Bullying

Oleh Fanny Hartanti pada Selasa, 23 Maret 2010
Seputar Our Stories

Saya ingat, beberapa hari setelah melahirkan saya menangis terisak-isak dipelukan suami saat menyadari betapa luar biasa tanggung jawab sebagai orang tua. Dulu sebelum jadi ibu, saya bekerja dan sering stress menghadapi masalah di kantor. Tapi sumpah, semua stress itu tidak ada artinya dibanding sekarang. Kalau kita salah mengerjakan pekerjaan kantor, paling risikonya dipecat. Tapi kalau salah merawat dan mendidik anak... let’s not even go there!


Satu pertanyaan besar untuk saya adalah, bagaimana mengajarkan Alyssa kecil menghadapi tekanan di masyarakat. Yeah right, I’m such a paranoid mom. Saya bahkan sudah berpikir sejauh itu sejak Alyssa masih di dalam perut. Mungkin juga karena kami tinggal di Eropa, dimana Alyssa (a mixture of Indo-Belgie) will look special (for not saying ‘different’), yang mungkin akan menjadi target yang ‘empuk’ bagi si bully.


‘Bullying’ menjadi kata yang menakutkan buat saya. Daycare dan Taman kanak-kanak – walaupun dipenuhi wajah imut dan innocents – can turn into hell. It’s a jungle out there! (Ingat, seperti sudah saya sebut di atas, saya seorang ibu yang paranoid. Or, let’s just call me ‘drama mom’).


Sekarang pertanyaannya: Bagaimana mengajari Alyssa untuk menghadapi semua itu?


alyssa

Ingatan pun melayang pada suatu artikel tentang masa kecil Hillary Clinton. Menurut cerita, Hilary kecil sering digencet teman-teman barunya. Hampir setiap hari dia pulang dengan menangis terisak-isak. Mamanya akhirnya bosan dan menyuruh balik menghadapi para tukang gencet itu. ‘There is no room in this house for cowards’, the exact words from the mom, menurut kabar burung yang beredar. Errr.. saya mau Alyssa jadi wanita setangguh Hillary.. tapi sanggupkah saya ‘setega’ itu? Dan lagi, menurut saya sepertinya cara ini bisa menjadi bumerang. Kalau karakter si anak memang kuat, maka dia akan menjadi semakin kuat dengan didikan seperti ini. Tapi jika tidak, maka bisa jadi anak itu akan semakin takut dan tidak pede...


Oh well, pencarian terus berlanjut. Sayapun berbincang dengan ibu mertua, seorang guru TK dengan pengalaman 30 tahun lebih. Ketika saya tanya, apa yang harus saya katakan pada si neng Al, jika ada teman yang nakal mendorongnya? Dengan tegas sang oma menjawab, ‘Suruh dia balas dorong! She has to stand up for her self!’ What..? Yeah, saya mau Alyssa jadi anak yang kuat dan berani membela diri sendiri. Tapi gimana kalau si neng jadi ikutan nakal dan kasar? Membalas kekerasan dengan kekerasan? Not cool!


Seorang teman punya usul lain, gimana kalau suruh dia ngadu ke ibu guru atau orang dewasa yang ada di dekat situ. Hmm.. ide yang cukup bagus, tapi saya mau Alyssa belajar mengatasi sendiri persoalannya, sebelum minta bantuan orang lain. Lagipula seorang pengadu.. also not cool!


Ah dilema..., dilema..., dilema...


Untung akhirnya saya menemukan tips dari buku Perfect Parenting karya Elizabeth Pantley. Ada beberapa point dalam buku tersebut.


Pertama, sang anak disarankan untuk menghindar dari si bully dengan menjauhi tempat-tempat di mana si bully biasa mangkal, atau bermain dalam kelompok (karena biasanya bully pun segan menghadapi beberapa anak sekaligus).


Kedua, menghentikan bullying dengan sikap asertif.


Ketiga, melaporkan pada orang dewasa jika bullying terus berlanjut dan mereka tidak mampu menghentikannya sendiri.


Untuk mengajari anak bagaimana bersikap asertif, buku ini menyarankan kita berlatih role play dengan si anak untuk mengatasi the bully. Intinya, si anak harus berani menghentikan perbuatan nakal tersebut dengan bersikap percaya diri, berkata dengan tegas pada si musuh ‘STOP’ atau ‘Leave me alone!’ atau ‘Jangan Nakal!’. Menurut buku tersebut, biasanya the bully akan kaget dengan reaksi yang tak disangka.


Logikanya, seorang ‘penyiksa’ mengharapkan korbannya untuk menangis atau membalas. Ketegasan dan autoritas ‘seorang korban’ akan memberi semacam shock terapy yang membuat si Nakal berhenti, bahkan menaruh respek. Nice tips, pikir saya.
Sampai ketika saya mempraktekan role play bersama Alyssa, dia malah menye-menye keganjenan.

Ah, gagal lagi!

