Melahirkan Fatih di Rumah

Oleh Nadia Fajria pada Kamis, 16 Februari 2012
Seputar Our Stories

Dua bulan lalu saya melahirkan Fatih di rumah orang tua saya. Saya memang menginginkan melahirkan di rumah didampingi bidan saja daripada melahirkan di rumah sakit dengan bantuan dokter untuk kelahiran anak ketiga ini. Anak pertama dan kedua lahir dengan proses normal di rumah sakit dengan bantuan dokter kandungan setelah diinduksi. Walau alasan induksi di 2 persalinan itu berbeda, saya tetap ‘trauma’ dengan induksi dan penasaran  ingin merasakan mulas yang timbul secara alami. Selain induksi, intervensi medis lainnya yang saya alami pun cukup banyak.  Jadi ketika hamil anak ketiga, saya menginginkan sesuatu yang berbeda dengan pengalaman sebelumnya.

Kebetulan hamil ketiga ini saya jalani di Indonesia, tepatnya Bekasi, sedangkan dua anak sebelumnya lahir di Singapura saat saya masih bekerja di sana. Sebagai informasi, pemerintah Singapura tidak memberikan pilihan bagi ibu untuk bersalin di rumah. Dokter dan bidan tidak diperkenankan untuk membantu persalinan selain di rumah sakit. Jadi dengan saya berada di Indonesia, saya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan persalinan di rumah.

Sejak kehamilan pertama, saya tidak memandang proses kelahiran anak sebagai sesuatu yang menakutkan. Saya lebih takut jika harus menjalani operasi Caesar daripada sakit kontraksi. Malah saya merasa tertarik untuk merasakan sendiri sakit kontraksi itu. Masa sih Tuhan menciptakan tubuh wanita untuk melahirkan anak tanpa memberikannya kemampuan untuk melakukannya secara alami? Saya yakin saya bisa dan tidak membutuhkan obat-obatan penghilang rasa sakit. Sementara itu pula saya memahami operasi Caesar sebagai prosedur operasi besar dan lebih sakit daripada kontraksi yang dialami pada persalinan normal.

Saya sadar bahwa memutuskan untuk melahirkan di rumah tidak boleh diambil secara asal-asalan. Kita harus memastikan kondisi ibu dan janin sehat dan tidak mempunyai risiko komplikasi seperti tekanan darah tinggi, sungsang, plasenta previa, dan masalah kehamilan lainnya. Alhamdulillah pada 2 anak sebelumnya saya tidak mengalami gangguan kehamilan dan persalinan yang berarti. Saya percaya saya termasuk dalam 95% wanita hamil dengan risiko rendah. Hal ini sangat penting untuk menjalani persalinan di rumah tanpa bantuan dokter. Saya pun tetap rajin periksa kandungan ke dokter sebagai bekal menghadapi persalinan di rumah.

Di masa hamil saya juga berupaya untuk berlatih relaksasi ala hypnobirthing. Sayangnya, saya tidak bisa sering berlatih karena menjelang tidur saya sering sudah terlalu letih dan langsung ketiduran tanpa sempat relaksasi. Saya pun merasa belum bisa mencapai alam bawah sadar untuk menanamkan sugesti positif. Tapi saya yakin bahwa saya sudah mempunyai pandangan yang benar tentang melahirkan bahwa itu adalah suatu proses alamiah yang tidak perlu ditakutkan dan bahwa tubuh saya nantinya akan mampu untuk bersalin secara alamiah tanpa bantuan obat-obatan pengurang rasa sakit. Lagipula berbekal pengalaman dengan dua anak sebelumnya, saya sanggup melaluinya dengan baik tanpa penghilang rasa sakit, jadi saya cukup percaya diri akan bisa melakukannya lagi kali ini.

