Anakku Beranjak ABG

Oleh zata ligouw pada Sabtu, 14 Mei 2016
Seputar Our Stories

"A new study conducted by Arizona State University researchers Suniya Luthar and Lucia Ciciolla revealed that the most difficult time of motherhood comes when kids are in middle school. It’s that tumultuous age where puberty, academic pressures and a desire for independence from parents come into play" - source

"Ma, pulang sekolah aku mau mampir ke rumah teman, ya, main sebentar," ujar Abang yang kini sudah duduk di kelas 7.

"Siapa namanya, Bang?"

"Daffa, Ma."

"Rumahnya, di mana?"

"Dekat kok, Ma. Pulangnya aku pake go-jek saja."

"Ke sana mau ngapain? Ngerjain tugas?"

"Nggak Ma, main doang. Kan baru selesai UTS, mau refreshing."

Saya yang sejak tadi bertanya jawab sambil memegang hape langsung menengok. "Refreshing? Sama Mama, Ayah, Caca, dan Adik, saja, yuk, refreshingnya, kita nonton, atau makan..."

"Nggak enak, Ma. Aku udah janji sama mereka."

"Ya sudah. Terus nanti di sana ada siapa saja?"

"Ya, teman-teman sekelas yang lain lah, Ma," jawab si abang lagi, kali ini suaranya mulai meninggi.

"Iya, namanya siapa saja?"

"Ya banyak, Ma. Lagian mMama juga sudah tahu kan kebanyakan temen sekelasku siapa saja?" kini nadanya sudah mulai tidak enak didengar.

"Kamu Mama tanya-tanya gitu, kok, kesel, sih?" nada suara saya balas meninggi.

"Abis mama juga tanyanya begitu, sih!" ujarnya sambil cemberut.

Ya ampun, rasanya dari kecil sampai kelas 6 SD kemarin ia masih sangat manis pada saya. Menjawab semua 'investigasi' dengan sabar, tapi kok akhir-akhir ini mulai berubah, ya? Sering kali ia enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, sudah banyak kegiatan main ke rumah teman meski pun masih tetap mau ikut jika diajak jalan bersama keluarga.



Duh, begini ya rasanya punya anak yang beranjak ABG. Jujur saja, saya pikir saya siap, sudah punya semua amunisi untuk mendampingi anak-anak saya beranjak ABG. Ternyata saya tidak sepenuhnya benar. Maka saat tahu kalau Kampung Keluarga mengadakan seminar yang bertema 'Anakku Beranjak ABG', saya langsung tertarik untuk menghadirinya.


Benar saja, saat mendengar Ibu Rani Razak berbicara tentang tema ini, saya berkali-kali merasa 'tertampar'. Ternyata ada banyak hal yang tanpa sadar sudah saya ketahui, tetapi tidak dijalani dan rasanya sangat menyesal akan hal tersebut. Di sela-sela seminar bahkan saya meneteskan air mata dan sempat mengirim SMS kepada Abang hanya untuk bilang, "Mama sayang Abang."

[caption id="attachment_117009" align="aligncenter" width="620" caption="Honey, Ibu Rani, dan saya"][/caption]




Apa yang kita rasakan?




Bu Rani mengajak kita mengenali apa yang kita sebagai orangtua rasakan dan inilah yang biasanya terjadi:




Kaget dengan perubahan




"Kok, sekarang ia suka dandan, ya?"
"Kenapa sekarang kalau ditanya macam-macam ia jadi jutek, ya?"



Bangga tapi cemas


"Cara berpikirnya sekarang lebih dewasa, ya?"
"Kok, ke mana-mana sudah nggak mau diantar, lagi?"

Salah pengertian: marah, kecewa, dan putus asa


"Abang sekarang nggak suka kalau ditanya-tanya sama Mama" - Padahal sebenarnya ia hanya merasa terganggu dengan gaya bertanya kita yang interogatif, penuh dengan tuduhan dan rasa tidak percaya. Coba deh ingat-ingat lagi, dulu, waktu seumurnya, apakah kita suka diperlakukan seperti itu? Tidak, kan?


Ingin akrab tapi tidak tahu caranya


Berusaha menjadi temannya namun malah terlihat aneh.


