Dulu, saya mudah sekali terkecoh oleh dorongan untuk menghakimi gaya pengasuhan maupun kondisi ibu lain yang berbeda dengan saya. Meski sebatas dalam hati, menurut saya, tetap saja itu kesalahan besar sebagai seorang ibu.
Jujur, saat menjadi ibu baru, saya suka membaca teori-teori parenting. Sampai akhirnya, tibalah waktu untuk mempraktikkannya sendiri. Seiring berjalannya waktu, saya berada pada titik di mana saya perlu mengurangi ekspektasi dalam menerapkan seluruh teori yang saya pelajari. Alasannya sederhana: demi menjaga kewarasan.
Setiap ibu memiliki perjuangannya masing-masing
Ya, saya percaya, setiap ibu bagaimanapun kondisi mereka pasti berjuang untuk menjaga kewarasan dan kesehatan masing-masing. Tujuannya tak lain agar ia tetap menjadi sinar matahari yang terus menghangatkan keluarga kecilnya.
Setiap ibu punya perjuangannya masing-masing yang tak mungkin diketahui dan dipahami oleh semua orang. Maka tak heran, peran mulia ini sering kali kurang diapresiasi dan malah kerap mendapatkan cacian. Tentu kita pernah melihat fenomena mom-shaming yang masih ada hingga sekarang, bukan?
Mom-shaming tak hanya datang dari generasi tua atau mereka yang belum memiliki anak, tapi juga sesama orang tua. Terkadang masukan tentang cara mengasuh anak terlontar bernada arogansi sehingga membuat si penerima kritik merasa sedih dan frustrasi. Padahal, si pengkritik belum tentu tahu perjuangannya sebagai ibu selama ini. Siapa tahu, ia adalah ibu dengan kondisi sebagai berikut.
Ia adalah ibu yang kelelahan mengurus anak-anaknya sendiri. Ada kalanya ia menyuguhkan gadget agar bisa memulihkan energi dan pikiran saat berada di rumah maupun tempat umum lainnya.
Ia adalah ibu yang menjadi tulang punggung keluarga karena situasi mendesak tertentu. Ibu ini kelelahan bekerja dari pagi sampai waktu maghrib atau bahkan lebih larut. Rasa bersalah pun kerap menghantuinya sehingga ia berusaha sekuat tenaga berjibaku melawan padatnya jalanan kota. Tujuannya satu saja, yakni bisa segera bercengkrama dengan buah hati tercinta meski beberapa jam saja.
Ia adalah ibu yang sedang beradaptasi di rumah keluarga suaminya. Ia dan suami memilih untuk tinggal di sana saat ini demi kemaslahatan anak-anak. Sang ibu berjuang keras agar tidak mudah terbawa perasaan dalam menyikapi orang-orang sekitar dalam kesehariannya. Ia berjuang keras untuk tetap berpikir postif dan tidak merasa diawasi setiap saat.
Ia adalah ibu yang berjuang untuk berhemat karena kini sumber penghasilan hanya bergantung pada sang suami. Keinginan untuk tampil cantik dan trendi pun ia kubur dalam-dalam demi menjaga stabilitas keuangan keluarga.
Ia adalah ibu yang harus berjuang seorang diri di negeri antah berantah. Adaptasi dengan lingkungan baru, membenahi rumah baru, tugas-tugas rumah tangga, dan kewajiban mengasuh anak belakangan membuatnya sangat sangat kelelahan. Berbekal pencahayaan remang, ia mengambil foto dirinya dengan kantung mata besar untuk dibagikan melalui akun Instagramnya. Tulisan “help” tersemat di situ. Ketika seorang teman berusaha menyemangatinya, ia membalas, “I am just a really really tired mom.”
Ia adalah ibu yang sudah muak dengan drama pengasuh. Namun, ia tak punya pilihan karena peran lainnya harus terus dijalankan.
Ia adalah ibu yang merasa gagal karena tak bisa membuat sang buah hati tumbuh optimal seperti anak lain seusianya. Terlebih ia merasa tak pantas menjadi ibu karena tak pandai memasak seperti ibu-ibu lainnya.
Ia adalah ibu yang kelelahan merawat anak yang sakit dan rewel berhari-hari. Tubuhnya berteriak minta istirahat, sementara pikirannya menangis memikirkan bobot tubuh Si Kecil yang terjun bebas.
Ia adalah ibu yang merasa kehilangan jati diri. Ibu ini merasa bahwa mimpi-mimpinya telah digadaikan demi membesarkan anak dengan tangan sendiri. Ia ingin memberikan pendidikan terbaik sebisanya kepada buah hati. Namun, penyesalan itu terkadang datang menghantui dan mengacaukan suasana hatinya selama sehari.
(Dok. www.pexels.com)
Saya yakin, ada lebih banyak lagi perjuangan ibu lainnya yang belum sempat saya tuliskan di sini. Hal yang pasti, kondisi-kondisi di atas adalah nyata berdasarkan pengalaman saya dan teman sesama ibu lainnya. Pengalaman tiga tahun lebih menjadi seorang ibu menampar saya untuk selalu berbaik sangka terhadap sesama orang tua, khususnya ibu. Saya percaya bahwa setiap ibu punya perjuangannya masing-masing.
Mungkin kita pernah menilai kehidupan ibu tertentu sekilas terlihat indah. Namun, siapa tahu ia hanya piawai saja dalam menyembunyikan perjuangannya. Jadi, mari saling menguatkan satu sama lain. Jika tidak bisa menyemangati langsung, diam saja lebih baik ketimbang menunjukkan raut wajah, lisan, atau tulisan yang tak menyenangkan. Let’s stop comparing and judging each other, Mama.
Terima kasih mama Febi, tulisannya bagus banget, enak bacanya. Terima kasih juga untuk sudah mengingatkan tentang Mom-Shaming ini.
sesama ibu, ayuk! saling dukung. bukan saling menjatuhkan. there's always a different story in every parenting style kalo kata TUM.
Rasanya menyesal pernah melakukan mom-shaming :((( mungkin karena aku dulu juga pernah mengalami. Kayak anak kecil ya jadinya bales-balesan :((( Terima kasih Mama Febi untuk artikelnya.
Terima kasih Febi, artikelnya bagus banget. Terima kasih sudah mengingatkan untuk kita selalu berbaik sangka terhadap sesama ibu
sesama ibu, mari saling support. tidak ada mom shaming. terima kasih mama febi, artikelnya selalu bagus.
Terima kasih atas support dan apresiasinya, Mama Angie :)