Getting Trophies for Showing Up

Oleh Adhitya pada Kamis, 23 Mei 2019
Seputar Our Stories
Getting Trophies for Showing Up

Selalu Self Esteem yang Dijaga

Sekitar 6-7 tahun yang lalu, saat anak saya masih TK, sekolahnya berusaha menumbuhkan sense of achievement anak-anak dengan reward system. Setelah merapikan sepatu, mereka akan mendapatkan star atau badge atau trophy (apa pun bentuknya). Begitu juga setelah merapikan mainan. Dan saat anak bisa menjawab dengan benar. Pada saat itu, saya tidak tergerak untuk protes. Terakhir, anak-anak juga mendapatkan sebuah badge karena sudah hadir tepat waktu. Alasannya, terkadang dalam satu hari, ada yang yang sedih karena tidak berhasil mendapat badge apa pun—dan menangis. Dan minder. Itu sebabnya, sang guru menjadikan datang tepat waktu, sebagai sebuah prestasi juga. Di titik itu, saya mulai berpikir: something is not right.

Masih ada hubungannya dengan kasus di atas, ada gejala yang sama, yang terjadi di Amerika. Di sana, ada yang namanya, little league. Olahraganya bisa apa saja. Baseball, soccer, atau apa pun. Yang menarik adalah, menang atau kalah, anak-anak akan mendapat piala. Alasannya, jangan sampai self-esteem terganggu. Oleh karena itu semua dapat piala. Basically, win or lose, you get a trophy for showing up.

Puncaknya adalah pada saat anak saya pulang setelah mengikuti lomba 17 Agustus dan ia membawa piala. Bukan untuk juara I, II, atau III. Tapi piala karena ia sudah jadi peserta.

image credit: freedigitalphotos.net

Is This, Right?

Mungkin urban mama and papa masih ingat kalau ini bukan pertama kalinya saya merisaukan/mempertanyakan/atau setidaknya mengajak berpikir ulang tentang self-esteem. Mari kita, sebagai orangtua mencerna kembali metode yang kita gunakan di sekolah Apakah itu benar? Ada pemikiran dari pendidik dan orangtua di generasi kita, yang menurut saya, harus kita perbaiki.

Persepsi pertama yang sebaiknya diubah: Generasi kita sebagai pendidik dan orangtua terlalu ingin anak-anak kita memiliki self-esteem yang tinggi, sehingga kita mulai membuat murah prestasi itu sendiri. Realitasnya adalah datang tepat waktu bukanlah suatu prestasi. Itu adalah kewajiban. Orangtua dan guru pun tahu bahwa atasan kita tidak akan kagum jika kita sampai kantor pukul 8 pagi. Itu bukan prestasi, melainkan kewajiban. Mengapa lalu kita buat hal itu sebagai achievement untuk anak-anak kita? Realitasnya: hanya yang menang yang mendapatkan piala. Untuk alasan yang jelas: seseorang memenangkan sebuah kompetisi karena ia telah kerja lebih keras, lebih cerdas, dan lebih tuntas dari kontestan yang ia kalahkan. Kita harus ingat bahwa di setiap kompetisi yang ada 12 peserta, medali emasnya hanya satu keping. Sekarang, dengan memutuskan bahwa kalah menang harus dapat piala, kita menihilkan sense of achievement mereka yang sudah bekerja lebih keras dan lebih cerdas itu. Bagi yang sudah kerja lebih keras dan lebih cerdas, getting trophies just for showing up, is not fair.

Tidakkah kita sadar bahwa anak yang kalah, saat ia mendapat piala, mungkin saat itu bahagia, tapi satu atau dua hari kemudiandia akan berpikir, “Duh, sebenarnya saya tidak layak mendapat piala apa-apa. Piala peserta ini hanya ada untuk menyenangkan hati saya. Saya jadi tidak enak hati pada pemenangnya.” We actually make them feel worse. Dan lebih jauh lagi, ketika semua anak mendapatkan piala untuk kehadiran, anak-anak tidak belajar bahwa untuk menjadi menang, butuh proses dan kerja. Betapa tidak? Hanya hadir saja dapat piala, tidak perlu menang. Anak juga tidak perlu pintar untuk dapat badge, cukup datang tepat waktu ke sekolah.