Sulit mengarahkan


Rasa frustrasi karena merasa tidak mampu mengarahkan anak-anak sesuai dengan apa yang kita inginkan lalu merasa sedikit gagal sebagai orangtua.

 


Mengapa ini terjadi?


Ada beberapa pemicu yang menyebabkan permasalahan ini terjadi antara lain dendam positif.




Dendam positif


Memaksa anak untuk ikut les piano padahal ia maunya les taekwondo? Langsung mendaftarkannya ikut les matematika padahal tahu anak tidak mau? Coba dicek, apakah itu yang kita inginkan dulu saat beranjak remaja? Ya, bisa jadi ada dendam positif yang menyebabkan ini terjadi.


Saya langsung merasa bersalah saat disadarkan soal ini oleh Bu Rani. Saya seringkali memaksa anak-anak untuk ikut les ini itu sambil berkata, "Kalian sekarang enak, mau les ini itu bisa, dulu Mama mau les ini itu nggak boleh sama Oma." Jadi sebenarnya saya memaksakan kehendak saya pada mereka karena 'dendam positif' saya terhadap masa lalu. Saya tidak ingin merka mengalami hal seperti saya, saya ingin kursus piano saat itu namun tidak diizinkan karena biaya yang terlalu mahal, lalu sekarang saya seenaknya menyuruh mereka belajar piano padahal mereka kurang tertarik.

Rutin mekanistik: waktu terbatas

Karena ibu dan ayah sibuk, anak pun sibuk dengan hal lainnya, sehingga waktu untuk bertemu menjadi sangat terbatas.

Kurangnya pengetahuan tentang pengasuhan anak

Banyak orang tua yang kurang pengetahuannya akan pengasuhan anak yang tepat. Tidak semua orang dapat belajar dengan sendirinya, beberapa perlu banyak membaca dan mencari tahu tentang pola pengasuhan yang tepat bagi mereka dan keluarganya.

Anak dan orangtua berkembang: aktualisasi diri

Misalnya ibu aktif di arisan, komunitas, pengajian, dan sebagainya, sementara anak juga aktif di ekskul, les ini itu, sehingga makin jarang bertemu.

Peralihan antara anak-anak dan dewasa adalah masa yang penuh gejolak (turbulence). Mengapa masa remaja itu rentan? Karena secara fisik mereka sudah 100% berkembang sama seperti orang dewasa, tetapi jati diri visi, serta mental mereka masih belum seperti orang dewasa.

 

Dalam workshop bersama Kampung Keluarga tersebut, Ibu Rani meminta kami untuk bekerja secara berkelompok dan menuliskan apa saja yang kami rasakan waktu kami seusia anak-anak kami sekarang.  Wah, ternyata daftarnya panjang sekali, dari mulai menginginkan sepeda baru, ingin punya baju baru, ingin les ini itu, ingin pacaran, sampai ingin kebebasan!

Nah, kenapa saat sekarang anak merasakan hal yang sama kita justru tidak mau mengerti? Duh, saya benar-benar merasa diingatkan kembali untuk lebih sabar dan mendalami perasaan anak-anak saya, terutama yang sudah beranjak ABG.

[caption id="attachment_117010" align="aligncenter" width="620" caption="kerja kelompok"][/caption]

Akar Permasalahan Remaja


Permasalahan yang terjadi pada mayoritas remaja terjadi karena kesenjangan yang terjadi antara kedewasaan biologis dan kedewasaan psikologis & sosial sehingga terjadi apa yang disebut dengan turbulence tadi.

Permasalahan utamanya adalah KELUARGA, SEKOLAH, dan MATERIALISME.

Pubertas adalah proses kelahiran kedua bagi seorang anak di mana mereka kini telah menjadi pribadi yang baru, pribadi yang dewasa dan keluarga adalah sebuah rahim sosial tempat berkembangnya "janin kedewasaan" pada diri anak.

Tidak berfungsinya keluarga sebagai "rahim sosial" akan menyebabkan "kedewasaan yang prematur" pada anak.

