Beberapa tahun yang lalu, teman-teman saya semasa SD “terkumpul” oleh Facebook. Dan kamipun berencana untuk reunian. Seru pastinya ngumpul lagi dengan teman-teman yang sudah puluhan tahun tidak ketemu. Tetapi saya sempat “males” ikutan di acara itu. Dan alasannya sangat silly, kekanak-kanakan, sampai suami pun mentertawakan saya. Karena sudah “terlanjur” jadi orang dewasa, saya putuskan untuk tetap datang ke acara reuni, dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa ;)
Sederhana dan childish, tapi saya pikir alasan enggannya saya tersebut perlu juga saya share di sini: waktu SD saya suka dibuli. “C’mon Nisa, itu kan puluhan tahun yang lalu. Masih marah juga?” demikian timpal suami saya. Dan saya agak malu-malu menulis ini, kebayang yang membacapun berkomentar senada.
image source: http://www.livescience.com/27279-bullying-effects-last-adulthood.html
Saya tahu persis – karena orang tua saya sering menyampaikan hal ini kepada kami anak-anaknya – mengapa saya disekolahkan di SD swasta. Karena mereka merasa perlu bantuan pihak lain (yaitu sekolah) untuk mengajarkan agama kepada kami. Konsekuensinya, tidak jarang murid di sekolah kami datang dari keluarga yang lebih berada daripada keluarga saya saat itu. Dan rupanya hal itu menjadi masalah bagi saya, terutama di kelas 5 dan 6, ketika perkembangan anak-anak mencapai pada tahap kesadaran bahwa tidak semua orang sama, dan orang bisa dinilai dari apa yang mereka miliki, baju dan sepatu yang mereka pakai, bentuk tubuh dan jenis rambut, dan sebagainya termasuk mobil yang dinaikinya.
“Mobilnya Nisa pakai batre!” demikian setiap hari, setiap ada kesempatan, sekelompok murid mentertawakan mobil keluarga yang biasa mengantar-jemput saya dan kakak-kakak saya. Mereka berimajinasi dengan riangnya bahwa mobil tua dan butut seperti itu tidak pakai aki dan bensin, tapi pakai batre. Bahkan mereka bisa lebih kreatif lagi, menggambar mobil di papan tulis, dan mempertegas bagian bawah mobil itu dengan sebuah batrai AA. Jadi kasus “mobil batre” itu sudah umum sekali. Semua anak jadi penasaran, menunggu mobil saya datang dan melihat seburuk apa sih memangnya.
Ada hal lain dari kasus buli yang menurut saya menambah rasa sakit hati saat itu: bystander. Bully (pembuli) adalah orang (atau orang-orang) yang terang-terangan mencela, menghina, dan mengejek saya, sedangkan bystander adalah mereka yang ada di situ tetapi tidak melakukan apapun. Mereka tidak membela saya, mereka tidak menyangkal si bully, dan kadang ikut tertawa, kadang santai saja: “ah itu kan bukan urusanku.” Dan ketika cerita ke suami dengan penuh emosi (hahaha), terlontar dari mulut saya: “heran deh kok temen-temenku juga diam aja ya! Padahal ada yang biasa nebeng juga naik mobilku!”
Suami saya bertanya bagaimana reaksi orang tua saya terhadap hal itu. Orang tua saya tidak pernah tahu akan hal ini, karena saya tidak pernah menceritakannya. Saya seringkali minta supaya dijemput sore sekali, bersama kakak saya yang SMA yang sebenarnya pulang sekolah jam 3 sore (dan saya jam 12.30 siang). Tetapi saya tidak menjelaskan pada mereka bahwa saya tidak mau banyak teman yang melihat mobil saya. Kadang juga saya memilih pulang naik bis, walaupun orang tua saya seringkali tidak setuju. Tentu saja, kalau ada mobil mengapa naik bis, kan?
Saya tidak pernah menceritakan hal tersebut kepada orang tua karena saya tidak tega. Saya tahu kedua orang tua saya bekerja demi anak-anaknya. Demi menyekolahkan kami di sekolah yang baik, supaya kami belajar hal-hal yang baik, yang mereka pikir mereka tidak bisa berikan di rumah (padahal saya belajar banyak sekali dari mereka).
