Rookie Mom, Step Mom

Oleh Elsa Febiola pada Senin, 13 Februari 2012
Seputar Our Stories


*image dari gettyimages.com

Yes! Am a rookie-mom. Baru sekitar 6 bulan, Allah memberkahi hidup saya dengan seorang anak laki–laki berusia 10 tahun dari pernikahan suami saya yang terdahulu. So that’s make me a step mom also. Menjadi seorang ibu tiri, ibu non-biologis dari seorang anak.

Saat pertama saya memutuskan untuk menikah dengan suami yang telah mempunyai seorang anak, maka menjadi seorang ibu tiri adalah suatu konsekuensi. Welcome to the step parenting world! Hal pertama, realita yang menggigit saat menjadi seorang ibu tiri adalah kata–kata “ibu tiri” itu sudah sangat sarat makna. Kebanyakan negatif. Pahit, deh.

Orang cenderung tidak secara terbuka bilang bahwa, “Ya, saya seorang ibu tiri”. Mungkin karena dengan sendirinya cap “Druella Cruella” sudah langsung terpatri di benak lawan bicaranya. Maka issue ibu tiri ini selalu dibicarakan di ruang–ruang yang sangat tertutup, dibicarakan secara bisik–bisik, tertutupi oleh stereotype dan stigma lainnya.

Saya tak akan membicarakan bagaimana orang lain sebagai ibu tiri, tapi inilah saya, seorang wanita yang memiliki kesulitan dalam menjalankan fungsi alamiah seorang wanita seperti hamil, melahirkan, menyusui, tetapi dengan ijin Allah diberikan kepercayaan untuk ada dalam kehidupan seorang anak. Well, I think we have to start with positive attitude, right?

Realita kedua yang tak kalah menggigitnya adalah, kecurigaan bahwa ibu tiri adalah identik dengan “the other woman” yang merusak hubungan pernikahan dari orang tua biologis seorang anak. Well, it is not me. Tapi, walaupun saya bukan the other woman, kecurigaan itu pernah melekat pada saya. Not a big deal karena saya memang bukan the other woman, gampang bagi saya menjelaskannya. Walaupun demikian, realita ini tetap menggigit pada awalnya bagi saya yang sepanjang kehidupan pribadi maupun professional, selalu berusaha menjaga perilaku dan kredibilitas. This one I can let it slide. No problem. Am definitely not the other woman.

Realita ketiga yang juga tak kalah mencengangkan bagi saya adalah dengan tingkat perceraian yang demikian tinggi di Indonesia, tidak ada keterbukaan dalam membicarakan bagaimana menjadi ayah tiri atau ibu tiri.

Sebagian besar pasangan yang becerai itu akan menikah lagi dengan orang lain, right? Jadi ada populasi ayah tiri dan ibu tiri yang terus bertumbuh. Cari support groupnya? Almost non-existent. Padahal banyak sekali ayah tiri dan ibu tiri yang tinggal, berinteraksi, hidup, membesarkan anak–anak tirinya. Dan seperti juga menjadi orang tua kandung, saya percaya, jadi orang tua butuh banyak pengetahuan. Anak tak datang otomatis dengan manual pada saat lahir dan tak datang pula dengan manual pada saat pernikahan orang tua dengan orang lain.

So, am thinking... what am I supposed to do? How am I going to handle this motherhood? Where to start, what to do?

Let me tell you a bit about my son (yes, I call him my son. That’s how I introduce him. That’s how I feel about him). Maafkan kalau saya tak menyebut nama anak saya dalam tulisan ini. He is witty like his dad. Smart and an avid reader (just like me :)). Pada saat saya dan ayahnya belum menikah dan mungkin pada pertemuan saya dan anak saya yang ke 2 atau ke 3, pertanyaannya adalah “Tante, apa itu pencucian uang?” Kening agak berkerut bagaimana harus menjelaskannya dengan bahasa yang mudah tapi senang karena ternyata dia banyak mempunyai interest yang sama dengan saya. Semua skill dan pengetahuan saya, berkarir di dunia keuangan selama 10 tahun, rasanya menghilang dari kepala pada saat anak saya bertanya saat itu tentang pencucian uang. Takut salah menjelaskan, takut memberikan kesan yang salah tentang tindak pidana ini, takut malah terlalu tertanam di pikirannya… takut… takut… takut… Daaan ternyata 'ketakutan' ini adalah tanda–tanda 'keibuan' pertama saya.

