Suatu hari saya pernah membaca mengenai beberapa ulasan tentang betapa sekarang ini banyak anak-anak yang kehilangan peran ayah atau fatherless; Ayah sibuk bekerja pagi hingga malam, di waktu libur kadang juga sibuk dengan urusannya sendiri.
Jujur, saya akui, di keluarga kecil kami pun suami termasuk tipe ayah yang kurang begitu dekat dengan anak. Beliau bekerja dari pagi hingga malam, terkadang pulang sampai larut bahkan pernah menginap di tempat kerja. Saat liburan, kami menghabiskan waktu bersama, pergi ke tempat wisata atau berkumpul dengan keluarga namun dengan kuantitas yang minim ditambah kualitas yang mungkin belum benar-benar mencukupi, sehingga memang akhirnya anak lebih dekat dengan ibunya, apa-apa maunya sama ibu.
Namun hal tersebut berubah semenjak penetapan work form home dari kantor suami di akhir Maret lalu. Ini membuat beliau menghabiskan waktu 7x24 jam di rumah. Tak disangka, keberadaan suami di rumah membawa sisi positif untuk kami, terutama untuk anak-anak karena momen ini menjadi kesempatan bonding antara mereka dengan ayahnya.
Ketika tidak sedang bekerja di depan laptop, suami dengan sukarela berbagi tugas dengan saya membantu Albi mandi, sementara saya menyiapkan sarapan. Kami juga menjadi lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan membuat permainan, crafting atau sekedar main UNO di kamar. Terkadang malah ayah dan anak ini asyik main gulat-gulatan sebelum waktu tidur. Walau terlihat sederhana, hal tersebut ternyata perlahan menambah kedekatan Albi dan ayahnya.
Di sini saya pun tersadar bahwa mungkin selama ini saya kurang memberi kesempatan quality time antara Albi dengan ayahnya. Seringkali ada keraguan dari diri saya bahwa suami tidak bisa menangani kebutuhan anak tanpa bantuan saya, tetapi nyatanya bisa kok. Beberapa kali saya membiarkan Albi berdua dengan ayahnya ketika saya ada hal yang lain yang harus dilakukan.
Dari pengalaman selama dua bulan tak terpisahkan itu, ada satu kejadian yang membuat kami tersenyum dan suami saya senang, yaitu saat Albi bisa tidur siang tanpa saya temani dan saat Albi mengigau, yang pertama kali dipanggil adalah ayah.
Saat ini suami sudah kembali bekerja seperti biasa, dan Albi jadi rajin bertanya setiap hari apakah ayah akan kerja atau di rumah. Albi pun menyambut ayahnya dengan gembira saat malam tiba ayahnya pulang dari kantor.
Ternyata dibalik kesulitan, selalu ada hal baik yang bisa terjadi, salah satunya bonding moment ini. Saya berharap hal ini akan berlangsung seterusnya agar anak dan ayah semakin lengket.
Saya ingin mengutip penelitian yang dilakukan oleh Father Involvement Research Alliance yang mengungkapkan bahwa anak-anak yang dekat dengan ayah mereka cenderung akan memiliki emosi yang stabil, di mana anak akan tumbuh menjadi sosok yang percaya diri, bersemangat serta dapat menguasai dirinya.
Semoga para ayah dimana pun berada, meski lelah bekerja untuk menafkahi keluarga namun tetap semangat dalam usaha melekatkan ikatan yang kuat dengan anak sehingga kita semua bisa menciptakan generasi yang baik untuk masa yang akan datang.