Ya, waktu itu saya baru kelas 5 dan 6 SD, tetapi saya bisa mengerti bahwa orang tua saya pasti sedih kalau tahu anaknya dihina karena keterbatasan mereka. Saya yang belum dewasa itu bisa mengerti bahwa saya harus menjaga perasaan orang tua saya. Dan terus terang saja, itu bukan karena kecerdasan emosi saya unggul. Setelah menjadi guru dan berinteraksi dengan anak-anak, saya tahu bahwa anak-anak mempunyai kemampuan yang tinggi untuk berempati, mengasihi, dan menjaga perasaan orang lain yang mereka sayangi.
Hari ini saya menceritakan kembali "kenangan" itu bukan lagi karena marah, tetapi karena sadar bahwa ada lessons yang saya pelajari, dan bisa saya bagi. Saya yakin tidak ada orang tua yang ingin anaknya menjadi bully (pembuli), sekaligus pastinya tidak mau juga anaknya menjadi victim seperti saya. Tetapi jangan lupa bahwa kita perlu mengajarkan anak untuk tidak menjadi bystander juga.
Terus terang saja, kadang saya masih melihat beberapa orang tua yang mengajarkan anaknya untuk “tidak ikut-ikutan” kalau ada yang nakal di sekolah. Tidak ikut nakal sih saya tentu setuju, tetapi kita perlu lebih jelas mendiskusikan ini dengan anak. Mereka perlu mengerti bahwa tidak berbuat apa-apa ketika ada teman lain kesusahan dan ditindas adalah hal yang tidak bertanggung jawab; dan kalau ia sayang pada teman, ia harus membantu teman yang dibuli. Kalau tidak tahu cara membantu, ia bisa bertanya pada orang dewasa, boleh di rumah atau di sekolah. Next question to reflect: orang dewasa, ya kita-kita ini, siapkah untuk membantu secara bijak? ;)
Pelajaran lain yang saya sadari ketika membahas ini dengan suami adalah tentang pentingnya kita berbagi dengan sesama orang dewasa, guru, orang tua (and thanks to The Urban Mama for this) tentang pengalaman kita dulu di sekolah yang terkait dengan masalah bullying. Iya, pengalaman kita loh, bukan melulu pengalaman anak-anak kita.
Dalam banyak kasus, orang tidak sadar bahwa yang dilakukannya adalah bullying. Mereka mengira itu becanda, lucu, dan jika dilakukan terus menerus teman-teman yang lain akan lebih menyukai mereka (siapa yang tidak suka candaan kan?). Sebagian yang lain menganggap itu adalah tradisi (tradisi gencet-gencetan kakak kelas, ough! Semoga sudah ngga ada ya). Jarang yang aware bahwa impact dari nyela' rambut, warna kulit, sepatu orang lain dsb. bisa sangat besar, dan lama. Maka kalau kita saling berbagi pengalaman tentang bullying, kita bisa lebih mengerti “the other side of the story”. Kejadian dulu yang kita pikir cuma bercanda, ternyata berpotensi untuk menyakiti orang lain. Dan hal tersebut bisa jadi berpengaruh pada cara kita mengajarkan anak untuk sayang pada temannya.
Saat ini sudah banyak seminar, diskusi, buku, film dan sebagainya yang bisa menjadi sumber rujukan tentang bullying. Di samping tips-tips yang ditawarkan dari sumber tersebut, kalau boleh saya menekankan satu hal, bahwa bukan masalah sepatu atau baju, atau dalam kasus saya: mobil, yang perlu diperhatikan oleh orang tua demi menyelamatkan anak dari mejadi victim bullying. Tetapi mungkin perasaan saya ketika itu bisa berbeda jika saya bisa berkomunikasi dengan nyaman dan aman bersama orang dewasa, baik orang tua ataupun guru. Bullying adalah kasus yang cukup rumit, bukan hanya korban, tetapi pelakupun (bully) seringkali adalah anak-anak yang membutuhkan bantuan orang dewasa.
tfs mom. saya termasuk korban bully akut. Bayangkan,saya berasal dari suku yg berbeda dengan rata2 teman di sekolah saya di Bandung, berperawakan berbeda dan cadel. saya baru benar2 sadar betapa menjadi korban bully itu membentuk pribadi saya. setengah mati saya melawan perasaan minder selama masa sekolah. saya selalu ingat pesan ibu yg bilang bahwa tetaplah berbuat baik kepada siapapun, betapapun buruknya perlakuan mereka terrhadap saya. Duh, kayaknya ga selalu tepat begitu. anak juga perlu dididik untuk tahu bahwa dirinya cukup berharga dan setiap insan punya harga diri dan berhak iperlakukan dengan baik.
nice mbk nisa, secara gak langsung nyadarin saya juga nih terkadang klo nge bully orang gak pake pikir2 lagi:D
good article... tsf ya..
