Until Both Your Heart and Head Say "Yes"

Oleh Jihan Davincka pada Jumat, 27 Februari 2015
Seputar Our Stories

Berbicara mengenai pendidikan anak atau apa pun yang berhubungan dengan parenting memang melibatkan banyak hal. Lingkungan dan peranan sekitar tidak bisa dianggap remeh. Tetapi dari mana semuanya bermula tetaplah menjadi bagian utama dari peranan orangtua. Umumnya, dimulai dari sepasang perempuan dan laki-laki yang saling mengikat janji.

Apa yang terjadi dan apa yang dipertimbangkan adalah catatan penting sebelum semuanya bermula.

Seperti salah satu teman saya yang kisah cintanya penuh warna sebelum memutuskan menikah. Saat itu, sang kekasih rasanya sudah oke (hampir) secara keseluruhan. Pendidikan, materi bahkan konon, orangnya juga penyayang dan sangat seru diajak mengobrol. Sayang, sang kekasih posesifnya tingkat tinggi. Teman saya benar-benar tidak nyaman. Hubungan pun bubar.

Yang kedua, kurang asyik diajak mengobrol. Cuma sebentar, putus lagi.

Nah, ada satu yang sebenarnya sudah cocok. Secara fisik dan karakter, juara deh. Istilahnya, sudah 'click'. Namun ada satu hal yang membuat teman saya merasa resah. Teman saya ini perempuan. Kekasihnya sudah bekerja, tetapi penghasilannya di bawah penghasilan teman saya. Sudah sering sang teman bercerita tentang kekasih yang satu ini, tidak pernah tertarik mengembangkan karier lebih jauh. Tidak ada rencana untuk berganti pekerjaan. Tipe santai kayak di pantai. Bisa dibilang tanpa keajaiban, kariernya tidak akan ke mana-mana. Sang teman ini walau tak terlalu ambisius, punya karier yang bagus dengan penghasilan mumpuni.

Karena ia bertanya kepada saya, ya saya jawab jujur, "Kalau saya, tidak akan saya lanjutkan."

"Siapa tahu suatu hari ia akan berubah dan berkembang lebih baik?"

"Apa kira-kira ada tanda-tanda ke arah itu?"

Kembali teman saya menjawab ragu, "Hmmm..."

Kemudian kata sang teman, saya ini mata duitan. Saya sih selalu tertawa kalau ia bilang begitu dan menjawab, "Ini namanya realistis."

Kesetaraan dalam memilih calon pendamping sangat penting. Laki-laki egonya lebih tinggi, ini sudah menjadi ketetapan Sang Pencipta. Memang, definisi kesetaraan untuk tiap orang pasti berbeda-beda tetapi mengingat cara berpikir sang sahabat ini mirip dengan saya dan saling mengenal dekat sudah cukup lama, saya utarakan saja hal tersebut.

Karena pernikahan itu bukan pertemuan sekali seminggu. Bukan janjian makan di rumah makan bagus dan masing-masing hadir dengan selalu berpenampilan ciamik. Hal-hal yang saat ini diabaikan, suatu hari nanti bisa menjadi hal besar. Orang lain mungkin punya prinsip yang berbeda. Namun bagi saya, cinta tak pernah buta.

Kalau urusan taksir-menaksir, ya tak ada kriteria tertentu. Yang mana yang nyaman dilihat, pasti masuk daftar. Tetapi untuk berinteraksi lebih jauh, biasanya patuh pada aturan 'suit for both logic and feeling'.

Ukuran logika kan luas, ya. Pendidikan hanya salah satu faktor. Karakter juga penting. Jika hubungan sudah mengarah serius, mau tak mau harus dipikirkan akan seperti apa kerjasama kami nanti saat berkeluarga dan anak-anak mulai hadir, melengkapi kehidupan kami berdua. Kalau secara fisik menggetarkan, hati pun sudah 'click' tetapi logika saya melawan, saya pilih untuk tidak melanjutkan. Begitu pula sebaliknya. Bertemu yang mantap tapi tak ada getaran dalam hati, biasanya tidak berlanjut. Tak menjamin juga bila rasanya sudah cocok lahir-batin lantas masa-masa pernikahan bisa lancar jaya. Jika memulainya saja sudah tak mantap, apakah tidak akan terasa lebih berat? Walau tentu, terkadang Tuhan punya rahasianya sendiri.

