Be a Lamp, or Lifeboard, or a Ladder

Oleh Jihan Davincka pada Selasa, 29 April 2014
Seputar Our Stories

Florence Nightingale, "The Lady with The Lamp", menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengabdi di dunia medis. Florence Nightingale adalah salah satu tokoh peletak dasar ilmu keperawatan modern.

Beberapa waktu lalu saya tuntas membaca biografinya.

[caption id="" align="alignnone" width="293" caption="gambar: en.wikipedia.org"][/caption]

Ternyata, Florence lahir dari keluarga sangat berada. Di masa itu, Eropa nyaris tidak mengenal kalangan menengah. Seringnya terbagi atas dua golongan saja. Kalau bukan keluarga bangsawan yang kaya raya, berarti super miskin.

Di masa remaja, Florence sudah merasa tersentuh dengan kehidupan golongan bawah yang sering disaksikannya sendiri. Hatinya sudah memberontak. Namun, seolah hidup dalam dua dunia, Florence pun menikmati hura-hura ala kalangan ningrat di masa itu. Untuk beberapa lama Florence sempat melupakan janji sucinya yang dituliskannya dalam buku harian di usia belasan dulu. Untuk mengabdikan hidupnya pada kemanusiaan. Larut dalam kesenangan dan pesta-pesta yang kerap dihadirinya.


Menjelang dewasa, Florence kembali gelisah. Florence merasa bosan dengan hidupnya yang hanya menghabiskan waktu dengan pesta, duduk-duduk di depan perapian hampir sepanjang hari, atau mengobrol hal-hal yang tidak penting dengan sesama teman-teman bangsawannya. Di masa itu, perempuan dari keluarga kaya tidak boleh bekerja. Yang boleh bekerja hanyalah perempuan-perempuan dari kalangan bawah saja. Niat Florence untuk bekerja membuat syok ibu dan kakak perempuannya.


Florence nekat bekerja sukarela di sebuah rumah sakit. Kondisi rumah sakit di masa-masa tersebut sangat mengenaskan. Kotor, jorok, dan sangat ramai. Florence sangat tertekan di antara tekanan batinnya sendiri dan penolakan orangtuanya atas niatnya untuk mengabdi bagi masyarakat.


Bertahun-tahun Florence sakit keras karena menuruti permintaan keluarga besarnya dan mengubur mimpi sucinya. Hingga akhirnya ibunya merelakan Florence bergabung di sebuah komunitias gereja untuk mempelajari ilmu keperawatan.


Begitulah awalnya hingga akhirnya Florence meretas jalan mendirikan sekolah-sekolah perawat dan mengobarkan semangat agar perempuan-perempuan dari keluarga berada menyumbangkan tenaga mereka di dunia medis. Sekaligus melawan dominasi patrialikal yang sangat kental di Eropa zaman itu. Menumbangkan paham bahwa perempuan seharusnya duduk-duduk manis dalam rumah saja mengurus keluarga.


Florence tak pernah menikah hingga akhir hayatnya. Ada dua hal yang menyebabkan Florence hidup berselibat sepanjang hidup. Pertama, ia merasakan ini sebagai panggilan Tuhan. Kedua, Florence merasa ia tak akan sanggup membagi mimpi besarnya ini kepada siapa pun. Ia tak ingin berbagi beban kepada calon anak-anaknya kelak. Belum lagi situasi saat itu tak membiarkan perempuan kalangan atas meninggalkan anak-anak untuk alasan pengabdian pada masyarakat sekali pun.


***


Beberapa tahun lalu, seorang teman lama menghubungi saya beberapa dalam pesan singkat via ponsel. Sapaan biasa ala kawan lama menjelma menjadi curhat.


Ia seorang dokter. Menikah di usia muda sehingga saat meraih gelar dokternya, ia sudah memiliki tiga anak usia kecil-kecil. Tadinya, saya kagum dengan keinginannya untuk mengasuh anak saja dan melepas karier sebagai dokter.


Walau demikian saya sempat 'nyinyir' juga. Kenapa masuk kedokteran kalau begitu? Di universitas negeri pula. Ia sudah merampas hak orang lain yang mungkin memang lebih cocok dan ingin mengabdikan hidup sebagai dokter.


Lama hubungan terputus. Hingga akhirnya ia kembali curhat. Ia gelisah. Ternyata, selama ini ia tidak enak pada keluarga besar dan kenalan yang menghujat niatnya untuk menjadi dokter karena harus banyak meninggalkan anak-anak di rumah dengan pengasuh atau asisten rumah tangga. Padahal suaminya (yang bukan seorang dokter) sangat mendukung niatnya untuk terus berkarier di dunia medis.


Saya langsung memberinya semangat!


