Tiga Anak Sulung

Oleh Adhitya pada Selasa, 28 Januari 2020
Seputar Our Stories

Menjadi anak sulung itu, no doubt, tidak mudah. Kita semua tahu bahwa sudah menjadi kebiasaan bahwa anak sulung kerap harus tumbuh menjadi panutun adik-adiknya. Terkadang anak sulung membantu orangtua bekerja. Yang lebih jauh lagi, beberapa anak sulung tidak sekolah, membantu orangtua di sawah agar adik-adiknya dapat sekolah. Para adik menjadi insinyur dan si sulung tetap menjadi petani.

Tidak perlu sejauh itu, kita bisa lihat di kehidupan dekat kita sendiri. Masing-masing dari kita kalau nggak punya kakak sulung, ya jadi anak sulung itu sendiri. Sulitnya selain menjadi panutan adalah, harus sabar. Harus berbagi banyak hal dengan si kecil karena orangtua berpikir tidak perlu beli 2 barang yang sama untuk 2 anak yang beda. Tapi ada satu hal yang saya lihat jarang dibahas. Yaitu bahwa pembentukan karakter si sulung oleh orangtua. No doubt bahwa semua orangtua ingin mendidik anaknya dengan benar. Saya belum pernah bertemu orangtua yang niat mendidik anaknya dari kecil jadi orang jahat. Jika kita berangkat dari asumsi bahwa semua orang tua niat mendidik anak dengan benar, bermental baik, menjadi bibit yang unggul, lantas kenapa di dunia ini ada orang yang sukses dan ada yang tidak? Kenapa ada yang benar-benar menjadi bibit unggul, ada yang biasa saja, ada yang jadi tidak mandiri, dan malah ada yang menyusahkan orangtua? Padahal niat semua orang tua itu sama, mendidik anak mereka agar menjadi orang yang baik bagi masyarakat. Then there must be something wrong here.

Kemudian ada lagi pertanyaan. Jika memang semua anak sulung terdidik sabar, bermental teladan dan lainnya, lantas kenapa dari semua deretan pemimpin yang terkenal, tidak semua sulung? Deretan manusia-manusia luar biasa sepanjang masa lahir ada yang sulung, ada yang bungsu, ada anak tengah, malah ada yang anak tunggal. Kenapa tidak semua pemimpin di dunia ini anak sulung? Yang katanya terbiasa memimpin dan menjadi teladan dari kecil?

Untuk mencari jawabannya, saya ingin cerita masa kecil saya dulu ketika di Medan. Orangtua saya kerja di kilang minyak lepas pantai di Medan beserta 3 orang engineer lainnya. Kita sebut saja mereka Pak AA, Pak BB, Pak CC, dan ayah saya. Mereka semua diberi rumah berderet persis. Kita berbagi pekarangan belakang yang sama. Mereka semua juga sama, pengantin baru. Engineer-engineer yang baru lulus, diterima kerja dan ketika tahu bahwa mereka ditempatkan di Medan, langsung mengajak nikah pasangannya. Di tahap ini mereka masih sama. Bahkan mereka melahirkan anak sulung mereka di waktu yang berdekatan. Kemudian mereka melahirkan anak kedua dan ketiga. Keempat engineer ini sistem kerjanya adalah 3 minggu di oil rig dan 3 minggu di rumah. Dan di sini saya mulai bisa mengingat.

Pak AA
Pak AA mempunyai dua anak. AA sulung dan AA bungsu. Pak AA ingin mendidik disiplin pada mereka. Metode yang dia gunakan adalah mencambuk dengan ikat pinggang. Yang lain adalah sapu lidi dan rotan kalau tidak salah. Saya pernah main ke rumah Pak AA dan mendapati AA sulung menangis di sofa. AA bungsu hanya melihat dari kejauhan.

Pak BB
Pak BB mempunyai dua anak. BB sulung dan BB bungsu. Pak BB mendidik anak-anaknya dengan mengancam. Yang paling sering kena adalah BB sulung. Diancamnya macam-macam. Saya pernah main di halaman belakang dan mendapati BB sulung stres berat. Dan stresnya gak main-main. BB sulung mengidap kelainan saraf motorik di mana meski gak ada angin gak ada apa, dia kelojotan sendiri. Saya pernah bertanya kepada ibu kenapa BB sulung seperti itu. Ternyata karena stres. Umur kita di bawah 10 tahun by the way, waktu itu.

Pak CC
Pak CC punya 3 anak. CC sulung, CC tengah, dan CC bungsu. Saya melihat dia sabar dan mengayomi. Seakan sadar bahwa nggak banyak yang dia bisa harapkan dari anak kecil dan kenakalannya. Sering ajak diskusi, kasih perhatian. Dia jarang marah. Malah saya nggak pernah melihat dia marah, setidaknya ketika saya main sama anak-anaknya. Mungkin dia sadar bahwa setelah 3 minggu nggak ketemu, dia harus win back simpati anak-anaknya makanya dia gak ambil pusing sama sedikit kesalahan-kesalahan adolescent mereka.

