Syarat Hidup

Oleh Adhitya pada Senin, 03 Desember 2018
Seputar Our Stories
Syarat Hidup

Generasi Sebelumnya

Ada seorang operations manager dari klien kantor yang diundang makan siang dan ternyata nasinya keras. Saat kami meminta maaf, ia menjawab,

“Tidak apa-apa. Justru saya suka nasi keras. ”
“Kok sukanya nasi yang keras, Pak?” I cannot help but to ask.
“Iya, orangtua saya mengajarkan agar jangan pernah buang makanan. Nasi kemarin juga dimakan.”

This may be simple. But this, blew my mind.

Setelah menjadi orangtua, saya melihat banyak orangtua mengambil langkah yang tidak disadari mereka ada dampaknya pada anak-anak. Contohnya:

“Saya waktu kecil, miskin. Saya pastikan anak-anak saya mendapatkan yang terbaik, termahal.”
“Waktu kecil, saya makan saja susah. Saya pastikan mereka itu sekarang makan enak.”
“Waktu kecil, saya belajar ditemani lilin dan buku. Sekarang saya kirim anak saya sekolah ke Inggris.”

We experienced the worst and therefore we tend to give the best. The question is, is the best... is what our children need? Really?

Orang sukses itu menjadi sukses karena (1) dididik dengan benar, terlepas dari dari apakah dia kaya atau miskin (2) dididik oleh kesulitan yang ia hadapi.

Kita akui ada anak orang kaya yang tetap jempolan attitude dan perjuangannya. Namun kita lihat kebanyakan orang sukses juga dulunya susah. Kesulitan (dalam beberapa kasus, kemiskinan) itu yang mendorong orang-orang untuk menjadi sukses. Ini adalah resep yang nyata. Kesulitan yang orang-orang sukses ini hadapi adalah ladang ujian di mana mereka menempa diri mereka menjadi orang sukses.

Pertanyaannya, jika kita ingin mencetak anak-anak yang bermental baja, mengapa kita justru memberikan semua kemudahan? Mengapa justru kita hilangkan semua kesulitan itu?

Karena dengan menghilangkan kesulitan-kesulitan itu, justru kita menciptakan generasi yang syarat hidupnya banyak.

Generasi Berikutnya

Apa yang terjadi dengan dari hasil pemikiran ‘dulu saya susah, saya tidak ingin anak saya susah’? Ini yang terjadi:

Anak teman ibu saya terbiasa makan beras impor Thailand. Pada tahun 1998, kita terkena krisis dan orangtuanya tidak mampu lagi beli beras impor. Yang terjadi adalah anaknya tidak bisa makan.
Ada anak teman yang terbiasa makan es krim Haagen Dasz, ketika pertama kali makan es krim lokal, ia muntah.
Ada cucu yang mengamuk di rumah neneknya, karena di rumah nenek tidak ada air panas.

Saya tidak mencibir mereka. Apa adanya seorang manusia itu terjadi dari nature dan nurture. Semua ini adalah nurture.

Bahkan di kantor pun sama. Di kantor kebetulan saya menjadi  mentor seseorang. Pada sebuah kesempatan, ia pernah berkata “Duh, gak nyaman di posisi ini.”
Di lain kesempatan, “Sayang ya, si X resign, padahal ia membuat saya nyaman di kantor ini.”
Saat kedua kalinya saya mendengar ia berkata demikian, saya berkata, “Kamu sadar gak, kamu sudah dua kali menggarisbawahi bahwa kenyamanan dalam kerja itu, penting bagi kamu.”
“…”

“Memang sih idealnya nyaman. Tapi sayangnya, this is life. We don’t get to pick ideal situations. Sometimes we need to settle with what we have and deal with it.

Tentang kenyamanan, coba jadikan itu sebagai sesuatu yang ‘nice to have’ dan bukan ‘must have’.”

What to Do?

Saya menyukai cara Sultan Jogja mendidik anak-anaknya. Saya pernah dengar bahwa saat batita, anak sultan dikirim untuk hidup di desa. Makan susah, main tanah, mandi di sumur. Intinya, meski ia anak sultan, ia tidak tahu bahwa ia anak sultan dan ia merasakan standar hidup yang rendah – dan merasa cukup dengan itu. Setelah agak besar, ia kembali ke istana. Dampaknya, semua Sultan, bersikap merakyat. Ia makan steak, tapi ia tahu bahwa steak yang ia makan adalah sebuah kemewahan. Bukan suatu syarat hidup minimum.

Saya pun memiliki syarat-syarat hidup. Sejak menjadi seorang bapak, saya berubah total dan saya kikis hilang semua itu. Saya tidak ingin anak-anak memiliki syarat hidup yang banyak. Satu-satunya cara memastikan hal itu adalah dengan mencontohkan bahwa saya juga tidak memiliki syarat hidup banyak.

