Healing Baby Blues with Breastfeeding

Oleh Rebekka Irnawati pada Senin, 14 Mei 2012
Seputar Our Stories

Mendekati 40 minggu kehamilan, saya makin tidak sabar untuk segera bertemu dengan bayi saya. Semua perlengkapan bayi sudah saya persiapkan dan saya juga sudah melahap semua informasi tentang bayi mulai dari cara memahami arti tangisan dan menanganinya, cara memandikan dan memijat bayi, posisi menyusui bayi, cara mencuci baju bayi dan berbagai hal lain tentang bayi. Ini adalah anak pertama kami yang akan menjadi "panggoaran" atau yang dalam adat Batak merupakan sebutan bagi kami orangtuanya. Karena ketika sudah memiliki anak, kami tidak lagi dipanggil dengan nama kami, melainkan dipanggil dengan "Bapak... (nama anak pertama) atau Mama... (nama anak pertama). Wow... She's so special.

Saya masih ingat betapa semangatnya saya mencuci baju bajunya dan mengelus perut saya kemudian  berkata "Mama sudah siap nih, Nak, ayo cepat keluar kita main sama-sama."


Perkiraan dokter, dia akan lahir pada 6 November 2011, tapi akhir bulan Oktober tiba-tiba air ketuban saya pecah dan saya pun dilarikan ke rumah sakit. Akhirnya setelah 24 jam saya berada di ruang persalinan, dengan rasa sakit yang luar biasa bayi saya lahir dengan selamat.

Pertemuan pertama dengan bayi yang saya beri nama Chila tidaklah seperti pekiraan saya. Semasa kehamilan saya selalu berangan-angan bahwa pertemuan itu sungguhlah mengharukan, Chila akan diletakkan di dada saya untuk inisiasi menyusui dini, kemudian saya menyapanya dan dibalas dengan tatapan matanya. Namun tidak ada yang seperti itu, karena saat Chila keluar, tiap adegan berlangsung dengan cepat dan "rusuh". Chila langsung dilap dan dihanduki. Sementara itu dokter masih menjahit luka robek persalinan saya dan bidan menekan-nekan perut saya untuk mengeluarkan darah. Setelah dihanduki Chila diberikan di samping saya, saya kaget dengan bentuk rupa Chila. Badannya keriput, mata dan bibirnya merah, kepalanya lonjong dan kecil sekali, hanya seukuran botol air mineral. Saya hanya menyapanya "halo" kemudian tidak mau melihat dia lama-lama karena takut melihat kepala Chila yang begitu lonjong dan berdenyut denyut. Suster pun segera mengambil Chila untuk dirawat diruang bayi. Tidak ada proses IMD yang sejak awal saya ajukan kepada pihak rumah sakit. Suami keluar menemani suster ke ruang bayi, suami saya menangis terharu saat itu. Saya hanya merasakan rasa lega dan lelah luar biasa.

Setelah dipindahkan ke ruang perawatan, suster memberi tahu bahwa saya tidak diperbolehkan menyusui karena obat dari infus. Informasi yang diberikan pun tidak jelas karena diterjemahkan untuk kami oleh teman warga negara Korea. Suster menginformasikan bahwa Chila akan diberikan susu formula dan air glukosa sebagai pengganti ASI. Beruntung semasa kehamilan saya banyak mencari info mengenai ASI. Saya tahu bayi bisa bertahan selama 3 hari setelah dilahirkan tanpa asupan makanan apa pun. Saya menolak Chila diberikan susu formula atau air glukosa.

Sorenya saya menghubungi ruang bayi, saya memohon supaya Chila hanya diberikan ASI. Saya sangat bersemangat sekali untuk ASI eksklusif. Setiap 2 jam suster pun menelepon ke kamar saya untuk datang ke ruang bayi. Selama 3 hari perawatan bayi hanya berada di ruangannya tidak bisa dibawa ke ruang rawat ibunya. Saya tidak bisa berdebat untuk rooming-in atau meminta Chila dibawa ke kamar saya untuk disusui. Dengan kondisi badan yang sangat lemas dan luka jahitan yang masih sakit, saya berjalan menuju ruang bayi. Ruang bayi terlihat seperti akuarium besar dengan kaca lebar yang di dalamnya berisi puluhan bayi, ada yang tidur, menangis, ada juga yang digendong susternya sambil diberikan susu formula.

Saya menelepon ke dalam dan menyebutkan nomor bayi saya "chil bon egi juseyo" yang artinya "bayi nomor tujuh, please" saya pun masuk ke ruang menyusui, mencuci tangan dan duduk di sofa yang diberikan bantal berbentuk donat untuk mengurangi rasa sakit di bekas jahitan. Suster  masuk membawa  Chila dan memberikannya kepada saya. Setelah dilahirkan pukul 16.00, baru pada pukul 11.00 siang berikutnya, saya bisa menggendongnya untuk pertama kali. Padahal seharusnya bayi cepat dipertemukan dengan ibunya agar dapat disusui dan membangun ikatan batin. Lagi-lagi karena kendala bahasa, saya tidak bisa berdebat untuk hal itu. Kepala Chila sudah tidak lonjong lagi, matanya berkedip, mulutnya terbuka tertutup. Saya mencoba menggoda Chila, tetapi tidak ada reaksi.