Saya tegaskan bahwa saya ini seorang ibu rumah tangga yang memilih untuk di rumah daripada melanjutkan karier di kantor tidak karena perintah siapa pun. Suami saya saja tahu pasti kok, ia tak akan mungkin bisa memerintah saya berhenti bekerja.

Foto: Bersama teman-teman semasa berkantor dulu, memerah susu di Nursery Room untuk ananda tercinta di rumah

Saya jelaskan padanya panjang lebar, ini adalah keputusan saya pribadi. Tidak pernah sedikit pun saya merasa keren, hebat,  atau apa pun hanya karena memillih di rumah padahal saya sudah mengenyam pendidikan tinggi. Simpel. Menjadi wanita karier ternyata bukan panggilan jiwa saya. Walau butuh bertahun-tahun untuk menggali, Alhamdulillah saya sudah menggenggam sebuah passion sejati erat-erat dalam hati saya. Kebetulan saja, passion itu memungkinkan saya di rumah sepanjang hari.


Saya semangati teman saya. Saya minta ia cari pengasuh anak yang baik atau menitip pada kerabat lain anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Toh, ia mengaku tersiksa juga dan tidak benar-benar ikhlas melepaskan niatnya untuk mengabdi menjadi dokter.


Jadi, apa gunanya ia di rumah? Mana bisa ia membesarkan anak-anak dengan bahagia kalau siksaan batinnya seperti itu?


Alhamdulillah. Walau ia cerita susah sekali mencari beasiswa spesialis yang biayanya selangit itu dan harus bersaing dengan banyak dokter muda,dia akhirnya berhasil. I'm proud of you, my girl. Tidak ada kata terlambat.


Untuk dua profesi khusus ini: pengajar dan dokter, saya tak pernah segan-segan meminta teman-teman perempuan saya untuk menguatkan hati dan meneruskan pengabdian untuk masyarakat. Tapi niatnya harus benar. Kecuali jika dengan ikhlas mereka memilih untuk 'stay at home'. Saya ingat kata-kata Ibu Risma di Mata Najwa waktu itu, "Saya minta Tuhan yang menjaga anak-anak saya." Saking sibuknya mengurus Surabaya, Ibu Risma mengaku, ia sampai tak punya waktu lagi untuk mengurus para buah hatinya.


***


Saya yakin sekali, kita tidak diciptakan seragam. Termasuk kaum perempuan. Menjadi perempuan itu memang serba salah, ya. Tekanan terbesar justru datang dari peer pressure.


It really breaks my heart ketika tempo hari beredar sebuah gambar dengan kata-kata yang menusuk hati. Bahkan untuk saya yang seharusnya tidak perlu tersinggung dengan gambar tersebut. Kata-katanya halus, tetapi menghujam tepat di ulu hati. Tak heran setelah itu banyak teman-teman perempuan yang berpredikat 'ibu kantoran' curhat di status masing-masing.


Gambar tersebut menyindir ibu-ibu yang menitipkan pengasuhan anaknya kepada pengasuh anak/ART dengan sebuah percakapan seorng anak dan ibunya. Sang anak digambarkan sedih karena sang ibu konon tidak rela menyerahkan perhiasan berharganya kepada ART tapi menyerahkan pengasuhan anaknya kepada mereka.


Sebuah justifikasi yang justru membuat saya sedih. Why do we have to judge each other?


Seharusnya kita, para perempuan yang kini sudah punya predikat tambahan sebagai ibu, saling menyemangati untuk menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing.


Daripada menghina mereka, ibu kantoran, yang tak sanggup memberikan ASI kepada buah hati, kita desak saja pemerintah untuk memberikan cuti setahun penuh kepada ibu-ibu bekerja yang baru melahirkan. Seperti di negara-negara maju. Cuti setahun plus digaji pula. 


Daripada meremehkan mereka yang lulusan perguruan tinggi ternama tapi memilih berada di rumah, kita desak pemerintah menyediakan internet cepat dan murah. Saya tahu pasti dan bergabung di banyak komunitas di mana isinya adalah stay at home Moms yang tetap aktif mencari penghasilan via internet.


Kita harusnya bersatu menyuarakan hak dan kepentingan kita. Bukannya malah perang sendiri dan saling mengobarkan propaganda yang menjatuhkan.


Ingatlah Florence Nightingale yang begitu sulit mendobrak dinding yang membatasi gerak perempuan di zamannya. Ingatlah Ibu Risma yang berbesar hati mengabdikan kemampuannya untuk masyarakat Surabaya lebih dari baktinya untuk keluarganya sendiri.