Rencananya saya akan melahirkan di dalam air alias waterbirth. Persiapan dilakukan termasuk meminjam kolam plastik yang teman saya gunakan untuk persalinannya. Bidan pun sudah dikontak dan menyetujui untuk mendampingi persalinan saya yang diperkirakan sekitar akhir desember 2011. Saya diminta berlatih pernapasan dan relaksasi serta melakukan pijat perineum untuk mengurangi risiko robek di daerah perineum. Kalau melahirkan di rumah sakit, seringnya dokter akan melakukan prosedur Episiotomy, pengguntingan area perineum untuk melebarkan jalan lahir. Saya sudah merasakan episiotomy ini di 2 persalinan sebelumnya dan saya merasakan penyembuhan luka jahitannya memakan waktu cukup lama.

Perkiraan kelahiran menurut USG di trimester pertama adalah tanggal 31 desember 2011. Pengalaman anak kedua saya yang lahir 1 minggu setelah tanggal perkiraan dokter membuat saya santai dalam menanti waktu persalinan. Ditambah dengan adanya acara keluarga yang saya ingin hadiri tanggal 25 desember, saya cukup kaget ketika tanggal 19 desember saya sudah merasakan nyeri di perut. Saat itu sekitar jam 3 pagi saya terbangun akibat nyeri di perut. Saya sempat yakinkan ke diri sendiri bahwa ini adalah sakit kontraksi palsu yang biasa disebut dengan Braxton Hicks. Di hari senin itu saya memang sudah menjadwalkan untuk periksa ke dokter kandungan yang biasa saya kunjungi, namun ternyata takdir menggariskan saya untuk terlambat datang ke klinik dokter dan gagal periksa hari itu. Seharian rasa nyeri timbul tenggelam dan saya masih belum menghubungi bu bidan.

Namun malamnya sekitar pukul 9, lagi-lagi saya terbangun dari tidur karena nyeri di perut. Ternyata lendir darah juga sudah keluar menandakan persalinan sudah dimulai. Sedikit panik, saya menghubungi bidan melaporkan flek dan mulas yang mulai muncul, saat itu kontraksi sudah teratur tiap 7 menit. Di saat yang sama saya baru mengeluarkan kolam plastik yang belum dipompa! Dan ternyata pompa ban yang ada di rumah tidak cocok untuk lubang si kolam. Jadilah malam itu sekitar jam 10, dua orang pembantu di rumah mama keluar rumah mencari tempat pompa ban mobil. Si kolamnya juga berukuran cukup besar dan tidak cukup masuk di mobil, lalu dibawa dengan motor.  Seisi rumah heboh terutama mama yang berulang kali menanyakan apakah bidan sudah dihubungi atau belum.

Anak-anak saya yang tadinya sudah tidur ikut bangun dan ditemani oleh Aki nya di kamar sebelah. Kolam diisi air dingin dahulu sampai setengah penuh yang ternyata cukup memakan waktu. Kontraksi tetap teratur muncul tiap 7 menit. Bu bidan sedang mencari rekan untuk membantu tapi ternyata semua sedang dinas.

Selama kontraksi saya berupaya mengurangi rasa sakit dengan mengambil posisi berlutut di pinggir kasur dan menggerakkan badan saat kontraksi datang. Buat saya, bebas bergerak sangat jauh lebih nyaman daripada tiduran di kasur seperti di masa persalinan anak-anak sebelumnya di rumah sakit. Mama menyuapi saya dengan makanan dan madu untuk menambah tenaga.

Rumah bu bidan memang agak jauh dan di jam 10 malam ternyata cukup sulit untuk mencari tumpangan taksi untuk ke rumah saya. Sampai jam 11 ternyata bu bidan belum juga berangkat sementara kontraksi yang saya rasakan tetap teratur tiap 7 menit dengan durasi 45 detik sampai 1 menit dengan tingkat rasa sakit yang terus bertambah. Di sela-sela kontraksi saya masih sempat chatting dengan teman yang sudah pernah homebirth untuk konsultasi. Karena bidan belum datang juga Mama sempat membujuk saya untuk mau dibawa ke rumah sakit terdekat, tapi saya bersikeras tetap ingin melahirkan di rumah.