    • Saya memilih untuk mengajak mereka naik Kopaja atau Transjakarta setiap hari ke sekolah, sebelum mereka merasakan bahwa naik angkutan umum itu rendah.
    • Saya memilih untuk membiarkan mereka ketiduran di lantai dan tidak langsung mengangkatnya. Siapa tahu suatu saat nanti mereka berhadapan dengan situasi begitu.
    • Saya memilih untuk mematikan AC saat mereka tidur – siapa tahu mereka suatu hari nanti tidak mampu punya AC.
    • Saya memilih untuk  tidak memasang instalasi air panas karena saya mau anak-anak baik-baik saja jika suatu saat nanti mereka tiap hari harus mandi air dingin.
    • Saya memilih untuk melarang mereka main tablet karena ingin mereka tidak tergantung dengan kemewahan itu.
    • Saya melarang mereka menilai teman dari merek mobil mereka karena merek mobil itu tidak pernah penting, dan tidak akan penting.


Kami pergi ke mal naik Kopaja. Kami bisa merasa senang  dan tertawa-tawa di Kopaja, seperti jutaan orang lain. Saya tidak membuang nasi kemarin yang memang masih bagus. Kami memakannya bersama-sama. Siapa tahu suatu saat, yang seperti ini yang mampu mereka beli. Agak keras. Dan kami menyukainya.

We teach them to pursue happiness so that they learn the value and purposes of things. Not the price of things.

Nasi kemarin yang bagus dan layak dimakan, masih punya nilai. Kopaja dan Mercy punya fungsi yang sama, yaitu mengantar kita ke suatu tempat. Dengan AC atau tanpa AC memberikan nilai yang sama. A good night sleep.

Mengapa semua ini penting? Kita harus ingat bahwa generasi orangtua kita adalah generasi yang bersaing dengan 3 miliar orang. Mereka bisa mengumpulkan kekayaan dan membeli kemudahan untuk generasi kita. Kita harus bersaing dengan 7 miliar orang. Anak kita nanti mungkin harus bersaing dengan 12 miliar orang di generasi mereka.

Anak-anak harus menjadi anak yang benar-benar tangguh untuk bisa berkompetisi dengan 12 miliar orang. Dan percayalah, memiliki syarat hidup yang banyak, tidak akan membantu anak-anak kita bersaing dengan 12 miliar orang itu.

Kategori Terkait


Tag Terkait

29 Komentar
Lita Hapsari
Lita Hapsari December 10, 2018 9:46 am

Setuju dengan semua penuturan Kang Adhit. Membesarkan anak berdaya juang tinggi di era penuh kemudahan menjadi satu tantangan bagi orangtua muda seperti saya. Terus menginspirasi ya Kang Adhit! Terima kasih atas artikelnya TUM.

Febi
Febi December 4, 2018 1:14 pm

Pengakuan dosa dulu sama Kang Adhit dan TUM. Saya adalah salah satu oknum yang mem-posting SS WhatsApp message yang berisikan tulisan Kang Adhit, namun kreditnya anonim. Sebelum tahu bahwa itu adalah tulisan Kang Adhit aja, saya sudah berdecak kagum dan berpikir, "Wah, ini siapa sih penulisnya, ngena banget." Daaan ternyata Kang Adhit penulisnya. Gak heran :)

Btw, aku bersyukur banget baca tulisan ini. Jujur, saya lagi proses adaptasi ke kehidupan yang bersahaja. Beralih profesi dari full time working mom menjadi ibu rumah tangga yang nyambi freelance. Kudu nerimo gak bisa sehedon dulu, mau apa tinggal bayar penghasilan sendiri. Sekarang? Lagi belajar ngerem pengeluaran dan harus ikhlas makan dan spend money ala kadarnya. Jadi, berasa ketampar banget baca tulisan Kang Adhit. Gak usah jauh-jauh buat anak, pemikiran-pemikiran Kang Adhit berlaku banget buat orang dewasa kayak saya. Makasih yah, Kang Adhit dan TUM sudah menerbitkan tulisan ini! <3

karinandini mariska
karinandini mariska December 4, 2018 7:13 am

Baca ini di blog Kang Adit, trus di TUM, trus beredar banget di WA. Super viral Kang! Memang bagus ini artikelnya. Yang orangtua kira terbaik buat anak, belum tentu yang terbaik buat mereka. Thanks Kang!

otie
otie December 3, 2018 5:39 pm

Waah bagus banget artikelnya!
Reminder bgt sebagai ortu .

Tp btw, kayaknya pernah baca artikel yg mirip ditulis Pak Adit juga somewhere....hehe...

Aliya Suprapto
Aliya Suprapto December 3, 2018 8:16 am

jadi bahan perenungan yang dalam. makasi kang.