Tapi ternyata, ketakutan saya terlalu berlebihan (like always). Ternyata, saya terlalu under estimate kemampuan anak saya untuk mengatasi masalah. Suatu hari, saat menjemput Alyssa di daycare (she was 2 then), saya menyaksikan dari balik jendela seorang anak berbadan jauh lebih besar dengan kasar merebut mainan dari Alyssa yang mungil dan imut-imut itu. Oh no! Hati saya bergetar, naluri keibuan saya terbakar. Dalam benak saya, Alyssa pasti akan nangis meraung-raung dan saya, ibunya, siap membelanya!
Untungnya sebelum terjadi huru-hara (saya mengejar si anak nakal, memberi dia ‘pelajaran’ lalu berantem dengan pengawas daycare), Alyssa kecil justru berlari mengejar The Bully. Aduh aduh, pikir saya lagi sekarang dengan kecemasan. Sudahlah nak, relakan saja mainanmu, kamu gak bakal menang lawan dia.
Tapi alih-alih melawan The Bully, Alyssa justru mengajak anak itu ‘bicara baik-baik,’ sambil menyodorkan mainan lain yang tadi sempat disambarnya sebelum berlari dan the bully agreed to swap his toy with the new one. So Alyssa got her toy back, The Bully mendapat mainanan baru. And they live happily ever after!


Ooh!


Sejuta bintang berpendar di atas saya. Look at that look at that... That’s my 2 year old baby who just created world peace. Give the Nobel Price to her instead of Obama.

I wish the story could end like that. Sayangnya itu hanya satu cerita indah di antara beberapa cerita tidak indah yang dialami Alyssa. Beberapa kali dia datang dengan muka sedih bahkan menangis karena ‘mainannya direbut paksa’ atau ‘tidak boleh main dengan anak-anak yang lebih besar di bak pasir’, atau ‘tidak diajak main dengan Marie dan Kaat karena aku pakai tidak pakai rok’ –don’t ask!-
Ada kalanya dia balik menghadapi ‘sang musuh’ untuk membela diri dan semua berakhir baik. Tapi terkadang dia memilih untuk menghindar. So i told her that it’s okay. Being afraid is ok. You can’t win all fights anyway. So what if she doesn’t become like Hilary?

Akhirnya saya membebaskannya untuk memilih. Kalau dia mau kabur, nggak papa. It doesn't make her a coward. Kalau dia mau bilang ‘STOP! Jangan nakal!’, juga oke. Dan terakhir, kalau dia sudah bilang STOP tapi The Bully masih meneruskan (misal memukul) saya bilang, dia boleh mengadu atau balas pukul. Mama tidak akan marah. Dan mama siap menghadapi barisan guru dan orang tua, dan semua masalah yang akan menghadapi nantinya.

Ah... I’m still waiting for the user manual to arrive. Did it get lost somehow?

26 Komentar
meiza
meiza March 22, 2012 10:05 pm

tetanggaku punya anak perempuan 3 tahunan.. selalu bullying arza. Kalau main bareng arza didorong, diambil mainannya, dia gak mau share mainannya dll.. setelah menggali lebih dalam kenapa anak tetangga seperti itu? karena itulah yg diajarkan mamanya. Mamanya selalu bertingkah ala jagoan ke putri kecilnya.. aneh ya? buat beliau lebih mudah mendidik taft kids yang menindas.

oh my.. jamanku dulu bullying cm ada jaman smp.. mungkin sd ada, tapi ga parah.. apa sekarang ada percepatan jaman ya??

Adhya
Adhya March 10, 2012 9:11 pm

adik saya yg plg bungsu pernah crita di-bully di SDnya.trus saya suruh jerit sekeras-kerasnya sampe si pem-bully terganggu sama suara keras dan menjauh,dan gurunya sadar kalo terjadi sesuatu.kayaknya nanti kalo Almira udh gede jg bakal saya suruh gitu.apalagi suaranya keras bgt kalo urusan nangis sama jerit.tp sebelum itu terjadi kayaknya saya kudu selektif pilih sekolah.pengennya yg berbasis Montessori gitu.soalnya ngebiasain anak gede 'ngemong' temennya yg lebih kecil.ah tp masi berandai2 :))

Fanny Hartanti
Fanny Hartanti March 24, 2010 12:28 am

ava: gimana, udah di coba? :)
anouk : nggak say, di antwerp
lie: sama2 :)
Sitha: hush! oot.. hihi bentar lagi moga2
Asrid, Mayka, Musdalifa: thanks!
avie: oke next time bikin artikel dengan tema sebaliknya! hehe. amin, moga2 al cantik lahir batin..:)

ayiebrandon
ayiebrandon March 23, 2010 10:52 am

Nice story, bunda.. ^_^ love it..
Tapi dilema yg aku hadapi kayaknya kebalikan nya mba Fanny.. ^^ karena anakku cowo (who tends to be THE bully.. hehe) , suka bingung cara yg paling tepat untuk menasehati pd saat anakku hendak mengambil mainan dr temannya , karena aku juga takut anakku jd sakit hati krn ditegur di depan publik (teman2nya)..

kayaknya seperti 2 sisi mata uang ya, mba fanny.. sebagai org tua, kita takut banget anak kita jadi "korban bullying".. tp takut juga kalau alih2 malah anak kita yg jadi biang "bullying"..

4 thumbs up buat Alyssa cantik yg kecil2 dah bisa meng"handle" teman yg lebih besar tanpa musti berantem.. ^^ hatinya benar2 secantik wajahnya.. ^^

Mayka_mays March 22, 2010 2:06 pm

nice article.. tfs fan.. ^^