RUMAH
Answer? Reject?
O-ow, gimana ini?
Tiba-tiba saja saya merasa kembali ke masa remaja penuh pesona kala begadang di jalanan dan menerima telepon dari Ayah--disuruh pulang!
Jempol pun jumpalitan di antara tombol answer dan reject.
"Lagi apa? Sehat? Makan apa?"
"Alhamdulillah, Bu! Lagi... cari masakan Indonesia, nih. Bosen makan kebab terus." Akhirnya saya menjawab telepon dengan nada seriang mungkin; membuat suster yang sedang sibuk memasukkan jarum infus mendelikkan bola mata sembari mengerutkan alisnya yang tipis sadis. Mungkin ia baru pertama kali melihat pasien menggemaskan begitu sumringah dalam keadaan demam.
Ah, andai batin berpita suara, ia pasti akan memberitahukan ibu keadaan saya yang sebenarnya. Bukannya gemar akting, saya nggak pengen membuat ibu khawatir karena saya terkena gejala thypus, plus darah tinggi disertai asam urat, dan agak sedikit sakit jiwa. Saat masih tinggal serumah saja bila saya sakit--biarpun itu sekadar flu, ibu pasti gelisah. Apalagi bila terpisah benua seperti saat ini?
"Ya udah atuh, ya. Ibu lagi masak jamur goreng tepung kesukaanmu, nih! Sampai nanti!"
Oh, tidaak! Jiwa raga semakin tersiksa! Rasanya ingin sekali menukar ratusan unta yang sedang berlalu lalang di padang tandus untuk sekadar makan sup hangat bareng ibu. Sungguh kemewahan yang luar biasa!
Oh, entah kenapa ya, Ibu selalu menghubungi saya, tepat di saat-saat 'kritis'. Insting seorang ibu memang anti dikelabui.
Sambil memandangi cairan infus yang menetes tanpa henti, saya teringat hari-hari ajaib bersama ibu.
Dimulai kala saya masih remaja ranum, saat itu lagi hobi-hobinya pulang pagi dengan kepala pusing 49 keliling lapangan gasibu. Maklum, lagi zamannya pesta ulang tahun sweet seventeen, di diskotik pula; susah untuk pulang dalam keadaan segar.
Saat menggapai-gapai gelas dalam kegelapan di dapur, ibu tiba-tiba menepuk bahu saya sambil memberikan secangkir teh hangat. Saya terkejut dan hampir teriak 'hantu!' tapi kemudian setelah agak sadar bahwa yang menepukku adalah ibu, saya otomatis berakting amatiran seolah terserang migren campur masuk angin plus kepala kepentok tiang dan kaki kesenggol tahi kucing.
Ibu cuma tersenyum lalu melengos. Tak lama kemudian ia membawakan saya roti panggang beroleskan madu ke kamar.
"Ini bagus buat mengurangi efek... migren," ucapnya tersenyum hangat dengan penekanan ganjil pada saat menyebutkan kata terakhir.
Ah, secanggih-canggihnya akting saya, ibu tentu bisa menghirup aroma alkohol dari napas naga saya ini.
Kejadian berikutnya lebih menghujam hati; terjadi saat kenaikan kelas SMA. Ibu dipanggil oleh pihak sekolah sehari sebelum pembagian rapot. Saya tahu, ini adalah kebiasaan sekolah saya untuk memberikan rapot kepada mereka yang tidak naik kelas. Tapi saya pura-pura tidak tahu, sembari tegang membayangkan wujud kekecewaan ibu kala pulang ke rumah. Terbayang adegan bak sinetron horor campur hidayah, ibu pulang membanting semua guci di ruang tamu, menonjok TV, merobek-robek sofa, sambil teriak "AKU MALU PUNYA ANAK KAYAK KAMU!!!"
Pintu rumah pun terbuka, saya pura-pura membersihkan meja. Jadi kalo tiba-tiba terjadi gempa saya akan langsung bersembunyi di bawahnya.
"Lihat, ibu bawa apa?"
Hah? Ibu kok sempat-sempatnya membawa banyak camilan dan makanan? Belum hilang keheranan saya, Ibu berkata perlahan, "Kamu dikasih kesempatan setahun lagi untuk memperbaiki nilai-nilai pelajaranmu. Insya Allah bakal lebih baik."
Oooh, saya mendadak ingin ngecet genteng satu kompleks. Gaya ibu dalam menegur yang selalu terhiasi perkataan halus itu membuatku semakin tertohok.
Saya pun semakin bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan --meskipun selalu berakhir dengan pengulangan berkedok kekhilafan.
Perhatian ibu yang menohok itu tak pernah pudar meskipun kami akhirnya harus terpisah darat dan lautan. Masih dengan caranya yang misterius, ibu selalu jadi pengingat kala saya mulai silau dengan kilaunya dunia. Sapaannya selalu sederhana, cukup dengan, "Sudah sapa-sapa Tuhan belum?"
Ibu membuatku memahami ibadah sebagai pengingat kasih sayang Tuhan, bukan peringatan atau ancaman.
Tiba-tiba lamunanku dibuyarkan getaran ponsel pertanda ada SMS baru.
"Jangan marah, ya... Tapi dari suara kamu, ibu mah tau kalo kamu lagi sakit. Yah, di sini ibu mah cuma bisa doain aja. Minum vitamin dan istirahat yang banyak, ya?"
Ibu, terima kasih ya untuk selalu tetap percaya, bahkan di kala saya berbohong sekali pun :’)
aacckk,baru baca artikel ini..
parenting style ibu nya mas Vabyo patut dicontoh nih :)
Baru baca.. Mamanya sabar banget yaa, tfs :)
haduuuuh.. terharu banget baca ceritanya.. moga aja saya bisa jadi ibu yang sabar dan tenang seperti itu.. amiiiiinn
bagus bgt gaya penulisannya. Love it ^^
aduuuh... ibunya cantik dan baik ... huhu.. bisa nggak ya jadi ibu seperti itu
tq mas vabyo..ceritanya inspiring banget..