Alternatif keluarga/orang tua bagi anak-anak modern saat ini adalah:


  1. Televisi

  2. Pembantu

  3. Teman sebaya


Banyak penelitian membuktikan bahwa keluarga yang berfungsi dengan baik mampu menjadi benteng pertahanan yang kuat bagi anak dalam menghadapi nilai-nilai negatif yang datang dari luar. Di sekolah pun, tidak banyak yang memiliki dan menerapkan konsep pendewasaan anak dalam sistem pendidikannya karena pada kenyataannya, sekolah modern justru termasuk pihak yang paling bertanggungjawab atas terakumulasinya problem remaja.

Sistem pendidikan modern telah turut menunda "hak" kedewasaan anak. Sekolah hanya peduli dengan penyampaian kurikulum akademiknya sendiri dan tidak terlalu peduli dengan masalah kedewasaan anak atau pun hal-hal penting lainnya yang terkait dengan peserta didik. hal ini malah memperbesar skala gejolak remaja dari tingkat individual ke tingkat kolektif.

Para pendukung materialisme adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap berbagai permasalahan remaja modern. Remaja adalah korban dari sistem masyarakat modern yang diciptakan oleh masyarakat kapitalis-materialis. Bila orangtua, masyarakat, dan para psikolog merasa prihatin dengan berbagai problematika remaja, para pendukung kapitalisme-materialisme justru melihatnya sebagai peluang mencari keuntungan.

Remaja modern sedang mencari jati diri. Ini bisa dianggap sebagai demand dilihat dari sudut pandang ekonomi. maka kaum kapitalis pun memberikan suplai yang menarik. Mereka menjajakan identitas semu (pseudo identity) kepada remaja: artis dan selebritis.

[caption id="attachment_117011" align="aligncenter" width="620" caption="Peserta mempresentasikan hasil kerja kelompok"][/caption]


Apa Solusinya?


1. Pendidikan Agama - Target anak ketika umur 40 tahun

Khusus bagi yang muslim, tertera jelas dalam Al Ahqaf 15 mengenai target saat si anak berumur 40 tahun seperti di bawah ini.

"Dan kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat kebaikan kepada dua ibu bapanya.... Sehingga apabila ia sampai kepada masa balighnya dan sampai empat puluh tahun, ia berkata: Ya, Tuhanku!, berilah taufiq kepadaku supaya aku bersyukur kepada nikmatmu yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada dua ibu bapakku dan supaya aku berbuat amal baik yang Engkau ridhoi, dan berilah keberesan bagi anak dan cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepadaMu dan sesungguhnya aku dari golongan orang-orang yang menyerah diri kepadaMu." - Al Ahqaf : 15

Lalu bagaimana caranya agar anak bisa mencapai target tersebut? Jawabannya tertuang dalam At Thaghabun 14.

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian dari pada istri-istri dan anak-anak kamu adalah musuh bagi kamu. Oleh sebab itu hendaklah kamu awas terhadap mereka. Dan jika kamu ampunkan dan tidak kamu marahi dan kamu tutup dosa-dosa mereka, maka sesungguhnya Allah itu pengampun dan penyayang." - At Thaghabun : 14


 

2. Bangun kedewasaan

Vision

Set a clear goal
Omniscient
Plan
Action

Sebagai orangtua, kita harus punya visi untuk keluarga kita, apa yang kita ingin untuk terjadi. Kalau orangtua tidak punya visi, bagaimana anak akan punya visi?.

Siapkan kemandirian


  • Dorongan membuat sesuatu terjadi. Artinya anak diajarkan untuk bersedia mengambil risiko, berani melewati batas dan bertanggungjawab terhadap konsekuensinya, dalam artian yang baik tentunya.

  • Keinginan untuk merasa mampu & cakap serta menunjukan diri dan memilih.


Batasan

  • Kesehatan

  • Keamanan

  • Kesejahteraan diri/jiwa


Tumbuhkan rasa mampu

Positive reinforcement - kenali dan hargai kejadian kecil sepanjang rutinitas sehari-hari.