Sepuluh Tahun Kemudian
Lama berselang dari masa kecil kita, keempat keluarga ini banyak yang pindah ke kantor pusat mereka di Jakarta. Kami masih sering bertemu kalau ada acara kantor Ayah. Tapi karena rumahnya jauh jadi jarang. Makin kami besar, kami makin lepas kontak.

Duapuluhlima Tahun Kemudian
Suatu hari kakak saya menikah dan Ayah mengundang semua teman lamanya ke resepsi. Saya excited banget karena anak-anak AA BB dan CC ini.
Dan ini yang saya dapatkan:

 

    1. Anak-anak Pak AA: AA bungsu sedang S2 dan sudah jadi kontraktor. AA sulung tergantung narkoba.

 

    1. Anak-anak Pak BB: BB bungsu yang masih SMA sudah bolak-balik Jakarta - Sao Paolo karena dia menjadi duta Unicef dalam sebuah world wide programnya. BB sulung kuliah saja seperti biasa dan itu pun katanya kesulitan berprestasi. Setalah 25 tahun ini, kelainan syarafnya masih ada.

 

    1. Anak-anak Pak CC: CC bungsu sekolah di Amerika. CC tengah memilih kerja di San Diego. CC sulung kerja di salah satu bank paling bergengsi di Indonesia.

 

Dari sini saya berpikir. Kenapa AA dan BB sulung memiliki kesulitan hidup? Sedangkan AA dan BB bungsu menjalani kehidupan yang saya anggap spektakuler. Ini berlawanan sekali dengan stigma yang hadir dalam kehidupan bangsa timur di mana kita kerap berpandangan:

 

    1. Si sulung anak yang mantep, mandiri.

 

    1. Si bungsu adalah anak manja yang gak bisa mandiri. Anak mami.

 

Sering kali dalam 20 tahun pertama hidup saya, dalam cincin sosial saya, ada saja yang bilang:

 

    1. "Lu bungsu sih, Dit."

 

    1. "Lu bungsu ya, Dit?"

 

    1. "Dasar bungsu! Gini aja capek."

 

Jawabannya adalah:

 

    1. Bungsu, dengan cepat belajar dari kesalahan kakaknya. Sementara kakaknya nabrakin mobil dan dimarahin sampe trauma oleh si bapak, si bungsu dengan cepat belajar "Oh, nabrakin mobil gak boleh." Dan ada banyak sekali hal-hal seperti ini di mana si sulung harus suffer dan si bungsu menuai pelajarannya. Sementara si sulung trauma dan kehilangan confidence untuk proaktif mencoba sesuatu lagi, si bungsu jadi well prepared dan malah penasaran pengen nyoba apakah dia bisa do better apa nggak.

 

    1. Orang tua cenderung tidak sadar bahwa dia bereksperimen dengan si sulung. Mau tidak mau, memiliki si sulung adalah pengalaman pertama mereka menjadi orang tua. Ketika mereka menemukan sulung melakukan kesalahan, 40% kemungkinan orang tua juga nggak tau anaknya harus diapain. Si sulung mecahin kaca dan digampar bapaknya. tapi setelah lama bapaknya sadar bahwa sulung jadi trauma. Dia insyaf dan berjanji tidak mengulangnya. Ketika bungsu mecahin toples, si bapak gak gampar. Sementara si bungsu termaafkan, sulung yang udah trauma digampar, juga sakit hati melihat perlakuan yang gak adil. padahal sang bapak udah insyaf juga udah baik. Serba salah.

 

Dan ada banyak sekali kejadian seperti ini dalam kehidupan adik kakak. Pak AA misalnya, AA sulung pada awalnya dididik dengan sangat keras. Lima tahun kemudian sepertinya Pak AA sadar bahwa metodenya salah sehingga approach pada AA bungsu sangat berbeda. Sedihnya lagi, Pak AA terkadang menyiratkan kekecawaannya bahwa Aa sulung -kasarnya nih- "produk gagal."
Padahal kalau saya lihat, kegagalan ada di pihak dia. Gimana nggak? Di saat AA sulung berumur 5 tahun, dimana dia mendefine benar-salah dari ajaran orang tua, dia jarang bertemu bapaknya yang ada di oil rig dan pulang-pulang di sabuk.

Orang tua juga berproses untuk menjadi dewasa. Orang tua hidup di dua jaman. Jaman dia jadi anak dan jaman dia jadi orang tua. Kedua jaman ini beda total. Masalahnya, ada beberapa orang tua yang anak sulungnya masuk usia didik kritis (masa dimana anak kecil mendefine benar-salah dari ajaran ortu -ini masa yang saya define sendiri ya, tidak tau di dunia psikologi ada apa nggak, yang jelas sarjana psikologi tentunya lebih tahu dari saya) orang tuanya masih hidup di jaman dulu.