Akhirnya dalam usaha untuk memperlambat bukaan sambil menunggu bidan datang, saya diminta untuk berbaring di kasur. Saat itu sudah pukul 11.30 malam dan bu bidan masih belum dapat kendaraan. Suami terus mendampingi saya dan mengingatkan untuk mengatur napas saaat kontraksi datang.  Hal penting untuk bersalin di rumah adalah memasang perlak di tempat tidur supaya kasur tidak kotor. Karena bu bidan yang harusnya mendampingi saya ber waterbirth belum datang, saya tidak berani masuk ke kolam.

Mama mengambil inisiatif untuk menelepon seorang bidan yang masih kerabat keluarga kami sekitar pukul 12 malam. Seperti pada persalinan sebelumnya, saat bukaan leher rahim makin besar, saya merasakan sensasi ingin mendorong/mengejan secara alami. Tiap kontraksi diakhiri dengan dorongan untuk mengejan. Ini juga saya rasakan dan sulit sekali untuk melawannya. Walaupun bidan belum datang, akhirnya pukul 12.30 pagi Fatih lahir dan diterima oleh Mama. Ketuban saya yang belum pecah membuat Fatih lahir ditutupi selaput, suatu pengalaman baru bagi saya karena dahulu ketuban saya selalu dipecahkan oleh dokter, sebagai suatu prosedur yang dimaksudkan untuk mempercepat proses persalinan.

Setelah keluar, saya peluk dan susui Fatih sembari menunggu plasenta lahir. Bidan cadangan datang dan membantu membersihkan bayi. Setelah plasenta lahir, bidan memeriksa luka di jalan lahir dan menjahit robekan yang ada. Alhamdulillah hanya perlu dua jahitan dan menurut bidan lebih baik saat dijahit tidak menggunakan bius. Duh ini nih bagian yang menyakitkan. Alhamdulillah setelah itu luka jahitan tidak terasa dan saya merasa nyaman bergerak kesana kemari. Lalu Fatih ditimbang dan disuntik vitamin K. Berbeda dengan melahirkan di rumah sakit, suasananya menyenangkan karena saya dikelilingi keluarga, termasuk mama mertua yang datang sesaat setelah bayi lahir. Saya juga tidak perlu dipindah-pindah dari ruang bersalin ke ruang perawatan dan juga tanpa kerumitan proses administrasi rumah sakit. Rasanya sangat mudah dan nyaman.

Saya meminta bidan untuk tidak menggunting tali pusat karena saya berencana mempraktekkan lotus birth. Tali pusat dibiarkan tersambung antara pusar bayi dan plasenta sehingga kering sendiri dan lepas dari pusar bayi. Di usia 3 hari, tali pusat sudah mengering dan lepas dari pusar bayi. Setelah puput pusar, Fatih pun bebas untuk dibedong dan dibawa kesana kemari.

Banyak sanak saudara dan teman-teman yang kaget setelah mendengar kisah kelahiran Fatih. Tidak hadirnya bidan saat persalinan dianggap sebagai sesuatu yang agak nekad, tapi itu kan tidak disengaja. Alhamdulillah saya diberi kemudahan dalam proses persalinan dan semua dalam keadaan sehat tanpa komplikasi. Yang pasti saya sudah mendapatkan satu pengalaman persalinan yang sangat berbeda seperti yang saya inginkan sebelumnya. Couldn’t ask for a better delivery :)

49 Komentar
Yulis September 17, 2013 11:16 pm

bolehkah minta email addresnya????

Yulis September 17, 2013 10:59 pm

Saya ngiri banget baca ceritanya.....bisa sharing info ya???? maksudnya lotus birth itu apaan, lalu apa manfaatnya buat baby. Karena kalo nuruti adat jawa...plasenta tuh lgsg dibersihkan kemudian dikubur lalu diterangi lampu!!!!

Tx a lot

chiby mommy December 22, 2012 9:06 am

subhanallah..mbak hebat banget..salut atas keberaniannya

bunda aufa
bunda aufa April 14, 2012 3:45 am

alhamdulilah bunda fatih bisa melahirkan d rmh dgn sehat,,,bacanya ampe perut g enak gini, deg2an ,,,

Cut Fika Lutfi March 22, 2012 9:41 am

Subhanallah, Deg degan deh baca ceritanya