Seperti ibu lain, saya pun agak narsis tentang anak… Yes, am in that stage too. I met him when he was about 8. Anak lucu bermata bening. Sekarang dia usia 10 tahun, banyak yang sudah berubah dari dia. Pra–remaja. Rasanya waktu berlalu cepat. Terlalu cepat. Rasanya baru kemarin ini dia lari-lari keluar dari kamar mandi di rumah saya dengan tanpa rasa malu. Sekarang sudah agak berlama–lama di depan kaca menata rambut. :)
Waktu saya bilang, “Sayang… jangan cepet–cepet gede, dong… nanti mommy kangen peluk–peluk kamu!” And his reaction? Rolled his eyes! Khas banget deh anak pra-ABG.

Bagi saya inilah jalan hidup yang Allah sudah bentangkan untuk saya. Yang pertama, usia saya sekarang 38 tahun, sudah di tahapan hidup dimana sudah gak berani protes pada Allah. Sudah ingin menjalani dengan rasa syukur saja. Life is too short. Am happy with my life now. Alhamdulillah ya, Allah. Jadi, motherhood bagi saya yang pertama adalah bersyukur pada Allah SWT.

Yang kedua, motherhood bagi saya adalah being humble, mau belajar terus, less paranoid maybe. Setelah bicara dengan ibu–ibu yang punya anak biologis, agak pede juga karena ternyata mereka pun mengakui banyak hal yang mereka tidak tahu, banyak hal yang mereka pernah lakukan salah, tak selamanya sempurna.

Yang ketiga, motherhood bagi saya berarti berubah dan menerima perubahan. Dan bagi saya adalah munculnya berbagai macam ketakutan yang dulunya saya tidak miliki. I know I have to deal with this. But I think because he is so precious for me. This new mommy has lots of istighfar to do. Jangan sampai berlebihan, jangan sampai terlalu gimana banget gitu, loh. Am changing. This motherhood change me and my life.

Yang keempat, motherhood bagi saya adalah menjadi sahabat bagi anak saya. Anak saya memiliki ayah dan ibu kandung yang akan bertanggung jawab dunia maupun akhirat atas dia. Saya adalah wanita yang akan ikut mengasuh dia, berikhtiar, dan berdoa agar dia menjadi anak yang beriman pada Allah, baik hati, peduli, cerdas dan mandiri (list nya on and on ya, Mama… Seperti doa kita yang tak putus bagi anak–anak). Dari awal saya pahami bahwa posisi saya bukanlah untuk menggantikan ibu kandungnya tetapi membantu ayah anak saya, suami saya tercinta, untuk mengasuh anak ini. A promise that I will keep. Dan bagi saya, menjadi sahabat anak saya, tempat dia bisa bercerita tentang suka dan dukanya, sudah lebih dari cukup bagi saya.

Yang kelima, motherhood bagi saya adalah mengasuh dengan rendah hati, logika, cinta, dan hati. Kalau ini, terus terang saya begitu terinspirasi mentor dan guru saya, Ibu Elly Risman. Dalam setiap pertemuan dengan beliau, banyak sekali hal–hal yang beliau sampaikan secara pribadi karena mengetahui kepercayaan baru dari Allah kepada saya sebagai ibu tiri ini. “Febi harus percaya diri sebagai seorang ibu. Lakukan dengan hati, karena hati akan berbicara dengan hati. Ketulusan akan berbicara dengan ketulusan”. Satu hal lagi yang saya belajar dari Ibu Elly adalah untuk tidak gengsi, takut, atau terlalu jaim untuk minta maaf pada anak. Orang tua juga manusia. Bisa salah. Minta maaf saja. Terimakasih, Ibu Elly.

