Beberapa hari yang lalu, lini masa sempat ramai oleh sebuah cuitan di mana seorang perempuan mencari jodoh dengan penghasilan bulanan minimal 30 juta. Yang menarik juga adalah reaksi pro-kontra yang datang menanggapi cuitan tersebut.
Beberapa minggu yang lalu juga sempat ramai diperbincangkan – pria-pria lajang yang memiliki pegangan ‘Mencari jodoh yang mau diajak susah’. Meski terpisah, tema dari kedua cuitan ini memiliki kaitan erat.
Sebenarnya, apakah ada patokan minimum dari seorang pria untuk dapat menikah? Apakah pola pikir ‘mencari jodoh yang diajak susah’ adalah pola pikir yang benar? Kita mencoba menjawab kedua pertanyaan itu dengan rujukan agama (dalam kasus ini, agama Islam).
Tanggungan
Hukum waris dalam Islam menetapkan bahwa seorang muslim mendapat 2/3 warisan sedang muslimah mendapat 1/3. Yang banyak orang tidak tahu adalah, hukum 2/3 dan 1/3 ini ditetapkan karena anak laki-laki lah yang bertanggung jawab merawat orang tua (jika mereka tidak berdaya). Kewajiban ini tidak berlaku pada anak perempuan. Warisan 2/3 ini dianggap sebagai kompensasi dari kewajiban mengurus/merawat orangtua (jika mereka tidak berdaya) di masa hidup. Dapat kita bayangkan, suami yang berumur 40 harus memutar akal membagi penghasilannya untuk bayar sekolah anak, belanja dapur, dan membayar invoice rumah sakit ibunya. Yang kita lihat itu bukanlah toxic masculinity (bahwa semuanya harus ayah yang tanggung) – tapi memang itu yang ditetapkan agama.
Tidak ada orangtua yang berniat menyusahkan anak mereka. Impian semua orangtua adalah hidup menuju hari senja dengan memiliki bekal yang cukup untuk sendiri. Itu sebabnya mayoritas dari kita tidak menunggu orang tuasakit dahulu sebelum menikah. Sayangnya, kadang kala kondisi itu (orangtua mandiri) tidak terjadi. Dan saat tidak terjadi, maka anak laki-laki yang wajib membantu. Kita harus ingat bahwa bakti pertama seorang muslim adalah pada orangtuanya dan ini berlaku selamanya. Sedangkan bakti seorang istri adalah kepada suaminya hanya di masa pernikahan.
Katakanlah sebuah keluarga memiliki 2 orang anak yang sudah besar. Budi (kakak pria) dan Wati (adik wanita). Agama mengajarkan jika orang tua tidak lagi mampu merawat diri atau membutuhkan bantuan, maka kewajiban merawat dan menolong orangtua jatuh ke tangan anak laki-laki, Budi. Tanggung jawab Budi tidak sampai di sana. Jika orangtua tidak lagi mampu merawat diri dan tidak mampu merawat anak perempuannya, maka Budi juga bertanggung jawab mengasuh, menafkahi dan melindungi (termasuk menyekolahkan) sang adik perempuan, Wati – sebuah tanggung jawab yang hanya putus setelah Wati menikah. Setelah menikah, Wati akan menjadi tanggungan suami. Singkatnya, di bahu setiap pria muslim terdapat kewajiban 2 keluarga - keluarga di mana dia sebagai anak dan keluarga di mana dia sebagai kepala keluarga.
Beban ini cukup banyak. Maka dari itu, perkataan bahwa sebaiknya pria itu memiliki penghasilan yang tinggi - sama sekali tidak salah. Apakah angkanya harus 30 juta? Angka dapat bervariasi sesuai kebutuhan (bukan keinginan). Pria yang pasrah dengan penghasilan seadanya, tidak mau berusaha lebih baik, pria yang kurang berusaha maksimal akan sulit menanggung 2 beban keluarga ini. Pria yang mencukupi diri saja kesulitan, akan lebih sulit untuk merawat orangtuanya, apalagi jika memutuskan untuk menikah.
Jadi untuk pertanyaan ‘Sebenarnya berapa sih penghasilan pria yang pantas untuk menikah?’ jawabannya adalah: tidak ada angka yang pasti, namun sebaiknya penghasilan sang pria mampu untuk mencukupi (1) merawat orangtua (hanya jika mereka butuh) dan (2) nafkah anak-istri dengan pantas.
Bagaimana jika seorang muslim lajang hanya mampu memenuhi satu dari dua kewajiban itu? Jawabannya cukup mudah: Berusahalah lebih baik. Mungkin dengan cari kerja dengan penghasilan lebih baik? Mungkin dengan membuka usaha? Mungkin dengan mengambil 2 pekerjaan? Yang jelas, seorang muslim tidak dapat lepas dari 2 kewajiban ini. Ada hadist yang menyatakan:
Apabila sudah mampu, maka segeralah menikah. Apabila belum mampu, maka, berpuasa lah.
Bagaimana jika sang pria memiliki istri yang mapan? Apakah sebaiknya nafkah pria dipakai untuk merawat orang tua sedangkan hasil kerja istri dipakai untuk anak istri?