Di setiap saat orang tua harus dihadapkan dengan pilihan kemungkinan yang tidak enak dan sadar tidak sadar pilihan yang mereka ambil membentuk mentalitas para anak dan yang menyeramkan bagi orang tua, sadar tidak sadar, mentalitas anak adalah bekal si anak untuk survive di kehidupan mereka nanti.

As for me and kakak saya, we grew up fine. Tapi memang ada yang saya pelajari dari bapak saya yang saya pilih untuk tidak melakukannya yaitu kerja di tempat remote, yang jauh dari keluarga.
Ibu pernah cerita ketika saya masih merangkak, kakak saya sudah bisa bicara. Suatu hari bapak pulang dari oil rig dan kakak bertanya pada ibu, "Mah, itu siapa?"

In the end, jadi orang tua itu adalah pilihan yang kesiapannya terkadang harus lebih dalam dari yang kita kira. Saya bersyukur punya masa kecil dan teman-teman yang dimana saya bisa menimba pengalaman agar saya bisa menerapkannya atau malah tidak diterapkan ke keluarga kecil saya ini.

Kategori Terkait


Tag Terkait

43 Komentar
Honey Josep
Honey Josep January 31, 2020 6:39 am

tfs kang Adhit, jadi pengingat saya terutama saat anak sulung beranjak remaja ini :)

Desy Wulansari June 30, 2011 2:05 pm

Wah artikel yang sangat bagus. Ini terjadi dengan kakak sulung saya sendiri dan kakak sulung suami yang menurut saya kurang tough dan kurang spirit of survival-nya. Untung kami sama-sama anak "pertengahan" jd bisa mempelajari apa yg sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan. Semoga perlakuan kita kepada anak kita akan lebih baik dengan berkaca pengalaman pada saat masa kecil. Bagaimanapun kita sayang pada orang tua kita, tetapi perlakuan dari orang tua kita dalam mendidik anak seharusnya bisa diambil pelajaran berharga, yang baik patut ditiru..yang tidak sesuai sebaiknya dihindari.

Feny June 23, 2011 6:36 pm

Ikutan comment yahhhh
Dalam salah satu teori psikologi, ada istilah favorable dan unfavorable outcome dari masing-masing susunan anak (sulung,tengah,bungsu). Hal ini bisa terjadi karena prinsip nature dan nurture atau interaksi antara individu dan lingkungan. Setiap individu dapat mempersepsi pengalamannya secara berbeda. Itulah mengapa didikan yang "keras" bisa membuat anak bermental baja atau justru stress.
Kenali anak, hayati anak, munculkan kesediaan untuk terlibat dengan anak adalah hal yang sangat membantu dalam melakukan pola asuh.
Nice article Kang Adit...populer namun berisi....

Devina
Devina June 23, 2011 2:31 pm

a very inspiring one...tfs y kang adit :)
aku anak sulung dari 3 bersaudara, adik2ku cowo semua dan alhamdulillah orang tuaku tdk mendidik seperti AA maupun BB tp jg ga terlalu CC, walo mamaku memang cenderung lbh keras dr papa dlm hal mendidik tp ga sampe bkn trauma scr psikologis dan skr setelah anak pertamaku lahir, aku mahfum knp seorang ibu lbh keras dlm mendidik anaknya dr sang ayah, mengandung dan melahirkan ternyata bnr2 pengalaman yg bkn aku pribadi merasa 'reborn'.

oia pengalamanku menjadi anak sulung mirip dgn mama slesta, aku sering dijadikan role model utk adik2, terkadang mereka jd sebal dan suka blg "kl uni aj ga bs, gmn kita..." atau "ya iyalah..uni kn pinter..bla bla..."
yg lucu walo aku sulung tp jarang dimarahin, apa krn aku perempuan y? pernah bkn baret mobil wkt baru belajar nyetir,tp g dimarahin eh kl adikku pasti diomelin,yah mungkin kl cowo dianggap lebih jago dlm dunia nyetir menyetir kali y

kadang aku senang tp jg suka risih dijadikan panutan, karena tiap individu berbeda dan punya keunikan masing2 jd g bs menyamaratakan apa yg diraih si kakak maupun yg dimiliki si adik bs diperoleh semuanya.

Sekarang aku sdg belajar jd seorang ibu, mudah2an aku n suami bs menjadi orang tua yg baik bagi Attila (almost 5 mos). Senangnya gabung di TUM, byk sekali sharing yg bermanfaat :)

Pinky Andryani
Pinky Andryani June 23, 2011 12:04 pm

Satu pelajaran lagi yang saya ambil setelah bergabung di TUM..
Thanks Kang Adit sudah memberikan ilmu baru menjadi orang tua yang lebih baik.