Sudah lebih dari sebulan sejak saya mengikuti bincang-bincang mengenai “Defisit & Over Feminine: Rahasia Sisi Feminin yang Jarang Diungkap” di #TUMluncheon bersama Soul of Speaking yang diadakan di restoran Madame Ching, Menteng, Jakarta. Selama lebih dari sebulan ini pula saya merasakan perbedaan yang cukup signifikan saat berusaha untuk lebih feminin. Hubungan serta komunikasi dengan suami pun terasa lebih selaras. Sebelumnya hubungan kami baik-baik saja, namun dengan beberapa ilmu serta tips dari mbak Lita Lukito yang saat itu mengisi acara, saya merasa komunikasi kami sedikit berbeda & berubah ke arah yang tentunya lebih menyenangkan.
Di awal pembicaraan, Luki Arinta menyampaikan tentang pengertian feminin dan bagaimana sejak dulu orang memandang mengenai feminitas:
- Feminin dimiliki oleh wanita dan pria secara biologis (faktor bawaan dan sejak dalam kandungan).
- Feminin merupakan energi yang terwujud dalam berbagai bentuk (fisik, tugas, profesi, attitude, pikiran, spirit, komunikasi).
- Feminin yang tidak selaras menimbulkan fenomena defisit atau over pada diri seseorang.
- Feminin akan menarik energi keseimbangannya dalam berbagai aspek hidup.
- Feminin akan berfungsi maksimal dengan cara mengenalinya, menyadarinya saat aktif, dan mengelolanya.
Kemudian mbak Luki menjelaskan bahwa ada wanita yang kadar femininnya defisit dan tentu saja ada yang over. Beberapa contoh wanita dengan defisit feminin digambarkan seperti perempuan yang melakukan banyak hal tanpa ketergantungan terhadap pasangan, sedangkan yang over feminin justru sebaliknya.
Mbak Luki memberikan beberapa contoh kasus yang menurut saya ada beberapa kemiripan dengan situasi yang saya alami. Ia juga memberikan kuis di mana jawaban dari kuis tersebut memperlihatkan saya sebagai perempuan yg berada di tengah-tengah: kadang over feminin, kadang malah defisit. Di satu sisi, saya adalah perempuan yang ingin menyelesaikan dan mengurus banyak hal sendiri namun di sisi lain saya menganggap suami sebagai mahluk serba bisa yang harus selalu siap siaga untuk saya dan anak-anak. Saya akui terkadang hal tersebut berlebihan dan jujur saja, saya beberapa kali kecewa karena menganggap bahwa suami seharusnya begini atau begitu. Kadang saya lupa bahwa suami hanyalah manusia biasa. Di situlah letak over feminitasnya dan saya sangat berusaha untuk mengurangi hal tersebut.
Di sisi lain, sifat saya yang tomboy kadang membuat saya seolah tak butuh pasangan. Saya mau melakukan semuanya sendiri dan kadang lupa perlu meminta bantuan pasangan meski pun sebenarnya saya bisa melakukannya sendiri. Misalnya karena saya sangat senang mendekorasi ulang rumah setiap beberapa bulan, saya rela sendirian mengangkat-angkat kursi bahkan menggeser lemari. Suami sering terperangah saat pulang dan melihat rumah sudah berbeda, ia sangat suka dengan hasilnya namun juga menegur saya agar tidak sering mengangkat barang berat sendirian.
Dari hal tersebut, saya merasa sifat maskulin saya sedang terlalu kuat. Jujur saja, saya berusaha meredamnya dan bersikap lebih halus, lebih feminin dan hal ini ternyata seringkali memperlancar komunikasi saya tidak hanya dengan suami tetapi juga dengan anak-anak. Sifat feminin lebih banyak memberikan kesejukan di rumah, saya menjadi ibu yang lebih lembut untuk anak dan menjadi istri yang lebih sabar dan pengertian bagi suami.
Bagi Urban Mama yang ingin tahu lebih lanjut mengenai Soul of Speaking, silahkan hubungi Juwita di sini.