Berkirim kartu ucapan rasanya sudah tidak lagi menjadi tradisi yang dilakukan sekarang ini. Semakin canggihnya peranti digital membuat orang lebih memilih mengirim ucapan lewat pesan elektronik. Cepat, mudah, dan murah. Tapi kok rasanya kurang berkesan, ya?
Saya masih ingat ketika masa-masa sekolah, berkirim kartu hari raya, tahun baru, ulang tahun kepada sanak saudara atau teman adalah hal yang sangat menyenangkan. Begitu juga ketika kita balik menerima kartu ucapan dari mereka. Jujur saja, saya kangen masa-masa membeli kartu, menulis ucapan, melipat amplop, menulis alamat, membeli perangko, pergi ke kantor pos untuk mengirimnya dan kembali ke rumah untuk menemukan ada kartu ucapan telah menanti untuk dibuka.
Karena tahun baru ini kami sekeluarga tidak pulang kampung ke rumah orang tua, maka mengirim kartu ucapan Tahun Baru adalah hal yang ingin saya lakukan. Karena kartu ini akan dikirim ke kakek-nenek dan akung-uti nya Ayesha, jadi harus tampak 'spesial'. Beli? Oh tentu tidak, kali ini saya mau bikin sendiri saja.
Dengan bahan yang sederhana dan kemampuan seni saya yang seadanya, mulailah saya dan Ayesha membuat kartu ucapan tahun baru. Bagian depan dihias bertemakan langit di malam hari. Saya membantu Ayesha menggunting bentuk-bentuk yang sulit, sedangkan dia bertugas untuk menempelkannya. Bagian dalam diisi dengan ucapan selamat tahun baru. Di bagian ini saya mengeja huruf satu demi satu kemudian Ayesha menuliskannya di atas kertas, tak lupa sedikit corat-coret gambar bikinan Ayesha sendiri. Terlihat tidak rapi memang, tapi yang penting maknanya, kan?
Keesokan harinya, kami berdua pergi ke kantor pos yang letaknya tidak jauh dari rumah. Sebetulnya Ayesha sudah sering pergi ke kantor pos ini, bukan untuk mengirim surat, tapi untuk menemani saya membayar beberapa tagihan rumah tangga. Kali ini saya memilih untuk mengirimkan kartu dengan menggunakan perangko.
Awalnya saya agak ragu juga kira-kira sampai tidak ya kartu-kartu ini bila dikirim dengan perangko? Bapak petugas pos tertawa mendengar pertanyaan saya itu, "Hahaha, ada-ada saja. Tentu pasti sampai." Bapak petugas pos memberi saya dua buah perangko Rp3.000,- untuk setiap alamat tujuan dan menjelaskan bahwa surat akan tiba kurang lebih tujuh hari kemudian.
"Ini apa, Bun?", tanya Ayesha ketika melihat perangko. Maklum, itu adalah pertama kali dia melihat perangko dan bertambah takjub ketika melihat saya menjilat perangko itu untuk ditempel di amplop. "Ini namanya perangko. Perangko ini ditempel di amplop biar sampai ke tempat kakek-nenek dan akung-uti," jawab saya. "Tolong ya, ini dikasih ke Bapak pos di meja sana!"
Benar saja, tujuh hari kemudian terdengar telepon masuk untuk Ayesha. Suara Uti terdengar di seberang, "Ayesha, kartunya sudah sampai. Selamat tahun baru juga ya!"
Selang satu hari kemudian, Nenek menelepon dengan semangat, "Ayesha, kartunya lucu sekali!"
bener deh, sudah lama gak kirim surat, tfs, jadi ada ide aktivitas seru bareng Albert nih...
haa iyaa.. dulu seneng banget kirim surat ke kakek-nenek, paman-bibi. terutama kalo abis bagi rapot, isinya minta hadiah ranking satu :D
trus..kesini2 ga pernah ranking satu lagi, jadi kirimsuratnya stop hahahah..
seneng baca artikelnya neena, jadi pengen surat2an lagi deh sama temen ato sodara, dan nanti mau ajarin enzo kirim surat lewat kantor pos juga ah :) TFS, neena!
Sudah lama gak ngirim surat. Masih inget jaman SD-SMP punya sahabat pena, kita selalu kirim surat dan tentunya ngincer perangko-nya juga, kebetulan dulu suka banget sama filateli.
Senang baca artikelnya mama neena, jadi kepikiran untuk ngajak Lana bikin surat sendiri dan ngajak ke kantor pos seperti Ayesha.