Tahun 1998, waktu itu saya masih duduk di bangku sekolah. Jangan tanya sekolah tingkat apa, tapi yang pasti, umur-umur ABG. Masanya ingin punya semua ini-itu yang lucu-lucu, seperti yang teman-teman pakai di sekolah.
Ternyata, ingin tinggal ingin. Ibu saya dengan tegasnya berkata ‘tidak’ saat saya ingin beli sebuah buku organizer diary cantik untuk lucu-lucuan, seperti milik teman-teman sekelas. Begitu pula saat saya meminta jelly shoes dan sepatu mary jane Be-Bop (‘Buat apa? Sepatu sekolah kamu belum jebol kok!’), ransel terbaru model kotak (‘Ransel kamu keliatan buluk? Dicuci dulu, bukan diganti.’), meminta kenaikan uang jajan (‘Lho bus kan bayarnya belum naik? Bekal kamu nggak cukup? Sini Ibu tambah lagi nasinya. Sisa uang jajan kamu bisa buat pulang naik patas AC, enak kan cuma sekali naik… nggak usah ganti bus.’), dan nongkrong di mal (‘Ke mal? Udah buat beli buku aja, nggak usah pakai nongkrong segala!’).
Sebagai ABG yang ingin eksis, saya kesal. Yang saya tahu, pupus sudah impian untuk tampil fancy seperti teman-teman di sekolah. Cap ‘cupu’ pun serasa distempel jelas di jidat saya.
Yang saya tidak tahu, selain saat itu orangtua harus menghadapi drama ABG dari saya si anak sulung, ada kedua adik saya yang tahun itu masuk SMP. Dua orang. Pada tahun krisis moneter menghantam perekonomian Indonesia, membuat harga-harga seketika melangit, warga pun menjengit dan menjerit. Termasuk orangtua saya yang ketika itu berada di umur-umur produktif bekerja mereka, kaum kelas menengah yang paling merasakan dampak krisis moneter. Yang saya tidak tahu, Ibu saya kembali bekerja kantoran untuk membantu perekonomian keluarga. Ayah di kantor memperjuangkan jatah mobil dinas plus subsidi solar dari kantor, yang meski kijang kaleng, tetapi supaya tiap pagi bisa mengantar saya ke sekolah dan memotong pintas rute menuju kantornya, jadi saya cukup naik bus saat pulang sekolah.
Sepuluh tahun kemudian, perekonomian Indonesia sudah membaik. Saya sudah lulus kuliah dan bekerja. Menikmati gaji sendiri. Bisa delivery makanan resto fast food enak, yang jadi impian semasa ABG. Sambil makan-makan piza dengan Ibu dan Ayah, Ibu saya sempat berkomentar sambil bercanda, “Ingat, gajimu ditabung juga ya… waktu dulu Ibu kembali kerja, karena krismon sampai harus puasa shopping. Jajan body lotion wangi saja nggak. Tapi ya nggak apa-apa, yang penting kamu sama adik-adik bisa masuk sekolah unggulan. Mendengar cerita ibu, saya hanya iya-iya saja.
18 November 2014, saya sudah jadi ibu dari satu anak. Pagi hari tadi sepulang mengantar Alma ke sekolah, saat duduk membaca website berita Indonesia, ada berita pemerintah resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Sudah bisa ditebak, warga menjerit protes. Belum usai mimpi indah ganti presiden, ternyata harus menghadapi kenyataan BBM naik yang efek dominonya adalah naiknya harga-harga bahan kebutuhan pokok. Padahal siapa pun presidennya, harga BBM pasti naik kalau subsidinya mau dicabut dan dibuat tepat sasaran. Saya tidak mau membahas subsidi, karena bukan ahlinya. Yang saya lihat semua sama: warga menjerit protes. Ibu-ibu panik mengetahui harga-harga bahan pangan di pasar naik, bapak-bapak pusing karena gaji belum naik.
Dipikir-pikir, kondisinya mirip seperti dulu zaman orangtua saat harga-harga naik waktu krismon, meski skalanya memang berbeda. Saya bukan cenayang, tetapi ada polanya yang berulang; seperti dulu di masa nenek-kakek kita dihantam krisis tahun 1966 yang katanya mengantre minyak tanah saja bisa sampai sore. Lalu masa di mana orangtua kita mengalami krisis moneter 1997 yang awet sampai Indonesia ganti presiden dua kali. Sekarang masanya berganti, kita yang jadi orangtua: BBM naik. Baru BBM naik, lho.
Ini bukan teori konspirasi cap tiga macan, tetapi dari masa ke masa ada pola yang berulang. Meski tidak tahu juga di zaman kita sekarang ini setelah BBM naik bakal ditambah sama apa lagi. Saya juga tidak bisa membayangkan nanti waktu masanya anak-anak gantian jadi orangtua, apa lagi yang akan mereka hadapi.