Setelah memberikan Chila, suster langsung meninggalkan saya. Saya bingung bagaimana saya harus menyusuinya. Saya tidak mengerti caranya. Saya melirik ke kanan dan ke kiri melihat cara ibu-ibu menyusui dan menirunya, tetapi Chila hanya tertidur lelap. Begitu terus setiap 2 jam saya terseok-seok menuju ruang bayi untuk menyusui. Yang awalnya saya sangat bersemangat untuk menyusui, lama-kelamaan saya menjadi tersiksa dengan kegiatan ini selama di rumah sakit.

Sepulangnya dari rumah sakit, saya masih ceria dengan adanya anggota baru keluarga kami. Teman-teman juga datang untuk melihat Chila. Hampir semuanya berkomentar bahwa Chila mirip sekali dengan papanya. Saya menjadi sedih, kok saya yang setengah mati kesakitan melahirkan Chila, tapi semua bilang lebih mirip papanya. Tidak adil!

Malam pertama Chila tidur di rumah sangat membuat saya syok, karena selama di rumah sakit saya tidak pernah rooming-in. Jadi saya tidak tahu bagaimana keadaan di malam hari bersama bayi. Semua informasi yang pernah saya baca, menguap begitu saja. Chila buang air besar dan kecil berkali-kali, menangis tidak berhenti. Saya jadi lupa arti tangisan bayi karena saya benar-benar panik ketika Chila menangis. Kulit dan mata Chila berwarna kuning. Chila terlihat menyeramkan. Abang, suami saya, memasang alarm setiap 2 jam sekali agar kami bangun dan menyusui Chila. Chila hanya tertidur dan tak bereaksi. Kami elus pipi dan kupingnya, mengelitik kakinya, membuka bedong, bahkan menelanjanginya!! Tapi Chila tertidur lelap sekali. Saya berpikir dalam hati "Mama juga mengantuk!! Mau tidur, tapi kamu harus menyusu, Nak!! Kamu kan kuning."


Suami terus menyemangati saya untuk menyusui, saya mulai merasa terpaksa untuk menyusui Chila. Tubuh saya mulai lelah karena kurang tidur, luka jahitan masih sakit sekali ketika duduk, obat pengurang nyeri yang diberikan membuat saya gatal-gatal karena alergi, serta meriang setiap malam karena payudara yang penuh ASI. Saya tiba-tiba berkata pada suami "Kita kasih saja sufor yang dikasih rumah sakit, Bang!" Emosi saya benar benar labil dan terguncang, padahal dulu saya yang paling semangat kampanye tentang ASI pada suami. Tapi untungnya suami tidak langsung menuruti saya yang sedang labil. Abang bilang "Sudah kita coba hapuskan saja opsi tentang sufor, ya..."

Suami pun mengusulkan supaya dia yang memberi ASIP di malam hari agar saya bisa beristirahat. Saya perah ASI dan saya pun tidur sambil menggigil, meriang setiap malam. Pada malam hari dalam keadaan lemah saya terbangun, melihat suami sedang menggendong Chila dan memberinya ASIP. Saya merasa kasihan sekali melihat Abang yang mengantuk. Abang bilang "Sudah kamu tidur saja, Sayang." Saya pun tertidur sambil menangis.

Hari ke-3, suasana di rumah masih tetap sama. Sepi sendu di siang hari dan mencekam di malam hari karena tangisan Chila yang tidak berhenti. Diperparah dengan puting saya yang terbelah dan berdarah karena Chila belum bisa menyusu dengan benar. Sakitnya seperti disayat pisau walaupun hanya bersentuhan dengan baju. Saya tidur berdua dengan Chila sementara Abang tidur di sofa, saya menangis semalaman, tidak menyangka bahwa akan jadi seperti ini. Saya seperti menolak kehadiran Chila, saya tertekan sekali saat itu. Semua benar-benar hanya saya dan suami yang kerjakan tidak ada yang membantu kami.

Sampai akhirnya cuti suami untuk istri hamil selama 3 hari berakhir. Saya ketakutan setengah mati. Saya tidak tidur di malam hari maupun siang, karena saya takut kalau saya sudah nyenyak tiba-tiba Chila nangis. Saya termasuk tipe orang yang suka kesal kalau dibangunkan karena bangun mendadak bikin pusing. Ketika Chila menangis, saya ikut menangis. Bahkan saya pernah berteriak sewaktu Chila nangis "Diam! Mau kamu apa?" Di malam hari saya mengajak suami untuk tidur bersama  di tempat tidur, bukan di sofa. Selain karena saya kasihan, saya juga tidak nyaman berdua dengan Chila saja di tempat tidur. Entah kenapa saya bisa begitu. Akhirnya kami tidur bertiga dengan posisi horizontal supaya muat. Chila di pojok, saya di tengah dan abang di pinggir.

