Salah satu hal yang saya syukuri bekerja di mancanegara dan berpindah-pindah adalah keanekaragaman makhluk hayati yang bisa ditemui. Walau sudah di 'seragamkan' (=procterised).. tapi tetap saja ciri khas negara masing-masing tidak bisa hilang. Sekarang, saya dan keluarga tinggal di London (sebelumnya kami tinggal di Singapore). Satu hal yang saya kagumi dari orang-orang asing, khususnya sekarang orang-orang Inggris ini (berhubung mereka mayoritas, tidak seperti di kantor Singapore dulu yang benar-benar heterogen komunitasnya) adalah satu hal: communication skills.
Kagum karena mereka bisa mengungkapkan sesuatu direct to the point, firm, efficient, clear, dan canggihnya dengan bahasa yang halus (manner memang penting sekali ya bagi orang-orang sini). Mereka bisa menemukan kalimat yang pas dan tentunya politically correct meski emosinya membakar. Di sisi lain, mereka juga jago ngomong dan tentunya tidak hanya asal cuap (karena di Singapore dulu, sekarang saya sudah tau yang 'asal cuap' itu seperti apa). Selalu ada poin dibalik itu dan valid. Mereka bisa menemukan peluang untuk berbicara dan menelurkan pemikiran-pemikirannya.
Walaupun kontennya tidak surprisingly canggih tapi tetap saja bagi saya faktor keterkejutan (positif) itu adalah, "Oh poin sesederhana itu bisa dikomunikasikan dengan nice ya."
Hebat.
Dan ini memberi imbas image yang positif terhadap yang bersangkutan.
Saya jadi penasaran. Kok bisa sih? Saya beruntung karena anak-anak mengeyam pendidikan di sini. Jadi mereka terekspos juga dengan cara belajarnya. Satu hal yang secara signifikan berbeda dengan zaman kita dulu adalah fokus pembelajarannya. Dari kecil, mereka di arahkan untuk 'memahami', 'menganalisa', 'mengembangkan' dan 'mengungkapkan' poin-poin pemikiran tentang apa yang mereka pahami. Dan ini berlaku tidak hanya di sekolah, tapi dimana pun!
Contoh, dulu waktu saya SD, saya ingat sekali kalau ada pertanyaan di akhir setiap bab, jawabannya pasti ada di bacaan sebelumnya. Tinggal tergantung memori kita saja. Tinggal copy apa yang si textnya bilang. Anak kedua saya, Fadel, sekarang alhamdulillah dia sudah bisa baca dari umur 4 tahun. Setiap hari diberi PR membaca. Saya harus mendengarkan dan memberikan komen di reading trackingnya. Dimana itu media saya dan gurunya untuk berkomunikasi tentang ekspektasi dan progres si anak. Nah, si guru ini makin hari semakin memberikan tantangan. Bukan meningkatkan kompleksitas bacaannya, tapi ekspektasinya. Mulai dari; baca kata per kata, lalu pemahaman Fadel tentang cerita itu, dan apa dia bisa jawab pertanyaan-pertanyaan di akhir halaman. Yang saya kaget, pertanyaan-pertanyaannya itu tidak ada jawabannya dalam cerita!
Jadi apakah mengarang? Tidak juga karena itu membutuhkan analisa dan penggunaan/pemilihan kata-kata sendiri untuk mengungkapkan lagi. Bedanya, kalau dia tidak mengerti ceritanya, itu baru mengarang. Tapi kalau mengerti ceritanya, dia harusnya bisa come up dengan poin yang valid dan di ungkapkan dengan 1-2 kalimat yang efisien.
Contoh pertanyaannya, "Remember about the story of X (di buku yang lain). What do you think about this story compared to that?"
Ini anak TK lho... tidak mudah untuk mengingat cerita yang dia baca sendiri dan bisa menganalisa kesamaan tentang cerita yang lain dan mengungkapkan. But he did it amazingly well (mungkin karena ada di lingkungan seperti ini hari-hari di sekolah). Sementara kalau saya disuruh jawab itu soal, bisa juga, tapi come up dengan satu paragraf. Dan sekarang ekspektasi gurunya sudah sampai taraf dimana Fadel diharapkan bisa come up dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai cerita itu sendiri. Untuk dibacakan di depan kelas. Ini anak TK B.