Supervisor kemandirian


  • Beri kebebasan

  • Rangsang anak untuk mencoba dan ingin tahu

  • Sediakan kesempatan yang sesuai dengan usia

  • Biarkan anak membuat pilihan, mencicipi kecewa dan selalu siap dengan JPE (jaringan pengaman emosi)

  • Ajarkan life skill


3. Ajarkan nilai-nilai universal


Jika berada dalam situasi emosi yang negatif, reaksi kedua belah pihak akan berlebihan. Orangtua dan anak akan sama-sama menderita. Orangtua harus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam 3 hal, yaitu:

  1. Mengerti perilaku yang lalu

  2. Meramalkan perilaku yang akan datang

  3. Mengarahkan perilaku yang tampil


 

[caption id="attachment_117026" align="aligncenter" width="620" caption="peserta dan pembicara berfoto bersama selesai acara"][/caption]

KUMPULAN TIPS


  • Kenali benar pola mana yang dipakai selama ini, apa yang harus diubah.

  • Belajar mengubah tingkah laku.

  • Berani melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang selama ini dilakukan.

  • Pola baru-sesuaikan perlakuan/gaya pengasuhan dengan kebutuhan dan kematangan anak.

  • Mendengar karena ini adalah dasar dari komunikasi.

  • Dengar dengan tenang, perhatian, tidak memotong dan menghakimi.

  • Gunakan telinga ketiga untuk emmahami kata dan makna di belakangnya.

  • Untuk bicara, cari waktu di mana anak siap dan mau.

  • Jangan sampai perhatian orangtua terbagi saat bicara dan mendengarkan.

  • Kita yang harus berubah dulu karena teladan lebih bermakna dari 1000 kata-kata.

  • Ayah dan ibu adalah penanggung jawab utama.

  • Benahi iman dan ahlak.

  • Sembah Allah serta berbakti kepada orangtua.

  • Harapan serta batasan harus realistis.

  • Perbaiki komunikasi.

  • Beritahu bahwa kebebasan = tanggung jawab.

  • Setiap niat dan tingkah laku ada konsekuensinya.

  • Kami akan membantumu mewujudkan mimpimu, Nak!


Bagaimana urban mama? Semoga kita bisa lebih bisa mengerti anak-anak kita yang sudah beranjak ABG dan bisa memberikan pendidikan yang terbaik untuk mereka.


Kategori Terkait


Tag Terkait

13 Komentar
zata ligouw
zata ligouw May 24, 2016 12:03 am

makasih komentarnya Chika, Ayu, Ai, mba Oney, dan Honie...

Honey Josep
Honey Josep May 23, 2016 12:44 pm

Zata, tfs!

Gak pernah kebayang punya anak mau ABG juga *lirik Darren*

Padahal waktu nikah ngebayangin yang indah indah dan bayi bayi lucu, ternyata oh ternyata... bayi akan tumbuh jadi anak kemudian remaja lalu dewasa. Mudah-mudahan jadi lebih siap lagi setelah baca artikel ini :)

Fioney Sofyan
Fioney Sofyan May 23, 2016 11:39 am

Aduh Mba Zata, I feel you. Berasa punya anak abg gimana ya. Ga tahu dia marah karena hormon atau apa.. Thanks for sharing Mbaaa.

Retno Aini
Retno Aini May 18, 2016 3:21 pm

Thanks ya Zata utk sharingnya. beda rentang umur anak, ternyata beda juga cara buat dealing sama merekanya ya. Jadi orang tua musti dinamis n mau belajar terus...

Ayu Utami
Ayu Utami May 17, 2016 4:50 pm

Mbak Zata, langsung deg2an lho ayu baca intronya di awal, ngebayangin saat Satria beranjak ABG nanti, harus diinget nih, biar siap ngadepin satria nantinya, thanks for share mbak Zata :*

 

Artikel Terbaru
Senin, 09 November 2020 (By Expert)

Mengenal Lebih Dekat Rahasia Manfaat BPJS Sebagai Asuransi Proteksi Kita

Jumat, 25 Desember 2020

6 Keuntungan Tidak Punya Pohon Natal di Rumah

Kamis, 24 Desember 2020

Rahasia kecantikan Alami dari THE FACE SHOP YEHWADAM REVITALIZING

Rabu, 23 Desember 2020

Lentera Lyshus

Selasa, 22 Desember 2020

Different Story in Every Parenting Style

Senin, 21 Desember 2020

Menurut Kamu, Bagaimana?

Jumat, 18 Desember 2020

Santa's Belt Macarons

Selasa, 15 Desember 2020

Christmas Tree Brownies