Yang keenam, motherhood bagi saya adalah punya selera humor yang baik. Para mama yang punya anak laki–laki usia 10 tahun pastinya ngerti, yaaa… Gak selamanya anaknya nurut, baik, dll maka punya selera humor yang baik dalam menanggapinya penting bagi saya. Kadang tak boleh terlalu diambil hati, jangan terlalu serius menanggapi. Jangan karena merasa “hanya” ibu tiri, lalu menjadi terlalu sensitif kalau ada yang tak sesuai dengan yang seharusnya. Semua ini proses. Saya pun masih belajar melakukannya, untuk tetap punya sense of humor dalam mengasuh anak.

Mungkin list arti motherhood bagi saya ini akan bertambah panjang seiring dengan bertambahnya waktu. Selamanya saya akan jadi rookie mom dan step mom dan saya suka sebutan rookie mom ini karena dengan merasa sebagai ibu yang rookie, ibu yang pemula, mungkin itu juga pengingat bagi saya untuk tidak merasa selalu tahu, sudah tahu atau sok tahu sebagai ibu. Karena anak saya akan hidup di jaman yang berbeda dengan saya. Jaman berubah, anak bertumbuh, orang tua harus update juga (jangan status aja yang update ya, Mama :)).

Saya hanya punya 6 hal dalam list saya kali ini, dan pengalaman yang masih sangat minim dalam dunia step parenting dan motherhood ini. Saya yakin banyak mama papa di luar sana yang seperti saya. Berkenankah membagi ilmunya untuk rookie mom ini?

Kategori Terkait


Tag Terkait

21 Komentar
Elsa Febiola
Elsa Febiola March 6, 2012 8:50 am

@Sitha : Sowwy ya baru direspons comment nya :-) Peran pasangan pada orang tua tiri sangat besar. Ini saya alami dengan suami. Dan langkah yang diambil oleh Mama Sitha top banget, deh ! Memang kita perlu banyak bantuan dan masukan untuk mengasuh anak, baik itu anak biologis maupun anak non-biologis. Dalam masa - masa perkenalan saya dan suami, banyak waktu yang kami dedikasikan juga untuk mendiskusikan pola asuh bagi anak kami. Fine tuning, supaya nyambung frekwensi dalam mengasuh. Dan sekarang kami juga melakukan pembagian tugas dalam mengasuh anak. Saya lebih detail dan ngobrol dari hati ke hati dengan anak, sementara suami lebih ke arahan garis besar dan disiplin. It is still a learning process buat kami, Mbak. kita saling mendoakan, ya....peluks

@Nita : Terimakasih ya, mama Nita...peluks.

Nita
Nita February 18, 2012 9:26 am

couldn't agree more with all the comments..
you're great mba :)

Sitha
Sitha February 17, 2012 4:52 pm

Love this post! More or less, aku jadi bisa dapet tambahan wawasan/pandangan dr sisi step parent. Suamiku adl ayah tiri bagi anak pertamaku. Aku yakin sejak awal bhw semua hrs dibicarakan & didiskusikan, makanya kami ambil konsultasi pranikah dan ada sesinya yg khusus bahas ttg hubungan kami bertiga saat itu dan ke depan (ekspektasi, plan, etc). Aku ngerti ngga mudah jadi step parent dan ada masa depan anak terkait di dalamnya. You're doing great, Mama Feb... Wish you all the best *peluk*

Elsa Febiola
Elsa Febiola February 17, 2012 1:22 am

@RhoMayda : Waaaw...sharing more dong bagaimana pengalamannya. Karena sayangnya gak semua kehidupan pasca perceraian mulus bagi anak. Seneng banget baca tentang keluarga anda....alhamdulillah...semoga selalu diberkahi, ya...

Elsa Febiola
Elsa Febiola February 17, 2012 1:19 am

@Fanny : heheheh...itu baru satu contoh kecil dimana orang tua tiri harus bisa menimbang a very delicate balance. Peran suami saya sangat besar dalam menangani hal - hal yang seperti ini. Seperti orang tua yang lainnya, kami berbagi tugas saja. Anak itu tau kok...kapan orang marahin dia karena memang sayang, kapan karena ada motif lain..heheheh..yang penting sebagai orang tua adalah meluruskan niat.