Katanya, jodoh di tangan Tuhan. Benar. Saya amati, tak sedikit yang teman-teman yang masih berstatus 'sendiri', apalagi kalau perempuan, yang gelisah justru karena lingkungan. Ini mengingatkan saya akan sebuah pepatah lama, "Don't let marriage be your social alibi. Do it out of love."

Buang jauh-jauh pemikiran egois. Pernikahan tidak hanya akan menyangkut diri sendiri dan pasangan . Suatu hari akan lahir buah-buah cinta. Kalau akarnya dari awal sudah goyah, bagaimana mau melahirkan dan merawat tunas-tunas yang terbaik. Menikah dengan alasan keyakinan atau agama juga tidak salah. Tetapi sebagai manusia yang diciptakan dengan perangkat hati yang lengkap, keyakinan kepada Tuhan tidak berarti kehilangan penghargaan terhadap diri sendiri dan masa depan kita sebagai salah satu satu ciptaan Tuhan. Pertimbangkan matang-matang. Secara agama bagi yang memiliki keyakinan pribadi tentu wajar saja. Namun jangan sampai membuang jauh-jauh pertimbangan pribadi.

Soal kapan waktu yang tepat memang bukan pilihan semata. Ada campur tangan takdir juga. Bagi yang belum menikah, jangan sampai berputus asa. Sekali lagi, hubungan ini tidak akan terbatas pada hubungan dua orang saja. Jika sudah berani lanjut ke jenjang yang lebih serius, tentu sudah berani menjalani apa pun yang kelak menjadi buah dari keputusan ini. Termasuk kebersamaan dan kekompakan membesarkan anak-anak nanti. Tidak hanya akan menjadi seorang suami atau istri saja. Someday, you're going to be a Mom and a Dad.

Kalau pun dalam kesendirian sekarang ini seseorang telah hadir, setidaknya... tunggulah. Wait until both your head and heart say "Yes".

(gambar: www.freedigitalphotos.net)

Jihan Davincka
Jihan Davincka

Simply a mom of 2, Nabil and Narda. 100% Buginese. Since 2009, living abroad along with her husband. Having many tremendous experiences from Tehran (Iran), Jeddah (Saudi Arabia) and now in Athlone (Ireland).

9 Komentar
Honey Josep
Honey Josep March 6, 2015 1:11 pm

Tulisan mama Jihan selalu bikin ngangguk-ngangguk dan keluar kata-kata " ho oh, iya ya, bener juga..." setiap kali dibaca :)

Jihan Davincka
Jihan Davincka March 3, 2015 11:34 pm

@Cindy, buat anak ceweknya juga ya? :D.

@Ella buat pembaca yang single juga sih hehehe. Dulu, inget pernah ada yang komentar, "Di TUM enggak ada nih tips buat calon mama?" :D.

Gabriella F
Gabriella F March 3, 2015 9:49 pm

Mantap dari awal biar bisa mengatasi semua badai yang datang ya Jihaaan... artikel wajib baca buat anak-anak kita nanti ya...

Cindy Vania
Cindy Vania March 3, 2015 7:48 pm

Nice article mbak Jihan..
Jadi ikutin saran mbak wiwit buat save artikel ini ;)

Jihan Davincka
Jihan Davincka March 2, 2015 3:36 pm

@Teh Ninit, iya Teh, ujung-ujungnya ini masalah tanggung jawab ;). Memilih jodoh pun sebenarnya masalah pertanggungjawaban juga. Sebagai orang tua nantinya.

@Hanana, apa kabar Mbak? Mas-nya apa masih di Saudi ya? hihihihi. Maaf OOT :p

@Eka, salah pilih gak? hehehe

@Bunda Wiwit, waaaaahhh, saya adanya 2 anak laki. Tapi sama aja ya, anak laki juga mesti dicerewetin soal gini-ginian ;)