Seketika, saya teringat cerita Ibu yang kala krismon dulu sampai harus puasa shopping barang-barang kebutuhan sekunder. Padahal saat itu kantornya tidak jauh dari salah satu ITC di kawasan segitiga emas di Jakarta. Dulu saat ABG, cerita Ibu hanya saya anggap angin lalu. Namun setelah merasakan jadi wanita yang (pernah) bekerja, barulah saya paham pedihnya harus puasa shopping. Siapa Urban mama yang tidak pernah merasakan pedihnya puasa shopping, ayo tunjuk tangan… *hening*. Tas idaman atau lipstik PO tidak kebeli saja bisa terbawa sampai ke mimpi. Ini lagi harus menampik godaan shopping dan sale. Kalau kata Cita Citata, sakitnya tuh disini… *tunjuk dada*
Kalau saya mengeluhkan ini ke Ibu, bisa ditebak jawaban beliau pasti kira-kira seperti ini: Tetapi lebih sakit mana hayo, puasa shopping atau uang bayaran sekolah anak jadi seret? Atau dapur nggak bisa ngebul? Atau cicilan ini-itu nggak kunjung lunas?
Ibu saya selalu punya stok argumen untuk mengembalikan saya ke dunia nyata, tetapi ucapan beliau memang benar adanya.
Jujur, saya tidak bisa berkomentar banyak dan teknis tentang BBM naik karena punya mobil saja tidak. Tetapi menurut saya, keep calm and reprioritize your life sajalah.
Sepertinya enak saja bicara begitu… Memangnya gampang? Lho, orangtua kita bukti nyatanya. Berkali-kali melewati kenaikan harga yang menggila, dan mampu membesarkan kita, anak-anaknya, bertahan sampai sekarang. Apa lagi yang utama kalau bukan dari menyusun ulang prioritas kebutuhan hidup. Mungkin sekaranglah saatnya kita harus belajar banyak dari beliau-beliau untuk urusan menyusun ulang prioritas kebutuhan hidup. Tidak usah dibahas apa yang harus menjadi prioritas karena prioritas hidup setiap keluarga bisa jadi berbeda. Menurut saya, menyusun ulang prioritas kebutuhan hidup adalah hal paling mudah yang bisa dilakukan dari rumah. Demi terjaganya dapur tetap ngebul memasak makanan sehat, anak tetap gembira bisa bersekolah & tercapainya tujuan-tujuan jangka panjang lainnya dari kita dan pasangan maupun untuk sekeluarga. Rumusannya sih sama: pilih mana yang paling penting dan dahulukan yang utama. Berhemat adalah hasil dari reprioritizing your life. Memilih untuk menggunakan produk-produk lokal atau dalam negeri adalah hasil dari reprioritizing your life. Sama halnya seperti unsubscribe beberapa produk langganan berbayar yang jarang digunakan, memilih berolahraga di taman komunal, di GBK atau janjian lari pagi bersama di Car Free Day, lebih sering memasak makanan sendiri, membuat prakarya bersama anak menggunakan barang-barang di rumah atau mengurangi frekuensi cuci mata di mal.
Khawatir itu wajar. Tetapi ingat: tarik napas, embuskan, keep calm and reprioritize your life. Kabar baiknya, ini tidak hanya bagus untuk sekarang, tetapi juga nantinya buat anak-anak kita: ini bisa jadi bekal contoh untuk nanti mereka belajar survive dan punya gaya hidup yang masuk akal.
(gambar: www.freedigitalphotos.net)
hmmm, sekarang yg terpikir di benak saya, membiasakan anak-anak untuk tahu prioritas dalam hidupnya. seringnya, sih bilang kita beli kalau ada rejeki. dan si kakak akan kalau pingin sesuatu akan nanya,' kita sudah punya rejeki apa belum, mi? nanti kalau kita punya rejeki kita beli,ya?!"
dan membiasakan menunda beli sesuatu -baik untuk diri sendiri ataupun anak, benar-benar membawa efek positif untuk cek ombak ini WANT atau NEED :) TFS, Ai. btw, selamat pindahan..
setuju banget deh, sama aini. sebagai orangtua kita harus jadi teladan untuk hidup sederhana dan bersungguh2 dalam bekerja.
tulisan yang bagus! setuju banget aini. dan seperti yang selalu gue sering sebutin berulang2... sebelom membeli barang, apapun itu barangnya, coba sebut "IS THIS NEEDS OR WANTS?"
dijamin, bakal bikin sadar. kadang even bertanya seperti itu dan jawabnya WANTS pun tetap dibeli, which is gapapa kalo emang dananya ada dan tersisa dan yang NEEDS sudah terpenuhi. we all deserve to enjoy it.
tapi mesti responsible, dimana kebutuhan inti sudah terpenuhi, baru deh kalo mau yang wants lainnya diturutin.
Setuju banget mbak Aini, reprioritize! Kata kunci penting dalam menjalani hidup, artikelnya suka banget :) dan kata2 mamanya mirip banget sama kata2 mamaku hehehe, biaya sekolah anak atau shopping :))
Makasih Ai sudah mengingatkan... suka deh sama artikelnya...