Persepsi kedua yang sebaiknya diubah: Generasi kita sebagai pendidik dan orangtua, memiliki persepsi bahwa cara menumbuhkan self-esteem anak adalah dengan tidak pernah mengganggu self-esteem itu. Lagi-lagi, saya nalar dan nurani saya tidak dapat setuju dengan persepsi ini. Kekalahan adalah obat untuk membuat anak haus kemenangan. Tugas kita sebagai orangtua dan pendidik bukan mementingkan kemenangan (karena mereka akan menghalalkan segala cara untuk menang). Bukan juga mengajarkan bahwa kalah menang itu biasa (karena itu akan mematikan rasa kompetisi dan ambisi anak). Tugas kita sebagai orangtua dan pendidik adalah mengajari anak bahwa kemenangan diraih karena usaha, progress, dan proses. Tugas kita adalah memperlihatkan realitas bahwa setiap ada satu anak menang, ada sepuluh anak yang kalah. Kita juga perlu mengajarkan arti kekalahan. Kalah bukan berarti bodoh, tetapi masih ada yang lebih pintar. Cara menjadi menang, adalah belajar jadi lebih pintar.

Menghargai Kekalahan, Kemenangan, dan Proses dari Kalah Menjadi Menang

image credit: freedigitalphotos.net

Dengan melakukan semua yang di atas, kita membutakan anak kita dari realitas dunia—realitas yang sedikit demi sedikit seharusnya mereka pelajari. Bayangkan 2 contoh ekstrem: Anak A, selalu mendapat piala peserta. He never achieved anything in his life. All he achieved so far, are showing up – dan menjadi peserta. Anak A tidak terdidik untuk menghargai proses. Anak B, sadar betul bahwa hari ini dia harus berproses menjual koran, agar nanti malam ia mendapat achievement berupa makan malam. Anak A, akan tumbuh menjadi anak yang steril terhadap cobaan hidup. Anak B, akan tumbuh menjadi anak yang imun terhadap cobaan hidup karena tidak seperti anak A, anak B sangat paham bahwa ia harus berproses (bekerja) untuk mencapai sesuatu.

Sebagai penutup, saya ingin mengajak orangtua dan pendidik menyadari sesuatu. Realitas dunia adalah, you don’t get a trophy for showing up. You get trophies when you win. Realitas dunia yang lain adalah setiap generasi akan menghadapi tantangan zaman yang lebih berat dari generasi sebelumnya dan oleh karena itu kita harus siapkan mental mereka dan ajarkan mereka untuk menghargai kemenangan, menghargai kekalahan dan menghargai proses dari kalah menjadi menang.

13 Komentar
Honey Josep
Honey Josep January 24, 2017 9:19 am

Tfs kang Adhit.... Ternyata ngajarin ke anak bahwa segala sesuatu diperoleh dengan proses ga gampang

Eka Gobel
Eka Gobel January 19, 2017 3:25 pm

Sepaham nih kang. Anak2 di rumah jg kyk gt, kl mau menang, ya ikut lomba, kalo mau piala, ya harus menang. Sbnrnya ngga terlalu fokus di menang dan piala juga sih, lebih ngasih pengertian kalo itu utk bekal pengalaman dan utk.mengasah mental dan skill mereka aja. Menang dan dapat piala juga penting, tapi bukan satu2nya yg penting. Dan akan bagus sekali juga kalau bisa berprestasi, walaupun tidak ada sistem rangking atau piala. Krn kenyataannya, mereka yg memiliki kemampuan dan yg berprestasilah yg kesempatannya lebih terbuka dibanding yg tdk. Kadang keberhasilan ditentukan oleh kemampuan, kesempatan dan nasib juga.

