah, subhanallah, saya berdoa tanpa henti.
Saat dokter datang saya semakin sadar, ok this is it! Akhirnya setelah menanti lebih dari 8 bulan, saya bisa bertemu jagoan kecilku. Tidak juga keluar, saya kembali mengejan sesuai dengan perintah dokter& suster. Saat akhirnya Fatih keluar saya melihat rambutnya yang keriting dan tangisannya yang kuat. Setelah IMD, saya langsung lemas.
Saat itu, saya merasa tak begitu jelas apa yang terjadi. Baru belakangan saya tahu bahwa saya mengalami pendarahan. Dokter berusaha untuk membersihkan tetapi darah tetap keluar dengan deras. Keluarga panik karena ternyata stok darah A yang kami kira sudah ada, tidak tersedia.
Dokter memutuskan untuk melakukan operasi kecil untuk memasukkan tampon kedalam rahim sambil menunggu pendarahan selesai. Saya di bius total.
Entah apa yang terjadi, yang ada di ingatan saya, ibu saya sudah ada di sebelah saya sambil berdoa dan menangis. Saya yang tadinya tidak sadar tentang apa yang terjadi jadi ikut sedih.
“Ada apa, Ma?” kata saya lemas.
Mama bilang, “Nggak ada apa-apa. Kamu berdoa sama Mama yuk, jangan tidur ya. Mama tahu kamu ngantuk, tapi kamu enggak boleh tidur.”
Dan saat itu juga saya diangkat dibawa dengan ambulance ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo.
Sesampainya di sana, di sebelah saya hanya ada ibu mertua (ternyata suami dan Mama sedang tunggang langgang mencari stok darah A di PMI). Seorang dokter perempuan (yang sampai sekarang saya tidak tahu siapa namanya) langsung menangani saya dan memasukkan tangannya kedalam rahim saya.
Tanpa bius tanpa tunggu waktu, dia membuka kembali jahitan dan melakukan pembersihan didalam rahim saya. Kurang lebih dari jam 4 sampai jam 5.30 pagi, saya di “bersihkan”. Saya hanya bisa berdoa lirih sambil menahan sakit yang teramat sangat. Saya kangen suama saya dan terlebih lagi saya kangen anak saya, bayi yang baru 15 menit saya lihat, sekarang berada di rumah sakit yang lain. Sungguh saya harus bertahan! Saya tidak mau meninggalkan mereka berdua, begitu tekad saya.
Setelah selesai “pembersihan” selesai. Alhamdulillah saya bisa bertahan. Saya berada di kamar ICU sendiri tanpa keluarga yang boleh masuk. Sedih sekali rasanya.
Siangnya, Alhamdulillah saya bisa dipindah ke kamar inap. Setelah makan siang, saya ingat Fatih. Apa kabarnya dia? Saat saya sedang memikirkan dia, suster dari RS tempat saya sebelumnya, menelpon menawarkan untuk memberi Fatih susu formula. Saya mengiyakan tawaran suster karena saya belum tahu kapan saya bisa keluar dari RSCM. Saya kembali menangis, rencana saya untuk memberi Fatih ASI eksklusif buyar sudah. Saya merasa gagal. Suami menenangkan hati saya bahwa, yang penting sekarang saya harus sehat. Lalu saya ingat, ASI kan bisa di pompa! Setela pompa manual dibeli, saya kembali bingung, bagaimana saya bisa memompa jika ASI belum keluar sama sekali?
Saya lalu bertekad untuk keluar segera dari RSCM untuk bertemu Fatih.
Siang itu juga, saya belajar miring, duduk 15 derajat, duduk 30 derajat, duduk 90 derajat, lalu belajar berjalan. Tak mudah, sakit sekali. Tetapi saya memaksa. Sore itu juga saya minta keluar dari RSCM, setelah diperbolehkan oleh dokter. Kami segera pergi ke RS tempat Fatih berada.Alhamdulillah, malam itu saya bisa menimang Fatih. Saat dia menangis saya coba susukan ASI, tetapi ASI saya belum juga keluar. Dia menangis kencang, tak mau tidur—mungkin karena lapar, saya sedih tetapi saya biarkan. Saya peluk dia malam itu. Kami tidur berdua untuk pertama kalinya.
Alhadulillah, besok sorenya kami sudah bisa pulang ke rumah dan baru 2 hari setelahnya ASI saya keluar. Sejak itu sampai 7 bulan sesudahnya, saya tak berhenti memberi ASI untuk anak saya. Fatih Langit Andaru.
Ps: sampai saat ini saya masih berutang nyawa dengan dokter perempuan yang menangani saya di RSCM, entah siapa namanya.
Hebaaaat. Bener2 hormon ini ga bs nampung air mata...
hebat .....
sampe ga sadar, menitikan air mata nich bacanya ....
perjuangan seorang mama emang patut bgt diberi jempol ya ... emang ga terkira dech kasih mama itu ... sekarang setelah punya anak jadi merasakan gmn rasanya jd mama ya
cium ceprot untuk ade fatih dari milinka ...
Woww, saya sampai menitikkan air mata saat membaca tulisan mbak. Sedih sekali rasanya harus berpisah dengan buah hati terutama sejak awal kelahiran. Kebayang rasa bersalahnya kalo gak bisa memberi ASI. Semua orang bisa bilang "Harus ASI", tetapi kalau dihadapkan pada situasi yg sebenarnya asli gak tega membiarkan anak menangis teriak-teriak karena kehausan. Aku juga dulu setelah hari 3 anak kuning dan terpaksa di fototerapi, berat badannya turun lebih dari 10%, terpaksa saya kasih sufor.
Fatih sehat terus yaa, dapet salam dari Kinan..
Subhaalloh mbak.. Saya kebayang loh mbak ngilu dan sakitnya, juga sedihnya harus kasih anak sufor di hari2 pertamanya, juga ketika ASI belom keluar. Saya juga mengalami hal yang sama, ketika 3 hari pertama ASI saya g keluar, dan saya g tega ngeliat baby nangis kelaparan.. Alhasil di hari ketiga saya kasih sufor.. Berasa gagal menjadi ibu, disebabkan ketidaktahuan saya bahwa g semua ibu yang baru melahirkan dapat langsung mengeluarkan ASInya..
Salam sayang buat mas Fatih dari adek Adlan ;)
baru sempet baca sekarang, masya Allah merinding sekali..betapa menjadi ibu itu benar-benar perjuangan antara hidup dan mati ya..