Kini internet telah menjadi asupan segala kalangan, termasuk anak-anak. Dalam survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016 lalu, sebanyak 768 ribu anak-anak usia 10-14 tahun sudah mengakses internet. Angka ini rupanya naik 100 persen dari penelitian tahun 2014, di mana pada tahun itu anak-anak usia tersebut belum mendapatkan akses internet.
Ada beberapa alasan orangtua memperbolehkan anaknya mengakses internet, salah satunya orangtua merasa lebih tenang ketika anaknya diberi ‘mainan’ sehingga mereka tidak akan mengganggu orangtua. Para orangtua juga merasa lebih mudah mengawasi aktivitas anak yang bermain interbet daripada ketika mereka berkegiatan di luar rumah. Sayangnya, pengawasan dan pendampingan itu tampak semu. APJII melalui surveinya memperoleh fakta bahwa 76% pengguna internet di Indonesia menyatakan internet tidak aman bagi anak.
Umumnya, anak-anak usia tersebut mengakses internet untuk menonton video di Youtube atau bermain online game. Selain itu, mereka mengakses situs pencarian untuk bantuan mengerjakan tugas sekolah. Meski tampaknya memberi kemudahan, akses internet bagi anak dianggap belum tepat. Apalagi mereka diberi keleluasaan mengakses gawai milik pribadi, alih-alih komputer yang dapat dipantau oleh orangtua. Salah-salah mereka justru diterpa, atau bahkan sengaja mengakses konten negatif yang sebenarnya belum layak mereka ketahui.
(Image credit: www.pexels.com)
Perekaman Aktivitas & Parental Control
Beberapa orangtua nampaknya belum memahami bagaimana caranya mengontrol aktivitas anak di internet. Selain memang harus diawasi secara langsung, orangtua perlu lebih melek teknologi dibanding anak-anaknya. Terlebih, beberapa browser sudah mendukung program pengawasan aktivitas anak di dunia maya dengan menyediakan fitur parental control.
Situs penyedia layanan video Youtube misalnya. Youtube menjadi situs utama yang diakses anak-anak karena menawarkan aneka konten audio visual yang menarik. Beruntungnya, Youtube telah menyediakan Restricted Mode atau mode pembatasan konten untuk diakses anak-anak. Melalui layanan ini, orang tua diharapkan tak perlu khawatir anak mereka mengakses video-video konten negatif yang berbahaya bagi perkembangan mereka.
Tak hanya itu, Google sebagai situs pencarian informasi terbesar juga sudah memberikan layanan pembatasan konten. Meski tidak sesering penggunaan Youtube, akses Google oleh anak biasanya diperuntukkan dalam proses pembelajaran. Browser ini dapat diatur untuk memberikan pencarian yang aman bagi anak melalui fitur SafeSearch.
Meski begitu, kontrol yang terbaik tetaplah berasal dari orangtua. Anak jadi tak melulu dibatasi keingintahuannya, namun juga dapat memperoleh pendampingan dan arahan yang tepat. Tak hanya itu, penanaman nilai disiplin terkait waktu penggunaan gawai juga penting dilakukan. Yang lebih penting lagi, sebenarnya bukan pembatasan konten internet yang aman bagi anak, namun bagaimana anak diedukasi untuk dapat memanfaatkan teknologi dengan baik.
Konten untuk Anak
Melihat kecenderungan akses internet oleh anak yang didominasi tontonan video dan game online, rasa-rasanya anak zaman sekarang jarang menyukai aktivitas membaca. Terlebih masih minimnya media daring yang menyediakan konten khusus untuk anak-anak.
Dari berbagai situs yang ada di internet. saya hanya menemukan satu situs khusus untuk anak, yaitu media online dari majalah Bobo. Di dalamnya termuat cerita-cerita anak yang mengandung berbagai pesan moral selayaknya dalam majalah cetaknya. Tak hanya itu, banyak pula artikel terkait ilmu pengetahuan yang disesuaikan dengan pemahaman anak-anak.
Sayangnya, jika tidak diimbangi pendampingan orang tua untuk mengakses situs khusus anak, rasanya sulit bagi anak untuk terhindar dari konten negatif. Di internet banyak konten lain yang ditampilkan sangat menarik. Apalagi dengan keingintahuan anak-anak yang tinggi, namun belum memiliki kontrol diri untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, nampaknya internet bukanlah media yang tepat bagi anak di bawah umur.
Pengguna dewasa yang seharusnya tahu baik-buruk saja belum bisa bersikap dewasa dalam mengakses internet. Lalu pantaskah kita berharap anak-anak bawah umur -yang masih perlu bimbingan orang tua- menjadi bijak dalam mengakses konten internet?
(Oleh: Lajeng Padmaratri - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN ‘Veteran’ Yogyakarta dan Pegiat Media Sosial)
Ketiga anak saya sudah mendapat akses internet jauh lebih muda dibanding saat saya mendapat akses internet.
tentunya saya selalu mendampingi mereka saat bermain dan melihat konten lainnya.
Selain itu, tentu perlu dibatasi juga waktunya, agar mereka tahu bahwa internet bukanlah segalanya :) masih ada tempat dan aktivitas lain untuk dikerjakan anak-anak..
nice artikel mba Lajeng.
Terima kasih feedback-nya. Semoga dapat memberi perspektif baru.