Siska Knoch
Siska Knoch January 18, 2017 4:39 pm

Setuju dengan kita inginnya menciptakan anak yang imun bukan steril.
Tfs kang!

dieta hadi
dieta hadi January 18, 2017 12:11 pm

thanks sahringnya kang adit. Bener banget ini masalah thropy atau hadiah, terkadang anak bahkan orangtua meilihat kemenangan adalah suatu keharusan yg dicapai, padahal kalo bisa lebih bijak bisa dilihat dari prosesnya itu bisa tercapai bagaimana. Pernah mika pas lomba wushu mendaptakn nilai paling kecil daripada temen-temennya, pas lombanya sih dia terlihat tegar tetapi ketika ketemu saya langsung nangis bombay, tapi saya coba memberitahu dia bahwa memang itu prosesnya, eknapa dia bisa mendapatkan nilai kecil karena dia tidak berusaha semaksimal mungkin, ada gerakan yg lupa karena tidak serius latihan sedangkan teman-teman yg lain lebih serius dalam latihan sehingga mendapatkan nilai lebih tinggi. Setelah itu dia lebih tahu bahwa ada peristiwa menang dan kalah sehingga dia bisa menrima kenyataan bahwa dia bisa saja gagal dalam segala hal jika dia tidak sungguh-sungguh berusaha mendapatkannya. Proses menang kalah ini emamng harus dilewati oleh anak agar dia bisa melihat dirinya dan orang lain.

thanks ya kang adit sharingnya.

Adhitya
Adhitya January 18, 2017 4:23 pm

Terima kasih ya sharingnya mbak Dieta.

thelilsoldier
thelilsoldier January 18, 2017 11:04 am

Pas banget dengan yang saya pikirin akhir-akhir ini, lebih tepatnya mikirin karyawan yang kok ya seperti banyak maunya tapi gak menghargai proses. Menurut riset sih poor parenting strategy dan lingkungan adalah salah dua alasannya. Terlalu sering diperlakukan spesial, dianggap spesial, sampe tuwak udah kerja jadinya ngerasa dirinya paling spesial.

Mengenai lomba, IMHO, tergantung tujuan lombanya. Tujuan bisa berbeda tiap individu, tiap anak, tiap ortu, tetapi mestinya mendapat trophy bukan tujuan lomba.
1. Saya ikutan lomba lari untuk memperbaiki Personal Best. Ada lomba yang saya pengen dapat Photo Banyak. Tergantung tujuannya, kalo PB yang satu saya harus latihan sungguh-sungguh, sedangkan PB yang satu lagi saya mesti pakai kostum lari yang unik, dandan kece, sadar kamera, bahkan berhenti terus untuk berfoto. Untuk setiap tujuan, saya tidak pernah curang, motong jalan, jadi bandit, dsb.
2. Anak saya ikutan lomba bagian dari ujian naik sabuk. Tujuannya black belt. Latihan jadi black belt gak gampang, butuh tahunan, butuh proses dari putih, kuning, apalah apalah. Gak ada sih trophy partisipasi adanya sabuk. Setiap yang lulus dapat ganti sabuk.
3. Kadang tujuan lomba adalah ngerasain lomba itu sendiri. Anak bungsu saya ini introvert, pernah ikutan lomba renang ada di urutan terakhir. Gak dapet apa-apa sih, gak ngarepin piala juga. Setelahnya gak mau ikutan lomba-lomba lagi. Lalu ada undangan ikutan lomba robotik, dia terpilih dari sekolah dan saya senang menyemangati si bungsu, tujuannya biar berani kompetisi. Mau lomba pakai latihan dulu, coba-coba beberapa ide di rumah supaya sesuai dengan tema. Di tempat lomba ternyata ada stress yang harus dimanage, stress karena waktu, stress karena rebutan lego, karena pesertanya banyak sekali. Di sana si bungsu dapat goodie bag dan trophy partisipasi, tapi rasanya luar biasa juga karena ikutan lomba memang tidak mudah. Anaknya sih tau bahwa dia bukan yang naik podium, terima trophy lebih gede dan hadiah lebih banyak. Anyway, dia memang tidak cari trophy.

Adhitya
Adhitya January 18, 2017 11:34 am

Thanks for sharing, mbak.