Bahaya Fetal Distress pada Janin

Oleh adhisti rahadi pada Selasa, 20 Juni 2017
Seputar Our Stories
Bahaya Fetal Distress pada Janin

It can happen to anyone of us.

Tidak terpikir dalam benak saya bahwa kejadian ini akan menimpa adik saya. Sepuluh hari sebelum HPL (Hari Perkiraan Lahir), adik saya mulai mengalami kontraksi. Pukul 9 malam, ia masih sempat kontrol dengan dokter kandungan dan dokter menyatakan kehamilannya sehat. Tengah malam, kontraksinya sudah tidak tertahankan. Maka, ia pun segera ke rumah sakit.

Masuk pukul dua dini hari, bukaan masih sedikit tetapi frekuensi kontraksi sudah sering. Sejak pukul dua dinihari, perutnya dipasang alat monitor detak jantung janin. Pemeriksaan ini dilakukan tiga kali dalam rentang waktu tiga jam, dan ditemukan bahwa detak jantung janin lemah, serta air ketuban sudah terkontaminasi mekonium. Akhirnya para bidan disana menyimpulkan bahwa adik saya mengalami fetal distress.

Fetal distress (gawat janin) adalah kondisi dimana janin tidak mendapat cukup oksigen. Dengan kondisi demikian, adik saya diminta untuk melakukan operasi caesar untuk menyelamatkan janin. Jam lima pagi, suaminya menandatangani surat persetujuan. Namun, operasi tidak kunjung dilaksanakan karena menunggu dokter anestesi. Adik saya sudah kesakitan luar biasa dengan dorongan janin yang makin kuat hingga akhirnya pukul tujuh bayi lahir normal dan dinyatakan sehat. Kami semua lega luar biasa, dan tidak lagi menggubris masalah batalnya caesar karena ketiadaan dokter.

Bayi ini dinamai Gesang Giri Akarbumi, dan langsung boleh satu ruangan dengan ibunya. Karena puting ibunya yang datar, Giri pun belum mampu sepenuhnya menyusu. Esoknya, dokter memperbolehkan ibu dan anak untuk pulang. Proses menyusui masih terhambat dan Giri menjadi sering menangis. Lama kelamaan suara tangisnya menjadi lebih melengking. Pada hari ketiga, mendadak matanya seperti tidak fokus. Antara kanan dan kiri berbeda titik pandang.

Sore itu, kami bawa ia ke dokter anak yang memeriksanya saat lahir. Diagnosis dokter, mata bayi memang belum fokus (walau saya yang sudah pernah melahirkan pun merasa apa yang dialami Giri berbeda), dan lemahnya bayi bisa jadi karena kedinginan, sehingga AC kamar sebaiknya dimatikan dulu. Meskipun demikian, dokter merujuk Giri untuk periksa ke spesialis jantung anak keesokan harinya.

Kami pun pulang. Malamnya, badan Giri melemah, ditandai dengan aktivitasnya yang berkurang, suhu badannya yang menurun sampai di bawah 36.5'C, dan timbul bercak biru di wajahnya. Adik saya dan suaminya pun segera membawa Giri ke IGD RSUP Dr.Sardjito (rumah sakit terbesar di Yogyakarta). Ternyata, kondisi Giri lebih gawat dari yang kami bayangkan. Ia dipindahkan ke NICU (Neonatal Intensive Care Unit) dan harus melalui serangkaian pemeriksaan untuk mencari penyebab sakitnya.

Dari dokter di RSUP Sardjito, kami mengetahui bahwa bayi yang dilahirkan dengan riwayat fetal distress seharusnya dirawat di NICU dulu dan tidak diperbolehkan pulang segera. Mata Giri yang saya ceritakan tadi, adalah salah satu bentuk kejang. Saya baru tahu bahwa untuk kejang, badan tidak harus dalam kondisi demam tinggi. Dan hal terakhir yang paling menyesakkan dada adalah, ketika janin mengalami fetal distress, janin harus SEGERA dilahirkan. Saya pernah bercerita pada dokter kandungan tentang kejadian ini, dan beliau menyatakan bahwa di RSKIA tempat ia praktek, bayi fetal distress harus dikeluarkan maksimal satu jam kemudian. Dokter anestesi pun standby. Sedangkan Giri lahir empat jam setelah diketahui bahwa detak jantungnya melemah. Apa akibatnya?

Hasil CT Scan menunjukkan bahwa hampir dua pertiga otak mengalami HIE (Hypoxic-ischemic Encephalopathy), ditandai dengan warna hitam. Ini menunjukkan tidak ada aktivitas otak alias sel-selnya mati karena terlalu lama tidak mendapatkan oksigen atau aliran darah.