Huaaa.. mbak nisaa.. terima kasih ya buat sharing nya.... aku jadi inget pengalaman bullying ku di tk, sd dan smp (hanya kelas 3)....
Waktu aku tk aku pernah gak boleh mainan apa2 di sekolahan.... Ada grup di sekolah yang rumahnya pun deketan dengan rumahku diketuai oleh si A.. dan yeess.. sukses buat aku gak punya vtemen di sekolah.. gak boleh ikutan main bareng... pokoknya semua teman menjauhiku gara2 si A ini. dan aku cuma diem aja. mau cerita ke orang tua.. tapi takut...
Waktu SD aku sekolah di sd negeri.. yak.. kondisi sebaliknya dengan mbak nisa... justru karena keluargaku tergolong "mampu" dibanding kondisi keluarga teman-temanku yang lain dan aku tergolong ranking 5 besar di kelas.. itupun aku sukses menjadi korban bully si A yang kebetulan sekelas. dibilang tukang nyontek lah, dan sebagainya.... yang pasti si A ini sukses membuat aku gak punya teman di sekolah maupun di rumah. sama si A.. Aku pernah sampe akhirnya gak kuat jadi muntah muntah sam pe hampir dibawa ke psikiater.. cuma orang tuaku bilang coba ikhlaskan.. doakan yang terbaik untuk teman-temanmu.. sulit tapi aku memang hanya bisa mendoakan si A dan teman-temanku yang lain...Aku juga sempat inget hobiku waktu sd adalah hanya menonton tv dan tidak berani main keluar.. takut bertemu dengan si A dan tidak kuat dengan omongan sinisnya padaku...
Selama SMP kelas1 dan kelas 2 alhamdulillah aku bisa mempunyai banyak teman.. aku menjadi anak yang mudah bergaul dengan orang lain.. dan dikelas 3 smp aku sekelas lagi dengan si A.. aku pikir kita sudah menjadi teman baik.. ternyata dia menusukku dari belakang.. memfitnahku kalo dari kecil ibuku selalu ke rumahnya untuk menanyakan ranking dan bilang aku iri sama si A(padahal yng mendapat ranking aku dan ibuku sibuk bekerja mana sempat melakukan hal itu).. di bilang aku iri sama dia.. pokoknya sukses buat aku gak punya teman... dan sukses membuat aku tidak mempunyai teman sama sekali di kelas...
Alhamdulillah dari sma hingga kuliah aku bebas bullying karena akupun tidak sepermainan dan tidak 1 sekolah dengan si A.. aku mudah bergaul dan periang.. akU pun dulu sempat berfikir apa ada yang salah dengan aku.. ternyata memang si A yang suka membully dan tidak ada yang salah denganku... Aku sudah memaafkan tapi jujurr mataku masih berkaca2 kalo inget kejadian ini... masa kecil yang menakutkan.. Tapi jujur hal ini membuat saya lebih kuat dalam menjalani hidup kedepannya..
Untuk kedepannya aku akan menjaga hubungan baik dengan anakku agar peristiwa yang aku alamin gak trjadi sama anakku.. Komunikasi saling terbuka sama anak merupakan salah satu solusi untuk mencegah kasus kasus bulyying.... :)
TFS ya Mbak Nisa
Saya pernah mengalami juga sih bullying pas masa SD-SMP
dan trauma nya itu memang membekas banget
komunikasi dengan orang tua memang penting, tapi guru juga tidak boleh tutup mata
karena dari pengalaman saya, seringkali guru yang menjadi bystander
Setuju dengan Bunda Erina,
pendidikan dasar ke anak untuk bisa terbuka dan berani
serta memilih lingkungan yang mendukung pendidikannya
juga memastikan bahwa anak mendapatkan komunitas nya sehingga dia punya tempat untuk berbagi
semoga hal tersebut dapat meminimalisir tindakan bullying ^^