Contoh lagi dengan kakaknya Fadel, Fay. Satu hal yang saya suka dengan cara di sini dan tidak mengalami waktu SD dulu adalah 'penilaian' guru tentang hasil kerja kita. Dulu standardkan, diberi nilai 0 - 100. Nah di sini tidak memakai angka, tapi feedback si guru langsung. Personalised dengan tulisan tangannya. Saya kagum karena tiap guru ini put effort untuk nulis feedback itu. Yang pasti effort si anak pasti dihargai - ini sudah standard, dan kalau ada fokus improvementnya itu lebih banyak tentang pengembangan ide, logika bepikir, kosa kata. Intinya? lagi-lagi communication skills; written or verbal - yang sepertinya lebih penting dari kontennya itu sendiri.
Contoh, mereka diberi tugas untuk mendesain mainan baru yang tidak pernah ada sekarang ini (ini kelas 1). Mereka harus menggambar, desain yang akan diberikan ke pabrik untuk diproduksi. Mereka juga harus membuat 'surat' ditujukan kepada pemilik pabrik itu untuk menyakinkan kenapa harus mainan mereka yang dipilih untuk diproduksi bukan yang lain. Mereka juga harus presentasi tentang desain itu di depan kelas, tentunya dengan memakai bahasa sendiri dimana ekspektasi adalah kekayaan kosa katanya dan clear communication. Feedback dari gurunya untuk Fay adalah lebih put effort bagian 'meyakinkan' itu (kalau dilihat design mainan Fay cukup keren dibanding anak-anak yang lain tapi sayangnya ini bukan fokusnya). Jadi Fay diharapkan untuk put more reasoning behind his idea dalam menjelaskan atau mengungkapkan secara tertulis atau verbal.
Cara si guru memberikan feedback ini juga bukan, "Hey do better job next time, will you?" Tapi memberi masukan konstruktif dengan cara prompting question ke tulisan essay Fay yang meng-encourage dia untuk lebih meyakinkan poinnnya. Contoh si guru menyelipkan, "Tell him more (= si pemilik pabrik) why do you think this is the best toy in the world?", "which part of your design that you think he will like more?".
Pantas aja. Sekarang saya mengerti. Ternyata orang-orang yang saya temui di kantor ini sudah dari kecil dibiasakan seperti itu. Semoga kita sebagai orang Indonesia, yang menurut saya sedikit kalah dari sisi komunikasi, bisa mengejar. Dan ini dimulai dari pendidikan. Kalau di sekolah tidak seperti itu... let's do it at home. Tantang anak-anak ini untuk beragumen, berbicara, berbeda pendapat, mengungkapkan pemahaman dan ide-idenya karena ide tanpa komunikasi... tidak akan ada iPad di dunia ini.
Wow, TFS... Ini ya rahasianya negara maju hmmm
aku juga terkagum-kagum sama negara inggris, meskipun cuman ada pengalaman berkunjung. Mereka ramah, to the point tapi bahasanya sangat halus. Usa emang to the point tp gtw kenapa klo denger ngomongnya agak gmn gt..
thanks for sharing this, mom..
ijin utk share artikel ini ke tmn2ku via fb, ya.. boleh tak mommy yashinta? :)
your article very inspire me to challenge my boy's communication skill..
thank you..
jadi semakin berhasrat untuk belajar jadi orang tua yang baik buat anak-anak.
karena tidaj dapat dihindari pola asuh orang tua kita dahulu kiranya ada sedikit perbedaan dengan jaman sekarang.
skill komunikasi dua arah ini sangat baik diterapkan untuk anak usia emas. dimana di usia2 ini karakter mereka terbangun.
maka dari itu, kita sebagai orang tua juga harus mengasah skill tersebut.
banyak cara ; googling, membaca, ikut workshop ataupun gathering2 di forum2
semoga bermanfaat
memang susah banget ngubah hal yg sdh ratusan thn jd kebiasan. kalo di rmh sdh dibiasakan terlatih dg communication skill ternyata sekolah blm siap, malah guru membatasi & menekan anak ngikuti sistem waduh apa ndak ciut nyali anak utk kreatif?
paud unggulan di kota saya aja(msh daerah sih) malah menghina anak jika menangis contohnya srng dinyanyikan lagu "buat apa nangis 2x nangis itu seperti adik bayi", ada anak nangis bukan bertanya kenapa malah disebut si A kan masih adik bayi. akhirnya si anak diem krn takut.
bingung mau di sekolahin kemana pdhl mas rama itu suka bercerita dan aktif