Sehabis menyusui, saya letakkan Chila dan saya langsung tidur menghadap Abang tetapi memunggungi Chila. Abang bilang "Kita tidurnya menghadap ke Chila dong, kasihan dia sendirian!" Saya pun menangis, tidak jelas sebabnya. "Tidak mau, aku mau sama Abang aja!" jawab saya.

Pernah kami sampai bertengkar karena situasi ini, saat Chila menangis terus, saya bilang ke Abang "Tidak enak ya rumah kita jadi berisik!" Abang yang saat itu juga dalam keadaan capek luar biasa menjawab ketus "Masih mending anak kecil yang berisik, daripada orang dewasa yang berisik!" Saya menangis makin menjadi-jadi, Abang pun membawa Chila keluar karena pusing mendengar dua orang menangis bersahutan. Semua rasanya menjadi frustrasi.

Saya merenung sendiri kenapa bisa jadi seperti ini. Banyak orang yang menginginkan anak, tetapi tidak punya. Anak ini yang dulu saya sayang-sayang di dalam kandungan, mengapa sekarang saya menolaknya. Suatu hari saat sedang menyusui, tangan saya ingin mengambil handphone tetapi tangan Chila menangkap tangan saya lalu digenggam erat sekali seperti tidak mau dilepaskan. Momen itu sangat berkesan sekali. Saya merasa bersalah punya perasaan menolak Chila walaupun kata orang itu disebabkan oleh hormon. Cara Chila menggenggam tangan saya seperti ingin bilang "Aku sayang Mama, jangan tolak aku, ya". Setelah menyusu, Chila tertidur dan tersenyum, bahkan tertawa. Kejadian itu membuat saya kembali bersemangat menyusui Chila. Setiap hari saya melakukan "prosesi" skin to skin dengan Chila. Saya mulai mencoba berpikir bahwa Chila menangis karena memang seperti itu caranya berbicara. Saya membanggakan dan memuji diri sendiri yang bisa melakukan semua pekerjaan merawat bayi tanpa dibantu siapa pun agar saya tidak stres. Saya banyak curhat dengan teman teman yang juga baru melahirkan agar tidak merasa sendirian.

 

Tanpa terasa waktu berjalan, baby blues saya hilang tanpa saya sadari. Saya jadi menikmati kebersamaan saya bersama Chila. Saya sudah tidak takut ditinggal berdua saja dengan Chila. Chila sekarang makin bertumbuh, makin montok, dan makin cantik. Kalau saya pergi tanpa Chila, pasti saya ingin cepat pulang karena kangen. Saya bersyukur sekali bisa diberi anugerah anak selucu ini, Chila sangat murah senyum!

Baby blues memang tidak bisa dihindari tetapi kita bisa meringankannya dengan berpikir positif. Kalau memungkinkan setelah melahirkan sebaiknya ada yang membantu, karena rasa capek membuat kita jadi mudah stres.


Menyusui juga bukan sekadar "memberi makan" bayi kita. Menyusui bisa membantu kita menciptakan kontak batin dengan bayi kita. Menyusui jugalah yang membantu saya bisa sembuh dari baby blues.

Kategori Terkait


Tag Terkait

31 Komentar
Suci R Putri June 22, 2013 8:17 pm

senangnya...;)

Ranti Rizanti
Ranti Rizanti January 25, 2013 10:06 pm

wah.. baca artikel-nya, jadi inget pengalamanku waktu baru melahirkan...

rasanya mirip banget... dari yg awalnya SENENG BANGET setelah berhasil melahirkan,, eh tau2 BINGUNG, berusaha mengerti tangisan Ibra; CEMBURU, waktu ngeliat keluarga kok lebih perhatian ke dia daripada ibunya...hmmmm..campur2...

tp alhamdulillah, udah lewat deh Baby Blues-nya...
ternyata bener yaa; anak itu Anugrah sekaligus Cobaan..

Salam MommyMinjee, artikelnya baguus! kalo banyak artikel kayak gini, siapa tau calon2 ibu lain jadi lebih siap dan ga kena baby blues..
Baby blues bukannya ga bersyukur yaa; tapi bagian dari PROSES untuk belajar bersyukur :)

Asih Nuraini
Asih Nuraini June 28, 2012 9:09 pm

Pengalaman yang sama... Untungnya setiap malam saya msih ditunggu umi saya.. Siang pun sendirian.. Ini saja saya sempat anemia dan merasa sendiri.. Puting pun berdarah.. Rasanya nyeri sekali... Sampai saya tanya teman2 lain ternyata pengalaman mereka sama.. Jadi pikir positif semua ibu pasti ngalamin fase ini.. Sekarang saya sudah mau masuk kantor lg.. Suka nangis sendiri kalo mikir bakalan berkurang wktu untuk ketemu anakku...

Rebekka Irnawati
Rebekka Irnawati May 26, 2012 9:22 am

Salam kenal jg.. Iya makin lama bayi emang lucuuu... Pdhl pas lahiran ceyyeeem... Hihihihi!

Farah Faizah May 25, 2012 7:49 pm

bayi nya lucu bangettt,, salam kenal ya Mba.