Tidak bisa dibayangkan apa yang dirasakan adik saya dan suaminya kala itu. Antara kaget, sedih, dan kecewa pada pihak rumah sakit bercampur jadi satu, sementara mereka masih harus menginap di mobil demi mendampingi Giri di NICU, dan berusaha kuat melihat bayi mungil mereka ditempeli berbagai alat, jarum infus, dan selang. Kami, keluarganya, hanya bisa memberikan support dan doa, serta berusaha ikhlas dan menerima bahwa semua ini sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.

Hari ke-31, alhamdulilah Giri diperbolehkan pulang dengan jadwal kontrol rutin serta tes berkala untuk mengetahui perkembangannya mengingat dampak dari HIE. Bayi dengan tingkat HIE yang parah memiliki kemungkinan komplikasi jangka panjang, seperti learning disorders, delayed development, dan cerebral palsy. Karena itu, seminggu sekali sejak usia empat bulan, Giri rutin menjalani fisioterapi untuk melatihnya melakukan gerakan bayi sesuai milestones, melemaskan otot-ototnya, dan melatih responnya.

Saya sendiri melihat betapaadik saya dan suaminya menjadi orangtua yang sangat terampil dalam hal menstimulasi bayi, mulai dari berlatih pijat bayi, rutin membacakan buku, memperdengarkan murottal, membeli berbagai jenis mainan yang dapat melatih indera Giri, belum termasuk berbagai buku kesehatan bayi untuk tambahan ilmu mereka. Giri pun menjadi anak yang cepat merespon stimulus dari lingkungannya dan termasuk bayi yang ceria.

Kini, usianya sudah tujuh bulan dan sudah bisa tengkurap. Fisioterapi pun bertambah “menunya” yaitu memijat bagian dalam mulut untuk melatihnya mengunyah dengan benar karena ia sudah mulai fase MPASI. Sehari sebelum ulang tahun adik saya, di bulan Ramadhan ini, Alloh memberikan hadiah berupa hasil CT Scan terbaru Giri: sel-sel otak yang tadinya divonis “mati” ternyata bisa menumbuhkan sel-sel otak baru! Tidak ada lagi bercak hitam di otaknya. Alhamdulillah, kami bahagia sekali.

 

Meskipun demikian, efek dari HIE masih akan ada, yaitu microcephaly dan epilepsi. Tumbuh kembangnya akan terlambat dan tetap ada kemungkinan cerebral palsy. Jadi, Giri harus tetap distimulasi terus-menerus dan fisioterapi sesering mungkin untuk menghindari kemungkinan terburuk.

Dari sini, yang saya bisa sarankan untuk para mama yang sedang hamil adalah, pastikan dokter dan timnya ada di rumah sakit kapanpun kita membutuhkannya. Jangan ragu untuk bertanya ke dokter kandungan sehubungan dengan availability beliau menjelang HPL kita karena jika dokter berhalangan biasanya beliau akan merujuk dokter lain untuk menggantikannya. Kedua, pastikan rumah sakit yang mama pilih memiliki bidan yang kompeten dan ramah serta jam terbangnya tinggi, karena sebelum dokter membantu persalinan anda, bidan yang akan menangani anda sekaligus mengambil tindakan yang diperlukan.

Semoga kisah ini bermanfaat untuk para Urban mama. Mohon doanya untuk kesembuhan Giri ya!

 

 

(featured image credit: www.pexels.com)

7 Komentar
adhisti rahadi
adhisti rahadi July 4, 2017 8:06 am

Sama2 mbak Aini...aamiin terima kasih doanya :)

Retno Aini
Retno Aini July 3, 2017 6:03 pm

Terima kasih utk sharingnya ya, Adhisti. Bermanfaat bgt ini infonya buat para mama agar terbangun awarenessnya. Semoga Giri tumbuh sehat kuat & semakin bagus mengejar tumbuh kembangnya :)

adhisti rahadi
adhisti rahadi June 24, 2017 2:50 pm

Aamiin...terima kasih semua atas doanya yaa... :)

Cindy Vania
Cindy Vania June 21, 2017 1:49 pm

Terima kasih buat sharingnya ya mama Adhisti!
Semoga perkembangan Giri semakin bagus. Titip semangat yaa buat Giri dan Mamanya! :)

Woro Indriyani
Woro Indriyani June 21, 2017 7:51 am

Halo Mama Adhisti, TFS yah. Bayi saya pun dulu juga mengalami hal serupa, detak jantung lemah dan ketuban sudah terkontaminasi mekonium. Alhamdulillah setelah 30 menit saya langsung dioperasi karena spog saya menyatakan kondisinya gawat janin dan tidak bisa menunggu lama. Bahkan ketika bayi saya lahir, dokter kandungan yang membantu saya bersyukur suami saya langsung menyetujui tindakan operasi, karena jika telat sedikit maka akan jauh efek ke bayinya. Semoga Giri sehat selalu dan orang tuanya juga selalu semangat yah :).