Jawabannya: Tidak. Kemapanan istri tidak menggugurkan kewajiban seorang muslim untuk merawat ayah ibu sambil menafkahkan keluarga sendiri di saat yang sama. Lagi-lagi, ini bukan toxic masculinity bahwa suami harus jadi yang terkuat. Agama memang menetapkan tugas mencukupkan nafkah anak istri tetap berada pada suami. Agama menetapkan harta istri tidak boleh dipakai suami kecuali dengan izin istri. Agama menetapkan suami tidak boleh memaksa meminta. Suami boleh meminta tolong pada istri. Istri boleh menolak atau membantu. Jika membantu, maka dihitung sebagai sedekah. Sedekah paling utama dari seorang wanita, adalah kepada suaminya.
Bagaimana jika kebutuhan merawat orangtua baru datang setelah pernikahan? Contoh: seorang muslim sudah menikah, sudah cukup menafkahi anak istri, namun tiba-tiba orangtua jatuh sakit dan butuh perawatan. Mana yang harus diprioritaskan oleh sang muslim? Di sinilah masuk ke dalam bahasan prioritas.
Prioritas
Bagi seorang muslim, merawat/menolong/mencukupi orangtua (saat mereka sudah tidak mampu) lebih utama dari mencukupi istri. Ujian seorang married muslim adalah seberapa keras dia berusaha melakukan kedua hal - merawat orangtua dan mencukupi anak istri. Sedangkan ujian seorang married muslimah adalah apakah dia bersedia bersabar menjadi prioritas kedua saat sang suami tiba-tiba harus merawat orangtuanya.
Married muslim yang baik tidak akan pernah malas bekerja. Married muslim yang baik tidak akan pernah meminta istri ‘Mau ya diajak susah’ hanya karena dia malas berusaha lebih baik. Mungkin, muslim seperti ini tidak layak menikah sama sekali.
Satu-satunya kesempatan di mana married muslim dapat mengajak istri susah adalah saat dia sudah berusaha yang terbaik. Di titik itu, dia dapat berkata ‘Mau ya diajak susah karena ayah/ibuku sedang butuh bantuan’. Married muslimah yang baik akan dapat melihat usahanya dan akan dapat mengerti.
Adalah salah bagi seorang suami jika dia mementingkan skin care istri sedangkan lalai membeli obat yang ibunya butuhkan. Pun salah apabila seorang istri berpikir skin carenya lebih penting dari obat yang ibu mertua butuhkan.
Pun salah bagi suami untuk memanjakan anak istri dengan cara berlebih sementara orangtua sendiri terlantar.
Pun salah bagi seorang suami jika dia memanjakan orang tua dan adik-adik dengan kemewahan sedang dia menutut anak istri hidup dalam kesempitan.
Pun salah bagi seorang istri untuk berpikir bahwa semua penghasilan suami adalah milik anak istri – karena di dalam penghasilan suami, terdapat kewajibannya untuk berbakti pada orangtua (jika mereka membutuhkan)
Ujian paling penting bagi suami adalah: apakah dia sudah berusaha cukup baik untuk menjadi penjaga ayah/ibu dan anak istrinya? Agar jika suami sampai harus berkata ‘Mau ya susah sebentar’ sang istri tahu, dia sudah berusaha maksimal.
Ujian paling penting bagi istri adalah: apakah dia sadar dalam prioritas suami, orang tua lebih penting dari dirinya? Agar jika sampai suami berkata ‘Mau ya susah sebentar’ dia tahu, perkataan itu keluar dari orang yang berbakti pada orangtua.
Mencerahkan :)
Setuju Kang! Mau diajak susah untuk menikah itu jangan dijadikan syarat saat seseorang mau mengajak pasangannya menikah. Kan baca Sabtu Bersama Bapak, keduanya harus sama-sama kuat. Artikel yang bagus, Kang!
tadi abis sharing artikel ini, beberapa ex-murid2ku (yang dulu kuajar saat mereka berusia 15 tahun, kini mereka berusia 25 tahun) jadi pada seru membahas hal ini. Bagus sih, biar mereka melek juga soal kewajiban dan haknya menurut agama, dan terbuka membicarakannya dgn pasangan. Terima kasih untuk pencerahannya, kang Adhit.
Supeeeer sekali kang. Terimakasih sudah mengingatkan. Teringat sekitar 12th lalu, ibu saya mengingatkan tentang hal ini (kewajiban anak terhadap ortu) saat saya bilang mau menikahi pacar yg kebetulan anak pertama laki2, yatim, dan memiliki 5 orang adik (3 orang adik perempuan). Skrg ibu mertua sudah tidak ada, dan tinggal 1 adik perempuan lagi yg blm menikah.
Saya jadi punya pertanyaan setelah baca artikel ini. Seandainya bila orangtua istri tidak mempunyai anak lelaki, dan jika terjadi hal berikut (sakit, menua dll) siapa yang bertugas merawat mereka jika anak-anak mereka adalah juga seorang istri yang harus memprioritaskan suami. Ditambah pula suami penghasilannya pas2an. Atau misalnya hubungan suami dan orangtua istri cukup buruk, maka bagaimana baiknya??
Saat menikah, "orang tua" berarti orang tua dari suami dan istri, sehingga tgg jwb lelaki adalah thdp org tua kandung & mertuanya.
Just my two cents :)