Memangnya ingin ya, semua perempuan punya pikiran yang sama? Terus tidak akan ada dokter perempuan? Tidak boleh ada perawat perempuan? Dosen dan guru pun hanya boleh untuk laki-laki saja? Itukah yang kita inginkan?


Di masa sekarang, semua perempuan harusnya bisa menjalani peranan apa pun tanpa tekanan apa-apa. Asal ingat, sekali lagi niatnya harus benar. Untuk mereka yang memilih tetap aktif di luar rumah setelah memiliki anak selalu rapalkan dalam hati untuk luruskan niat, luruskan niat. Selalu meluruskan niat.


Perempuan hebat adalah mereka yang bangga menjadi dirinya sendiri. Menebar inspirasi positif tanpa membuahkan energi negatif .


Pick your own path. Yakini keputusan sendiri tanpa merasa perlu menghujat orang lain dengan pilihan yang berbeda.


For the power of all women in the whole world, apakah memilih untuk menjadi stay at home mom, menghabiskan waktu lebih banyak di dapur, menenggelamkan hari dengan buku-buku, berkarier di kantor, mengabdi di rumah sakit, membagi ilmu di sekolah/kampus, menulis di blog, sekadar berbagi tips masak di grup-grup WA, whatever it is... just be the best version of you.


Mari saling melengkapi.


***


Be a lamp, or a lifeboat, or a ladder.
Help someone`s soul heal.
Walk out of your house like a shepherd.


-Rumi-


featured image credit: gettyimages.com

Jihan Davincka
Jihan Davincka

Simply a mom of 2, Nabil and Narda. 100% Buginese. Since 2009, living abroad along with her husband. Having many tremendous experiences from Tehran (Iran), Jeddah (Saudi Arabia) and now in Athlone (Ireland).

13 Komentar
bunda dayana May 16, 2014 5:29 pm

Baguuus bangeet..sangat bijak.
terima kasih untuk menambah pembelajaran saya hari ini.

Indah Sri Mulyani
Indah Sri Mulyani May 13, 2014 7:31 pm

Aduh mbak Jihan, njenengan membuat saya nangis lagi setelah sekian lama tidak nangis. Saya seorang guru, juga ibu 1 putra. Di kantor, alhamdulillah para Bapak pemegang keputusan selalu mempertimbangkan ibu2 yang punya anak kecil. Betul2 saya bersyukur, sehingga bisa punya quality time 5 jam dengan anak saya yang jam 7 malam sudah tidur. Setiap tugas, kita laksanakan dengan penuh tanggung jawab, setiap waktu bersama anak, juga kita nikmati sepenuh hati. Saya meyakini itu. ketika kantor meminta waktu lebih, maka anak akan mengerti. Ketika anak minta perhatian lebih, kantor juga akan mengerti. Intinya, beri dua2nya kepercayaan.

meilina
meilina May 12, 2014 7:31 am

thank you mba jihan, aku ibu bekerja punya 1 anak dan sedang hamil, sempet juga pernah dapat postingan gambar itu, sejenak kesal, tp aku ambil positifnya, bahwa ibu bekerja ingat ada prioritasnya, anak adalah segalanya. Trus aku selalu pegang prinsip ini: "Being a Working Mom or Full Time Mom is not a dilemma is a blessing", banyak yang bilang ga mungkin bisa seperti itu, tp ya aku merasa nyaman dengan punya mindset ini. Karena itu, kita terus berusaha dan berdoa bahwa anak kita bisa bertumbuh sehat, dan pastinya tangan Tuhan gak kurang panjang untuk memelihara dan melindungi anak2 kita.

cynkoirewa
cynkoirewa May 11, 2014 11:20 pm

menjadi full time mother ato ibu yang nyambil kerja itu adalah pilihan dengan latar belakang dan alasan masing-masing seorang ibu.

bunda_rizma
bunda_rizma May 6, 2014 10:00 am

bagus bgt artikelnya.
-terus luruskan niat-
"ga peduli apa kata orang, hanya Tuhan yg Maha tau niat mulia kita."

 

Artikel Terbaru
Senin, 09 November 2020 (By Expert)

Mengenal Lebih Dekat Rahasia Manfaat BPJS Sebagai Asuransi Proteksi Kita

Jumat, 25 Desember 2020

6 Keuntungan Tidak Punya Pohon Natal di Rumah

Kamis, 24 Desember 2020

Rahasia kecantikan Alami dari THE FACE SHOP YEHWADAM REVITALIZING

Rabu, 23 Desember 2020

Lentera Lyshus

Selasa, 22 Desember 2020

Different Story in Every Parenting Style

Senin, 21 Desember 2020

Menurut Kamu, Bagaimana?

Jumat, 18 Desember 2020

Santa's Belt Macarons

Selasa, 15 Desember 2020

Christmas Tree Brownies